Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Herd Immunity yang Disebut Bisa Perlambat Penyebaran Corona dan Risikonya

KOMPAS.com - Kasus virus corona secara global, sampai dengan hari ini masih terus bertambah.

Setidaknya, hingga hari ini Senin (23/03/2020) ada sebanyak 339.712 kasus positif terkonfirmasi di dunia, dengan jumlah kematian sebanyak 14.704 orang dan yang dinyatakan sembuh adalah sebanyak 99.016 menurut data dari Worldometers.

Di tengah merebaknya virus corona, muncul sebuah istilah yang ramai diperbincangkan yakni Herd Immunity atau kekebalan kelompok.

Istilah ini menjadi pembicaraan publik usai Perdana Menteri Inggris Boris Johnson didampingi Petugas Kepala Medis Chris Whitty mengatakan bahwa sekitar 40 juta warga Inggris harus tertular virus itu.

Johnson juga mengusulkan isolasi rumah untuk kasus-kasus yang dicurigai, tetapi pembatasan besar-besaran terhadap masyarakat tidak dilakukan.

Usai pernyataan itu, Inggris dianggap menjadikan herd immunity sebagai strategi mitigasi penanganan wabah di negara itu.

Sir Patrick Vallance Kepala Penasihat Ilmiah Inggris juga mengatakan pada Radio BBC hal serupa, bahwa untuk mengendalikan virus maka negara perlu membangun kekebalan kelompok.

Tak hanya Inggris, mengutip Independent, Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda juga dianggap menggunakan strategi herd immunity dalam penanganan wabah.

Hal itu usai pidato nasionalnya yang disiarkan televisi.

"Kenyataannya adalah bahwa dalam waktu dekat sebagian besar penduduk Belanda akan terinfeksi virus ini. Kita bisa memperlambat penyebaran virus sambil membangun kekebalan kelompok yang dikendalikan," ujar Rutte mengutip dari Irish Times.

Tuai Kontroversi

Baik Inggris maupun Belanda keduanya mendapatkan kecaman akan langkah mereka yang dianggap menggunakan strategi herd immunity.

Melansir ScienceFocus, lebih dari 500 ilmuwan dari universitas di Inggris menulis protes kepada pemerintah.

Menurut mereka menggunakan herd immunity untuk kondisi saat ini akan berisiko menyebabkan lebih banyak nyawa hilang daripada yang diperlukan.

Matt Hancock dari Departemen Kesehatan dan Perawatan Sosial Inggris dilansir dari Independent akhirnya mengklarifikasi. Ia menyangkal tudingan terkait Herd Immunity sebagai cara yang digunakan Inggris.

“Kekebalan kelompok adalah produk sampingan alami dari epidemi,” ujar dia.

Sementara itu, melansir dari Dutch News, Perdana Menteri Belanda, Rute kemudian juga mengklarifikasi ucapannya.

Dia menegaskan kekebalan kelompok bukanlah tujuan kebijakan Belanda dan dia menyebut terjadi kesalahpahaman usai pidatonya di televisi.

Dia menekankan bahwa kekebalan kelompok adalah efek samping dari strategi dan tujuan pemerintah tentu saja tidak untuk memastikan sebanyak mungkin orang terinfeksi.

Apa itu herd immunity atau kekebalan kelompok?

Melansir dari Business Insider, herd imunity adalah saat sebagian besar presentase populasi kebal terhadap patogen sehingga penularan tidak terjadi secara luas.

Misalnya untuk membatasi penyebaran campak, para ahli memperkirakan bahwa 93 persen hingga 95 persen populasi harus kebal.

Campak dianggap lebih menular dibanding virus corona jenis baru di mana ahli memperkirakan 40 persen hingga 70 persen populasi perlu kebal untuk menghentikan penyebaran yang cepat.

Kekebalan kelompok dapat dicapai dengan vaksin dan bisa didapat secara alami setelah orang yang terinfeksi pulih dan kemudian menjadi kebal.

“Jika seseorang dengan campak dikelilingi oleh orang-orang yang divaksinasi campak, penyakit itu tidak mudah ditularkan kepada siapapun dan penyakit itu, akan segera hilang lagi,” ujar organisasi The Vaccine Project Sains di Universitas Oxford yang mencontohkan konsep herd imunity menggunakan analogi orang yang terinfeksi campak sebagaimana dikutip dari Independent.

“Ini disebut 'kekebalan kelompok', 'kekebalan komunitas' atau 'perlindungan kawanan', dan ini memberikan perlindungan kepada orang-orang yang rentan seperti bayi baru lahir, orang tua dan mereka yang terlalu sakit untuk divaksinasi,” lanjutnya.

Risiko besar

Banyak kekhawatiran para ahli tentang konsep herd immunity jika itu diterapkan sebagai strategi penanganan wabah.

Salah satu alasannya, saat ini tidak diketahui dengan pasti apakah ada orang yang dapat terinfeksi ulang oleh virus corona SARS-Cov-2 atau tidak.

"Satu-satunya cara aman kita agar bisa mendapatkan kekebalan kelompok terhadap virus ini adalah vaksin," ujar Natalie Dean, Biostatistician di University of Florida yang berspesialisasi dalam epidemiologi penyakit menular sebagaimana diutip dari Business Insider.

Mengutip dari ScienceFocus, Sir Pattrick Vallance dalam keterangannya mengatakan butuh sekitar 60 persen populasi untuk terinfeksi agar herd immunity bisa terjadi.

Padahal, WHO menyebutkan bahwa angka kematian karena Covid-19 diperkirakan sekitar 3,4 persen.

Maka jika 60 persen populasi terinfeksi misal dari sekitar 40 juta orang, itu berati akan ada ratusan ribu kematian.

Sementara itu, Lawrence Gostin, Direktur Intitut O’Neill untuk Hukum Kesehatan Nasional dan Global di Pusat Hukum Universitas Georgetown di Washington mengatakan, membiarkan ada begitu banyak infeksi di suatu negara agar ada Herd Immunity yang terbentuk adalah suatu bencana.

"Ini tentu saja bukan strategi, dan sebagai hasilnya, itu bukan yang sangat menguntungkan. Tujuannya sekarang, saya pikir, bukan untuk menghentikannya, tidak hanya membiarkannya berjalan, tetapi untuk benar-benar memperlambatnya melalui sosial distance yang sangat agresif," ucapnya sebagaimana dikutip dari SCMP.

Sifat virus

Dr. Jeremy Rossman Dosen Senior Kehormatan Bidang Virologi di Universitas Kent mengatakan, ada beberapa hal yang akan mempengaruhi virus corona baru di masa depan nanti yang saat ini belum diketahui.

Menurut Jeremy yang pertama belum diketahui apakah virus corona akan menjadi penyakit musim layaknya flu atau cukup konstan sepanjang tahun.

Kedua adalah belum diketahui berapa banyak mutasi virus yang terjadi seiring waktu.

Virus penyebab flu selama ini terus bermutasi sehingga orang butuh vaksinasi tahunan untuk melindungi jenis yang paling umum tahun itu.

“Coronavirus mungkin bermutasi pada tingkat yang lebih lambat,” kata Rossman dilansir dari Science Focus.

“Tetapi jika terus beredar, maka kita akan melihat perubahan. Pertanyaannya adalah apa yang akan dilakukan perubahan itu: mereka dapat membuat virus lebih baik dalam menghindari sistem kekebalan tubuh kita, misalnya, atau lebih mudah ditularkan” ujarnya.

Selain itu saat ini tidak diketahui berapa lama mereka yang terinfeksi akan kebal.

Beberapa jenis virus corona lain yang menyebabkan flu biasa, hanya memberikan kekebalan selama sekitar tiga bulan.

"Ada bukti untuk kekebalan jangka pendek (setelah mengontrak Covid-19)," kata Rossman.

"Tapi kami hanya belum memiliki data untuk mengetahui apakah itu memberikan kekebalan jangka panjang." Lanjutnya.

Dia memperkirakan untuk membangun herd immunity seseorang perlu kebal terhadap virus corona selama setidaknya satu atau dua tahun.

Sehingga menurutnya, harapan terbaik adalah vaksin yang banyak diperkirakan baru akan ada sekitar satu tahun lagi.

Lantas apa yang harus dilakukan?

Rossman mengatakan, tindakan yang dapat diambil adalah menjaga masyarakat mendapatkan informasi, terus menguji orang dan mengurangi penyebaran dengan mengurangi kontak sosial.

"China adalah contoh yang bagus: virus tidak menciptakan kekebalan kelompok, tetapi mereka telah berhasil menahan wabah dan menghentikan kasus-kasus baru menyebar di seluruh populasi," ujarnya.

“Jika kita bisa melakukannya di sana, kita bisa melakukannya di seluruh dunia. Ini akan sulit, tetapi saya pikir itu mungkin," pungkasnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/23/182900265/mengenal-herd-immunity-yang-disebut-bisa-perlambat-penyebaran-corona-dan

Terkini Lainnya

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

Tren
Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Tren
Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Tren
Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Tren
Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Tren
Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke