Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mimpi Buruk Pemanasan Global (6): Kiamat Sudah Dekat

KOMPAS.com - Pada Oktober lalu, warga Ibu Kota dihebohkan dengan aksi memanjat di Patung Dirgantara atau Pancoran dan Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia.

Para aktivis Greenpeace nekat memanjat belasan meter untuk membentangkan spanduk bertuliskan "Orang baik pilih energi yang baik, #Reformasi dikorupsi" dan "Lawan perusak hutan #Reformasi dikorupsi".

Meski diamankan polisi, mereka tak gentar. Mereka sengaja melakukannya untuk mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama para menteri yang baru dilantik untuk memprioritaskan dua hal terkait lingkungan di Indonesia.

Di sektor energi, mereka menuntut pemerintah beralih pada energi terbarukan dan meninggalkan energi kotor batu bara. Kemudian, untuk menyelamatkan hutan dan menjaga yang masih tersisa serta melawan para perusak hutan.

"Dua sektor ini menjadi sangat penting. Itu harus jadi prioritas jika pemerintah ingin bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah lingkungan dan juga melawan perubahan iklim, karena ini berkaitan dengan isu global," kata Juru Kampanye Greenpeace Arie Rompas.

Bukan kali ini saja kebijakan lingkungan pemerintah diprotes. Dalam gelombang unjuk rasa selama enam pekan terakhir, stop pembakaran hutan dan tindak tegas korporasi yang terlibat menjadi satu dari delapan tuntutan yang diminta mahasiswa dan rakyat sipil.

Ramai-ramai protes

Protes terkait lingkungan belum pernah sekencang ini. Di barat, ada Greta Thunberg, pelajar berusia 16 tahun dari Swedia yang mengguncang dunia dengan protesnya.

Pada 2018, Ia mulai bolos dari sekolahnya untuk berunjuk rasa di depan gedung parlemen seorang diri. Saat itu, Swedia mengalami musim panas terparah dalam 262 tahun terakhir dengan gelombang panas dan kebakaran hutan.

Kini di seluruh dunia, tiap Jumat setidaknya ada sekelompok pelajar yang bolos untuk berunjuk rasa mengikuti Greta, termasuk di Jakarta.

Pada 23 September 2019 lalu, di hadapan para pemimpin dunia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Greta yang mengidap Asperger syndrome marah-marah.

Kesepakatan Paris 2016 yang memaksa para pemerintah melakukan upaya-upaya agar pemanasan global bisa ditekan di bawah dua derajat celsius, tak diindahkan dengan serius.

Aksi Greta menginspirasi masyarakat di seluruh dunia untuk memprotes pemerintahnya. Dari 20-27 September 2019, 6 juta orang dari 150 negara turun ke jalan demi menyelamatkan bumi.

Tahun 2019 menjadi tahun di mana orang-orang bergerak serentak menuntut perbaikan. Anak-anak di seluruh dunia turun ke jalan atas haknya diwarisi bumi. Kita belum pernah seresah ini soal alam.

Kepunahan massal

"Kita ada di awal kepunahan massal, dan yang Anda semua bicarakan adalah dongeng tentang kekayaan dan pertumbuhan ekonomi," kata Greta dalam pidatonya di PBB.

Greta tak salah. Kita memang sedang menghadapi kepunahan massal. Pemanasan global yang jadi kekhawatiran dua dekade, kini sudah di depan mata.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan sepanjang 2015-2019, bumi memanas 0,2 derajat celsius dibanding 2011-2015.

Penyebabnya? Kita telah memproduksi karbon dioksida, metana, dinitrogen oksida, dan gas rumah kaca lainnya secara berlebihan.

Gas-gas yang terperangkap di bumi ini menambah suhu hingga 1,1 derajat celsius dibanding sebelum masa industri (1850).

Akibatnya, es di dua kutub bumi meleleh dengan cepat, melebihi prediksi ilmuwan. Air laut naik dan membanjiri daratan.

Diprediksi sebagian besar Jakarta--jika tidak seluruhnya--akan benar-benar tenggelam pada 2050. Begitu juga kota-kota lain di dunia.

Meskipun air laut berlimpah, air bersih sebagai sumber kehidupan kita akan berkurang drastis akibat pemanasan.

Berdasarkan penelitian Bank Dunia, ketersediaan air bersih di kota-kota di seluruh dunia akan turun hingga dua per tiga. Akibatnya, kita akan krisis pangan.

Panasnya suhu juga akan menambah kejadian gelombang panas yang mematikan. Di hutan-hutan yang bekerja sebagai paru-paru bumi, kebakaran akan lebih sering terjadi akibat peningkatan suhu dan kekeringan.

Asap dari pembakaran itu akan merusak pertumbuhan generasi muda. Kalau pun bukan karena asap kebakaran hutan, tubuh tetap akan rusak karena polusi udara dari mobil dan pabrik.

Tak ada cara cepat untuk menghentikan ini semua.

Antroposen

Sebenarnya bukan kali ini saja bumi berubah. Dikutip dari The Uninhabitable Earth: Life After Warming (2019), bumi sudah lima kali menjalani kepunahan massal. Semua disebabkan karena perubahan iklim akibat gas rumah kaca.

Yang pertama, sekitar 450 juta tahun lalu, 86 persen spesies punah. Yang paling parah, 250 juta tahun lalu, ketika karbon dioksida membuat bumi lebih hangat lima derajat celsius.

Pemanasan itu memicu gas metana yang akhirnya menghapus seluruh kehidupan di bumi. Saat ini, kita melepaskan karbon dioksida setidaknya 10 kali lebih cepat.

Di abad 21, manusia tinggal menunggu bencana mana yang akan menewaskannya lebih dulu. Bisa karena tenggelam, kepanasan, kelaparan, infeksi paru-paru, atau konflik bersenjata.

Bisa juga karena terjangkit penyakit mematikan yang mikroba pembawanya bangkit setelah ribuan tahun membeku di lapisan es.

Jika manusia purba hidup pada era holosen, maka saat ini kita hidup di era antroposen. Antroposen adalah periode geologi ketika aktivitas manusia mulai mendominasi planet bumi.

Seperti yang ditulis Roy Scranton dalam bukunya Learning to Die in the Anthropocene: Reflections on the End of a Civilization (2015), ini adalah tantangan terbesar bagi peradaban manusia.

Ketika kemajuan yang kita miliki membuat kita sadar bahwa kita akan punah. Namun semuanya terlambat. Kiamat sudah dekat.

Sekarang atau tidak sama sekali

Boleh jadi prediksi yang dipaparkan dalam serial tulisan ini hanya ketakutan semata. Presiden Amerika Serikat Donald Trump saja tak mempercayainya.

Bisa jadi, alam hanya mencari keseimbangan barunya dan manusia bisa selamat.

Namun, tak ada salahnya mencoba mencegah laju perubahan iklim. Apa yang bisa kita lakukan?

Berdasarkan kesepakatan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), ada banyak hal yang harus dilakukan serentak untuk menekan laju pemanasan global.

Berikut langkah yang perlu dilakukan seperti dirangkum majalah TIME dalam edisi khusus perubahan iklim yang terbit pada September 2019:

1. Mengurangi penggunaan bahan bakar fosil

Bahan bakar dari fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara, perlu dikurangi. Para ilmuwan menghitung, bahan bakar ini harus dikurangi hingga 62 persen, minimal 13 persen pada 2050 jika ingin menyelamatkan bumi.

Pada 2050 nanti, batu bara sudah tidak boleh digunakan lagi.

2. Mengembangkan energi terbarukan

Energi terbarukan seperti angin dan panas matahari harus dikembangkan setidaknya 59 persen dari total sumber listrik pada 2050.

Pengembangannya perlu difokuskan untuk industri dan transportasi.

3. Mengembangkan energi nuklir

Nuklir digadang-gadang sebagai sumber energi masa depan. Nuklir mampu menyediakan 28 persen listrik pada 2050, atau sekecil-kecilnya 1 persen.

Para ahli energi saat ini masih berdebar soal penggunaan nuklir untuk menggantikan bahan bakar fosil. Ada risiko yang belum bisa dipastikan seperti limbah nuklir.

4. Menyedot karbon dari atmosfer

Manusia telah menghasilkan begitu banyak karbon dioksida yang memicu perubahan iklim. Saking banyaknya, karbon perlu disedot kembali dari atmosfer.

Kita sebenarnya sudah punya teknologinya. Carbon capture namanya. Diperkirakan, butuh sekitar satu setengah fasilitas carbon capture setiap hari hingga 70 tahun ke depan untuk bisa menahan laju pemanasan global.

Sayangnya, pada 2018, kita baru punya 18 lokasi carbon capture.

5. Mengubah pola makan dan menyelamatkan hutan

Tahukah Anda, dampak lingkungan yang dihasilkan satu kilogram daging sapi sama dengan perjalanan mobil sejauh 320 kilometer?

Metana, gas yang 84 kali lebih berbahaya dari karbon dioksida, dihasilkan setiap hari di peternakan-peternakan di seluruh dunia.

Kentut dan sendawa sapi mengandung metana yang berbahaya. Untuk bisa mengurangi metana, kita juga harus mengurangi produksi dan konsumsi hewan.

Kita harus mengubah pola makan dan pola agrikultur agar tidak ada lagi hutan-hutan yang dialihkan jadi lahan pertanian.

Secara keseluruhan, hutan tidak boleh berkurang lebih dari 2 juta kilometer persegi dan perlu ditambah menjadi setidaknya 9,5 juta kilometer persegi.

6. Hidup lebih efisien

Anda bisa mencoba hidup lebih efisien dengan meninggalkan kendaraan pribadi, menghemat listrik, menggunakan lampu hemat energi, untuk menyelamatkan lingkungan.

Jika ini dilakukan serentak, pemerintah dan industri tak perlu berinvestasi di sektor energi. Kebutuhan energi bisa berkurang 50 persen.

Selesai.

https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/08/203000465/mimpi-buruk-pemanasan-global-6-kiamat-sudah-dekat

Terkini Lainnya

4 Keputusan Wasit Shen Yinhao yang Dianggap Merugikan Timnas di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

4 Keputusan Wasit Shen Yinhao yang Dianggap Merugikan Timnas di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

Tren
Kronologi Kecelakaan Motor Harley-Davidson di Probolinggo, Dokter dan Istrinya Jadi Korban

Kronologi Kecelakaan Motor Harley-Davidson di Probolinggo, Dokter dan Istrinya Jadi Korban

Tren
Ramai soal Setop Imunisasi Anak, Apa Dampaknya pada Tubuh Si Kecil?

Ramai soal Setop Imunisasi Anak, Apa Dampaknya pada Tubuh Si Kecil?

Tren
Analogi Shin Tae Yong dan Wibisana

Analogi Shin Tae Yong dan Wibisana

Tren
Indonesia Masih Berpeluang Lolos ke Olimpiade Paris 2024, Ini Skenarionya

Indonesia Masih Berpeluang Lolos ke Olimpiade Paris 2024, Ini Skenarionya

Tren
Indonesia Mulai Memasuki Musim Kemarau, Kapan Puncaknya?

Indonesia Mulai Memasuki Musim Kemarau, Kapan Puncaknya?

Tren
Ilmuwan Pecahkan Misteri 'Kutukan Firaun' yang Tewaskan 20 Orang Saat Membuka Makam Tutankhamun

Ilmuwan Pecahkan Misteri "Kutukan Firaun" yang Tewaskan 20 Orang Saat Membuka Makam Tutankhamun

Tren
3 Keputusan VAR yang Dinilai Rugikan Garuda Muda di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

3 Keputusan VAR yang Dinilai Rugikan Garuda Muda di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

Tren
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pemerhati Kritisi Persoalan Komunikasi dan Transparansi

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pemerhati Kritisi Persoalan Komunikasi dan Transparansi

Tren
Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Kelapa Muda? Ini Kata Ahli

Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Kelapa Muda? Ini Kata Ahli

Tren
Kata Media Asing soal Kekalahan Indonesia dari Uzbekistan, Soroti Keputusan Kontroversial Wasit

Kata Media Asing soal Kekalahan Indonesia dari Uzbekistan, Soroti Keputusan Kontroversial Wasit

Tren
Pengakuan Guru SLB soal Alat Belajar Tunanetra yang Ditahan Bea Cukai

Pengakuan Guru SLB soal Alat Belajar Tunanetra yang Ditahan Bea Cukai

Tren
Ikan Kembung, Tuna, dan Salmon, Mana yang Lebih Baik untuk MPASI?

Ikan Kembung, Tuna, dan Salmon, Mana yang Lebih Baik untuk MPASI?

Tren
Sosok Shen Yinhao, Wasit Laga Indonesia Vs Uzbekistan yang Tuai Kontroversi

Sosok Shen Yinhao, Wasit Laga Indonesia Vs Uzbekistan yang Tuai Kontroversi

Tren
Daftar Provinsi yang Menggelar Pemutihan Pajak Kendaraan Mei 2024

Daftar Provinsi yang Menggelar Pemutihan Pajak Kendaraan Mei 2024

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke