Permohonan tersebut mereka layangkan atas nama pribadi bersama dengan 10 orang tokoh dan aktivis antikorupsi lainnya, di antara mantan komisioner KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan M Jasin. Ke-13 orang pemohon ini menamakan diri Tim Advokasi Undang-Undang (UU) KPK.
Para pemohon meminta MK membatalkan UU KPK baru dan memberlakukan UU KPK sebelumnya. Alasannya, UU KPK baru cacat prosedur atau cacat formil, mulai dari pembahasan hingga penetapannya.
Para pemohon menyoroti pembahasan revisi UU KPK yang terburu-buru, tertutup dan sembunyi-sembunyi, tidak termasuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas), hingga sidang paripurna pengesahan UU KPK hasil revisi di DPR yang tidak mencapai kuorum.
Agus Rahardjo mengatakan, langkah ini dilakukan secara paralel sembari menunggu Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atas UU KPK hasil revisi.
Uji formil merupakan langkah awal. Selanjutnya, para pemohon juga akan mengajukan judicial review dari segi materil (uji materil).
Menurut Laode M Syarif, saat ini para pemohon tengah mengumpulkan bahan-bahan yang akan diajukan untuk diuji. Salah satunya kontradiksi antara Pasal 69 D dan 70 C UU KPK yang baru.
Pasal 69 D berbunyi, "Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum undang-undang ini diubah."
Adapun Pasal 70 C berbunyi, "Pada saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini."
"Memang kelihatan sekali UU ini dibuat secara terburu-buru, sehingga kesalahannya juga banyak," kata Laode.
Sebelum Agus Rahardjo cs mendaftarkan permohonan, sudah ada enam perkara permohonan judicial review UU KPK hasil revisi yang diregistrasi di MK.
Gugatan tersebut diajukan sejak akhir September atau sejak UU KPK hasil revisi disahkan, baik dari segi materil maupun formil, oleh berbagai pihak dengan beragam latar belakang.
Perlawanan masyarakat sipil dan para pegiat antikorupsi dalam menolak UU KPK hasil revisi seakan memasuki saat-saat terakhir menjelang babak baru KPK pada 20 Desember 2019. Pada saat itu, Presiden Joko Widodo akan melantik pimpinan baru KPK untuk masa jabatan 2019-2023.
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK juga disebut-sebut akan dilantik oleh Presiden Jokowi pada saat yang sama. Saat ini sejumlah nama calon anggota Dewas KPK tengah ditimang-timang oleh Jokowi.
Berbagai cara dan upaya telah dilakukan oleh masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, dalam menolak UU KPK hasil revisi. Gelombang unjuk rasa mahasiswa menolak UU KPK telah dilakukan dalam beberapa hari di berbagai kota di Tanah Air, bahkan hingga memakan korban jiwa.
Sejumlah tokoh masyarakat dan pakar hukum telah pula menyambangi Istana meminta Jokowi menerbitkan Perppu KPK untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
Namun, sejauh ini Presiden Jokowi tetap bergeming. Perppu KPK yang sempat dipertimbangkan tak kunjung dikeluarkan. Presiden seolah mengulur-ulur waktu dengan mengatakan masih menunggu hasil judicial review di MK sebelum memutuskan untuk menerbitkan perppu.
Para legislator di Senayan terus mendorong para penolak UU KPK hasil revisi untuk menempuh jalur judicial review di MK. Upaya ini digaung-gaungkan sebagai langkah konstitusional. Hal ini seakan dijadikan senjata andalan dalam menghadapi para penolak UU KPK.
Padahal, perppu sejatinya juga merupakan upaya konstitusional. Hak Presiden untuk menerbitkan perppu dijamin dalam konstitusi. Namun, para perumus UU KPK seolah mewanti-wanti agar masyarakat tidak mendesak Presiden untuk menerbitkan perppu.
Terus digaungkannya narasi judicial review boleh jadi karena para perumus UU KPK percaya diri bahwa gugatan para penolak akan kandas di MK.
Pasalnya, MK tidak berhak untuk membatalkan undang-undang yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang yang buruk, ujar pakar hukum tata negara Refly Harun, belum tentu bertentangan dengan konstitusi.
Lantas, bagaimana nasib perlawanan terakhir masyarakat sipil dan para pegiat antikorupsi dalam menolak UU KPK hasil revisi? Apakah Perppu KPK hanya isapan jempol?
Hal ini akan dibahas mendalam pada talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (27/11/2019), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB. Turut dibahas pula bagaimana wajah KPK setelah dimulainya babak baru pada 20 Desember 2019.
https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/27/055222565/perlawanan-terakhir-kpk