Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muzakki Bashori
Dosen

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang dan doktor di bidang linguistik terapan dari Radboud University Nijmegen, Belanda

Potret Budaya Berinovasi dalam Folklor Legenda Lentog Tanjung

Kompas.com - 24/07/2023, 16:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERDASARKAN laporan terbaru Global Innovation Index 2022 yang dirilis World Intellectual Property Organization (WIPO), Indonesia menempati peringkat 75 dari 132 negara yang disurvei. Walaupun laporan tersebut menyatakan, Indonesia menunjukkan ‘potensi inovasi yang menjanjikan’, tetapi semangat berinovasi terutama dalam diri generasi muda untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negeri masih perlu digalakkan.

Dengan skor rata-rata hanya mencapai 27,9, Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara di Asia Tenggara lainnya, antara lain Singapura (peringkat 7), Malaysia (36), Thailand (43), dan Vietnam (48).

Hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar sekaligus pekerjaan rumah bersama, apakah benar Indonesia tidak (pernah) memiliki budaya berinovasi sejak zaman baheula?

Untuk mengetahui gambaran kehidupan masyarakat di masa lampau, banyak kajian dan telaah kritis berbasis produk sastra lisan dilakukan oleh para peneliti (antropolog sastra), akademisi, dan enthusiast. Salah satu objek kajian yang menarik untuk digali adalah folklor atau cerita rakyat lokal.

Folklor merupakan salah satu bentuk tradisi atau sastra lisan berupa cerita rakyat yang berkembang di masyarakat dan umumnya diwariskan secara turun temurun. Folklor yang ‘hidup’ dalam masyarakat diyakini menggambarkan kondisi masyarakat dalam periodisasi historis tertentu.

Walaupun folklor mengandung unsur ‘khayalan’ atau fantasi dan cenderung fiktif, kehadiran tradisi lisan tersebut menawarkan pengetahuan sosial budaya yang patut dicermati. Melalui analisis terhadap elemen intrinsik dan ekstrinsik serta simbol-simbol cerita yang digunakan dalam sebuah folklor, refleksi terhadap keadaan masyarakat tempo dulu dapat ditelusuri kebenarannya.

Inovasi Kuliner dalam Legenda Lentog Tanjung

Sebagai negara yang memiliki khazanah sastra lisan yang beragam, Indonesia menyimpan berbagai folklor lokal di hampir seluruh daerah di nusantara, tidak terkecuali di Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Salah satu folklor di kabupaten ini yang mengandung nilai-nilai budaya berinovasi adalah legenda Lentog Tanjung yang berasal dari Desa Tanjungkarang.

Lentog Tanjung merupakan kuliner khas Desa Tanjungkarang yang terdiri atas lontong, sayur gori atau nangka muda, dan lodeh tahu tempe dengan tambahan bawang goreng dan sambal di atasnya.

Baca juga: Lentog Tanjung, Makanan Khas Kudus yang Mirip Lontong Cap Go Meh

Seperti folklor pada umumnya, legenda Lentog Tanjung juga memiliki bermacam versi. Hal ini wajar terjadi, mengingat folklor bertransmisi dari mulut ke mulut, sehingga rentan mengalami modifikasi.

Bahkan, James Danandjaja dalam buku Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (1984) yang dikutip dalam buku Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi (Endraswara, 2013) menyatakan, banyaknya versi ini merupakan salah satu syarat atau ciri pengenal dari sebuah folklor.

Secara singkat, berdasarkan salah satu versi cerita, legenda Lentog Tanjung mengisahkan seorang santri Sunan Kudus yang diminta untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan di sebuah desa (yang konon saat ini bernama Desa Tanjungkarang). Seiring waktu, santri tersebut ingin membangun sebuah tempat khusus untuk belajar agama dan berinteraksi secara rutin bersama masyarakat.

Akan tetapi, pada malam-malam menjelang dini hari, saat proses mendirikan tempat tersebut, sering sekali terdengar suara seperti “tog-tog-tog” pertanda masyarakat setempat sudah mulai beraktivitas pagi dengan menumbuk padi dan memilah beras di atas tambir untuk dimasak menjadi nasi.

Pembangunan pun terhambat dan akhirnya berhenti. Sang santri menerawang, apabila orang di daerah tersebut berjualan nasi, tidak akan laku nanti (dalam versi lain menyebutkan bahwa ketika zaman semakin ramai, kehidupan masyarakat setempat tidak akan jauh dari ‘bubur putih’ atau lontong/lentog).

Warga desa kemudian menyadari hal ini. Demi menghormati si santri, warga kemudian mencari bahan dan teknik memasak alternatif untuk digunakan sebagai pengganti berjualan nasi.

Pohon nangka yang tumbuh di sekitar desa lalu dimasak menjadi sayur tewel atau gori. Jadilah lentog tanjung dengan cita rasa khas yang banyak diminati.

Penulis yang merupakan warga asli Desa Tanjungkarang melakukan kajian literatur, observasi lapangan di sentra kuliner Lentog Tanjung, dan wawancara kepada seorang penjaja lentog dan salah satu aktivis atau pemerhati tradisi yang juga merupakan penulis buku ‘Desa Tanjungkarang: Jejak Pengembangan Agama dan Ekonomi’.

Folklor legenda Lentog Tanjung merefleksikan sebuah budaya berinovasi dalam bidang kuliner yang sadar atau tanpa disadari sudah dilakukan oleh warga setempat sejak dahulu untuk mendukung perekonomian mereka. Bahkan, ibu penjaja lentog yang diwawancarai adalah generasi kedua yang sudah menjajakan lentog tanjung kurang lebih selama 30 tahun.

Ketika ditanya perihal harapan kepada generasi muda terkait kuliner lentog tanjung, pemuda aktivis yang diwawancarai secara eksplisit menyebutkan kata inovasi sebagai langkah strategis yang perlu dilakukan, seperti sosialisasi atau promosi ke luar daerah Kudus.

Penulis berpikir, agar produk lentog tanjung ini semakin dikenal luas, bagaimana jika dikemas dan diproduksi layaknya gudeg kaleng? Budaya berinovasi yang ditampilkan melalui folklor legenda Lentog Tanjung selaras dengan prinsip GusJiGang yang terinspirasi dari ajaran Sunan Kudus dan sudah sejak lama menjadi falsafah hidup masyarakat Kudus.

Kata GusJiGang merupakan akronim dari bagus (etika dan sikap positif individu), mengaji, dan berdagang. Sebelum sampai pada titik berdagang atau berwirausaha, seorang individu seyogyanya sudah memiliki ‘kebagusan’ dalam diri dan rajin mengaji dan mengkaji (mempelajari agama).

Harapannya, ketika memulai usahanya nanti, individu tersebut tetap mengedepankan kejujuran dan kedermawanan hati, sehingga akan mudah muncul rasa ingin berbagi kepada sesama yang membutuhkan.

Selain itu, ketika sampai di titik berdagang atau berwirausaha, seorang individu juga dituntut untuk memiliki keterampilan berupa kemampuan berpikir kritis dan kreatif untuk melakukan inovasi-inovasi kekinian agar usahanya terus berkembang dan membuahkan hasil yang menguntungkan.

Melalui prinsip GusJiGang, keuntungan yang diperoleh dari aktivitas berwirausaha tadi akan lebih berkah apabila dibagi kembali kepada masyarakat, misal dalam bentuk sedekah atau bantuan sosial lainnya sebagai salah satu bentuk kepedulian dan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Ojo Gumunan

Legenda Lentog Tanjung merupakan sebuah refleksi dari suatu kehidupan masyarakat yang mengimplementasikan dan mengajarkan budaya berinovasi sejak zaman dahulu, sekaligus menunjukkan bahwa berinovasi bukanlah ‘barang baru’ di negeri ini. Folklor ini semestinya menjadi kontemplasi bagi kita bersama dan pelecut semangat untuk bergandengan tangan memajukan negeri melalui karya-karya inovasi.

Ojo gumunan, sebuah sindiran dalam bahasa Jawa yang berarti bahwa kita tidak boleh terlalu terpukau dengan segala kehebatan yang ditunjukkan oleh negara-negara luar melalui media-media massa. Kita harus mengawali dengan kepercayaan diri terlebih dahulu bahwa kita adalah bangsa yang sedari lahir sudah kuat dan mumpuni dan memiliki budaya berinovasi yang tinggi.

Berangkat dari kepercayaan diri itulah, kita akan mampu melangkah lebih tegap dan berdiri lebih tegak menghadapi globalisasi yang tengah bergemuruh teriak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com