Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suherman
Analis Data Ilmiah BRIN

Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat ASEAN, Peraih medali emas CONSAL Award

Kartini: Memperjuangkan Emansipasi dengan Literasi (Bagian II - Habis)

Kompas.com - 19/04/2023, 05:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENURUT Kartini, masyarakat umum didorong kembali kedalam gelap, tempat asal mereka dan tempat di mana semua orang dan setiap warga nenek moyangnya dulu hidup. Orang menganggap “omong kosong” buku-buku Barat.

“Pendapat orang tidak seluruhnya betul. Bukan hanya buku-buku yang membuat anak gadis itu durhaka, yang membuat ia benci setengah mati adalah kondisi yang sejak dulu kala ada dan merupakan azab bagi semua kaum perempuan.”

Baca artikel sebelumnya: Kartini: Memperjuangkan Emansipasi dengan Literasi (Bagian I)

Kartini melihat di sekelilingnya hanyalah belenggu yang membuatnya menderita, maka untuk melepaskan diri salah satu caranya adalah berdialog dengan buku dan berkorespondensi dengan para sahabat penanya terutama Abendanon.

Malah ada yang mengatakan bahwa Kartini adalah anak ideologinya Abendanon.

“Nanti di kemudian hari, apabila kami telah memperjuangkan diri lepas sama sekali dari cengkraman adat kebiasaan yang berabad-abad lamanya. Adat kami patuhi hanyalah karena cinta kami kepada orang tua kami tersayang. Kami tidak berhak bodoh, tidak berhak tak berarti.” (hal. 54)

Cita-cita Kartini yang lain adalah menjadi guru. Ia ingin menjadi guru agar dapat mengajarkan kepada para calon ibu di samping ilmu pengetahuan juga pengertian kasih dan keadilan seperti yang diketahuinya dari orang-orang Eropa.

Menurut dia, manusia pertama-tama menerima pendidikan dari seorang perempuan. Dari tangan seorang perempuan anak-anak mulai belajar merasa, berpikir, dan berbicara. Didikan pertama kali tersebut akan berpengaruh kepada kehidupannya di masa depan.

Kartini pernah berharap pada kemurahan hati gubernur untuk membuatkan sekolah, dan dia bercita-cita menjadi guru atau kepala sekolahnya.

Akan tetapi, pada waktu itu sebagian besar bupati yang dimintai pertimbangan menyatakan tidak setuju, karena berlawanan dengan adat apabila anak-anak perempuan dididik di luar rumah.

“Sayang! Kekhawatiran kami ternyata beralasan. Kami berharap banyak dari rencana pemerintah yang bagus itu. Tetapi itu akan sia-sia saja karena kebanyakan kepala bumiputera yang dimintai pendapat mengenai hal ini tidak setuju. Mereka beranggapan bahwa menerima pendidikan dari luar bagi anak perempuan sangat bertentangan dengan adat. Melayanglah angan-angan yang hampa! Terbanglah impian masa depan yang indah!” (hal. 140)

Obsesi Kartini adalah berjuang untuk mendorong kaum wanita supaya belajar dengan cara membaca agar tidak ditindas kaum pria.

Dalam adat Jawa pada waktu itu, perempuan dianggap bukan apa-apa, perempuan diciptakan hanya untuk kesenangan laki-laki.

Mereka dapat berbuat sekehendak hati terhadap perempuan. Melihat hal tersebut mata Kartini menyala, dan dengan geram dikepalkan tangannya dan dikatupkan bibirnya erat-erat menahan amarah yang memuncak.

“Tidak! Kami manusia, sama seperti laki-laki. Berilah kami izin untuk membuktikannya dan saya akan menunjukannya bahwa saya manusia.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com