Namun, pada 1821, Perang Padri berubah menjadi perang kolonial setelah ultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung, terpaksa meminta bantuan kepada Belanda.
Tidak lama kemudian, Belanda mulai membantu kaum Adat dengan melancarkan serangkaian serangan kepada kaum Padri.
Karena pertempuran berjalan sangat alot, pada 1825 Belanda terpaksa mengajak Tuanku Imam Bonjol, yang memimpin perlawanan kaum Padri saat itu, untuk melakukan gencatan senjata.
Belanda saat itu tengah menghadapi perlawanan besar di Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Setelah Perang Diponegoro di Jawa berakhir, Belanda kembali memusatkan perhatiannya untuk melawan kaum Padri.
Baca juga: Apa Itu Strategi Winning the Heart pada Masa Perang Padri?
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba mengajak kaum Adat bersatu melawan Belanda.
Langkah tersebut membuahkan hasil, dan pada akhir 1832 kedua kubu melakukan persetujuan di lereng Gunung Tandikat.
Hal itu membuat Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap oleh Belanda pada 1833 atas tuduhan pengkhianatan dan dibuang ke Betawi.
Tidakan Belanda terhadap sultan membuat kaum Adat marah dan akhirnya bangkit melawan penjajah.
Sayangnya, berbagai serangan yang dilancarkan penduduk Minangkabau dapat diredam oleh Belanda yang terus mendapatkan dukungan dari Batavia.
Pada 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai dan Tuanku Imam Bonjol dijebak dalam sebuah perundingan.
Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, sebelum dipindahkan ke Ambon, dan akhirnya diasingkan ke Lotak, Minahasa, hingga akhir hayatnya pada 8 November 1864.
Referensi: