Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Selat Muria yang Menghilang pada Abad ke-17

KOMPAS.com - Banjir yang terjadi di pesisir utara Jawa Tengah, khususnya wilayah Kudus dan sekitarnya, sering kali dikaitkan dengan keberadaan Selat Muria.

Selat Muria merupakan selat yang pernah menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Muria, yang kini menjadi Kabupaten Jepara, Pati, dan Kudus.

Saat ini, Selat Muria telah menjadi daratan yang meliputi wilayah Demak, Kudus, Grobogan, Pati, dan Rembang. Pulau Muria pun menyatu dengan Pulau Jawa.

Walaupun sudah lenyap selama beberapa abad, ternyata Selat Muria zaman dulu menyimpan kisah yang tidak sedikit dan memegang peran penting, terutama dalam bidang pelayaran.

Lalu bagaimana sejarah Selat Muria hingga akhirnya menghilang?

Selat Muria sebelum abad ke-17

Sebelum abad ke-17, Selat Muria memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Muria, yang di tengah-tengahnya terdapat Gunung Muria.

Di sepanjang tepian Selat Muria terdapat pelabuhan perdagangan dengan berbagai komoditas yang datang dari wilayah pedalaman Jawa, maupun Pulau Muria.

Dalam buku karya Tome Pires, seorang penulis berkebangsaan Portugis, pada awal abad ke-16, kawasan Selat Muria merupakan lokasi galangan kapal yang memproduksi kapal-kapal jung Jawa.

Keberadaan industri pembuatan kapal membuat kawasan ini didominasi oleh para saudagar muslim, dan Tome Pires memberinya julukan sebagai penguasa jung.

Selat Muria semakin ramai ketika dilalui oleh kapal-kapal dagang yang menuju Kerajaan Demak, yang kala itu berperan sebagai pelabuhan utama.

Ketika menggambarkan ekologi Demak, De Graaf dan Pigeaud menulis bahwa distrik Demak terletak di pantai selat, yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa.

Selat Muria memiliki peran penting bagi perekonomian Kerajaan Demak, yang bergantung pada sektor maritim sekaligus agraris.

Pelabuhan Demak menjadi tujuan kapal-kapal dari Maluku untuk menjalankan transaksi perdagangan, sehingga lalu lintas di Selat Muria cukup ramai.

Selat Muria cukup lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga menjadi jalan pintas bagi para pedagang dari Semarang yang hendak menuju Rembang atau sebaliknya.

Keberadaan Selat Muria membantu para pedagang tidak perlu memutar melewati Pelabuhan Jepara ataupun memutari Pulau Muria.

Kapan Selat Muria hilang?

De Graaf dan Pigeaud menyebutkann bahwa pada abad ke-17, selama musim hujan orang dapat berlayar dari Jepara sampai Pati di tepi Sungai Juwana, dengan sampan lewat tanah yang tergenang air.

Dengan kata lain, saat itu Selat Muria sudah surut, dan sungai-sungai di sekitar pantai utara Jawa juga mengalami pendangkalan.

Pada 1657, Tumenggung Pati sempat mengumumkan bahwa ia bermaksud menggali saluran baru dari Demak ke Juwana, hingga Juwana bisa menjadi pusat perdagangan.

Diperkirakan, Tumenggung Pati ingin memulihkan jalan air lama, yang satu abad sebelumnya masih dapat dipakai.

Saat itu, Selat Muria sudah tidak dapat lagi dilayari dengan perahu-perahu yang besar karena telah menjadi dangkal oleh endapan lumpur.

Proses sedimentasi pada Selat Muria, dengan cepat membuat selat tertutup pasir sehingga menjadi sebuah daratan.

Material sedimentasi pada Selat Muria berasal dari beberapa sungai, seperti Sungai Jragung, Tuntang, Lusi, Juwana, dan Jratunseluna.

Selat Muria, yang perlahan berubah menjadi rawa-rawa dan perairan yang dangkal, membawa dampak besar, terutama bagi aktivitas pelayaran dan perdagangan.

Semenjak Selat Muria mengalami sedimentasi, Pelabuhan Demak tidak lagi menjadi pelabuhan utama dan digunakan kapal-kapal untuk berlabuh.

Pasalnya, Selat Muria tidak dapat dipakai sepanjang tahun, karena saat musim kemarau menjadi dangkal.

Kondisi itu membuat kapal-kapal yang hendak berlabuh di Pelabuhan Demak harus menunggu air pasang, yang membuat kegiatan perdagangan menjadi tersendat.

Akibatnya, para pedagang dari Maluku berpindah berlabuh di Pelabuhan Jepara, karena selain aman dari terjangan gelombang besar, perairannya stabil.

Endapan sungai yang bermuara di Selat Muria membuat selat ini semakin dangkal dan akhirnya hilang.

Hilangnya Selat Muria menjadi dataran rendah membuat Pulau Muria menyatu dengan Pulau Jawa.

Selat Muria sekarang

Di masa sekarang, Selat Muria sudah menjadi bagian dari Kabupaten Pati, Demak dan Kudus.

Wilayah Selat Muria juga digunakan sebagai tempat hunian warga setempat serta aktivitas pertanian.

Bukti dari sisa-sisa Selat Muria juga dapat dijumpai pada Situs Purbakala Patiayam, Kudus, yang banyak menyimpan fosil-fosil hewan laut serta bangkai kapal.

Setiap tahun, kawasan yang dulunya merupakan Selat Muria kerap tergenang air saat musim hujan.

Memasuki tahun 2024, Kabupaten Demak dilanda banjir terparah dalam 30 tahun, dengan daerah terdampak jauh lebih luas dari tahun-tahun sebelumnya.

Bencana tersebut menghidupkan asumsi di kalangan masyarakat bahwa Selat Muria akan terbentuk lagi.

Melansir Kompas Tren, Selat Muria tidak bisa muncul kembali dalam waktu dekat.

Dosen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Salahuddin Husein, mengatakan bahwa pembentukan selat memerlukan proses geologis berupa pembentukan cekungan laut yang membutuhkan waktu hingga jutaan tahun.

"Suatu selat akan terbentuk secara geologis, yaitu apabila kerak Bumi di kawasan tersebut mengalami peregangan (rifting) dan penurunan (subsidence) secara tektonis," kata Salahuddin.

Hingga saat ini, Salahuddin melaporkan bahwa indikasi awal proses tektonis tersebut masih belum terlihat.

Atas dasar itu, dapat disimpulkan bahwa Selat Muria tidak akan terbentuk kembali dalam skala waktu manusia.

Referensi:

  • Dian Novita dkk. (2010). Tinjauan Awal: Sedimentasi di Selat Muria Sebagai Salah Satu Penyebab Mundurnya Kerajaan Demak. PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/03/25/140000579/sejarah-selat-muria-yang-menghilang-pada-abad-ke-17

Terkini Lainnya

Ragam Reaksi Rakyat Sumatera terhadap Berita Proklamasi Kemerdekaan

Ragam Reaksi Rakyat Sumatera terhadap Berita Proklamasi Kemerdekaan

Stori
Jumlah Pasukan Perang Badar

Jumlah Pasukan Perang Badar

Stori
Konferensi Yalta: Tokoh, Hasil, dan Dampaknya

Konferensi Yalta: Tokoh, Hasil, dan Dampaknya

Stori
Narciso Ramos, Tokoh Pendiri ASEAN dari Filipina

Narciso Ramos, Tokoh Pendiri ASEAN dari Filipina

Stori
Biografi Pangeran Diponegoro, Sang Pemimpin Perang Jawa

Biografi Pangeran Diponegoro, Sang Pemimpin Perang Jawa

Stori
Biografi Mohammad Yamin dan Perjuangannya

Biografi Mohammad Yamin dan Perjuangannya

Stori
Ras yang Mendominasi Asia Timur dan Asia Tenggara

Ras yang Mendominasi Asia Timur dan Asia Tenggara

Stori
Sejarah Kelahiran Jong Java

Sejarah Kelahiran Jong Java

Stori
7 Fungsi Pancasila

7 Fungsi Pancasila

Stori
Sa'ad bin Ubadah, Calon Khalifah dari Kaum Anshar

Sa'ad bin Ubadah, Calon Khalifah dari Kaum Anshar

Stori
JH Manuhutu, Presiden Pertama RMS

JH Manuhutu, Presiden Pertama RMS

Stori
Penyebaran Berita Proklamasi Kemerdekaan di Sunda Kecil

Penyebaran Berita Proklamasi Kemerdekaan di Sunda Kecil

Stori
Apa yang Dimaksud Kepulauan Sunda Besar?

Apa yang Dimaksud Kepulauan Sunda Besar?

Stori
Kenapa Bali, NTB, dan NTT Disebut Sunda Kecil?

Kenapa Bali, NTB, dan NTT Disebut Sunda Kecil?

Stori
Sejarah Tarian Rangkuk Alu

Sejarah Tarian Rangkuk Alu

Stori
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke