Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tebakan, Pertanyaan Recehan, dan Kualitas Pemimpin

Ketua Program Magister dan Doktoral Sosiologi itu menganalogikan, waktu konsultasi mahasiswa strata satu (S1), S2, dan S3 berbeda durasi waktunya. Jam terbang dan level keilmuan menentukan kadar waktu diskusi, katanya.

Durasi waktu diskusi mahasiswa S1 relatif singkat, S2 sedikit lama, dan S3 makin lama.

“Mengapa begitu, prof?” tanya saya, yang direspons, level keilmuan berkaitan dengan target dan kualifikasi produk pengetahuan.

“Jadi sebentar saja konsultasinya andaikata kamu mahasiswa S1,” kata Prof Heru sambil tertawa.

Saya mencoba menjabarkan pandangan itu dengan mengaitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT).

Di dalamnya dijelaskan bahwa mahasiswa S1 memahami dasar-dasar keilmuan secara umum terhadap disiplin ilmu yang diminatinya.

Produk dari proses berpengatahuan adalah memahami persoalan tertentu dengan metode deskripsi pengetahuan tertentu.

Logika berpikirnya masih terbatas, sederhana. Maka durasi waktu konsultasi sebentar saja karena pendalaman pengetahuan menyulitkan mahasiswa yang bersangkutan.

Logika berpikir mereka sederhana. Pertanyaannya bisa sesuatu yang retoris atau tidak memerlukan jawaban karena yang bersangkutan sebenarnya tahu.

Apa yang disampaikan bisa saja karena yang bersangkutan ingin mendapat perhatian dari dosen atau teman, atau iseng untuk mengerjai dosen atau teman kelas.

Pada suatu kelas mahasiswa S1, saya menjelaskan tentang terminologi masyarakat sipil. Dalam presentasi, diksi masyarakat sipil disingkat MS.

Entah ngantuk atau benar-benar tidak tahu, seorang mahasiswa unjuk jari, “Bapak, bisakah dijelaskan apa itu MS?” Dia tersenyum dan seperti bangga melontarkan tebakan apa itu MS.

Ini menunjukkan cara berpikir S1 yang sangat sederhana, belum sampai tahap analitik, sangat dasar, dan jauh dari komprehensif.

Saat debat pamungkas Cawapres pekan lalu, Mahfud MD menyebut pertanyaan seperti itu recehan, yang dalam dunia akademik tidak perlu dijawab.

Dalam ruang kelas kuliah, dosen tidak bisa mengabaikan pertanyaan recehan itu. Namun dalam level debat nasional, apalagi melibatkan calon pemimpin negara, pertanyaan mahasiswa S1 tidak layak disampaikan dalam forum tersebut.

Level medium pada mahasiswa S2. Mereka diasumsikan menguasai dasar-dasar pengetahuan pada masa kuliah S1.

Maka mahasiswa magister atau semacamnya, logika berpikirnya meningkat pada level pengembangan pengetahuan atau praktik profesional melalui riset.

Idealnya mampu menghasilkan karya inovatif atau mengembangkan riset yang manfaat bagi masyarakat.

Kesan berbeda menghadapi mahasiswa pascasarjana teknik, yang saya temui dalam perjalanan kereta dari Bandara Yogya International Airport (YAI) ke Stasiun Tugu Yogyakarta.

Ketika berbicang, dia membawakan diri dengan tenang, kalimat demi kalimat dalam perbincangan tertata dengan baik, dan mendiskusikan tentang strategi menghadapi tugas kuliah dengan suasana serius, tetapi santai.

Dia menanyakan bagaimana menghadapi situasi pikiran yang stagnan, kemandekan, pada proses menulis proposal dan mengolah data tesis? Apakah situasi itu dihadapi dengan diam diri, atau membuka diri, berdiskusi dengan teman sejawat?

Logika berpikir, bahasanya jalan dan memahami substansi persoalan, serta bisa mengalisis persoalan. Suasana dialogis terjalin.

Memasuki level S3, logika berpikir seseorang pada jenjang tinggi maju (advan) dan filosofis. Logika berpikirnya diasumsikan pada level integratif, tidak aspek teknis, sebaliknya dituntut memiliki kemampuan menemukan pengetahuan baru atau terobosan baru (novum). Logika berpikirnya komprehensif.

Teman sejawat adik angkatan di program doktoral sosiologi mengajak berbincang tentang isu yang menarik untuk diteliti, dan mendiskusikan bagaimana mengurai seputar fakta-fakta persoalan yang ditemukan dalam riset di lapangan.

Bahasanya sederhana, tetapi kapasitas intelektualnya memungkinkan kolega itu menjelaskan apa yang dibahas dengan bahasa bernas, dan bisa dipahami oleh awam sekalipun.

Pemahaman tentang persoalan terintegrasi antara dimensi teknis, filosofis, dan kebijakan. Logika bahasanya diekspresikan secara sederhana, orang lain yang mendengarnya tidak sampai dahinya mengkerut.

Level pengetahuan dan logika berpikir dikaitkan dengan kapasitas kepemimpinan sangat relevan. Kita mendapat pelajaran dalam debat putaran empat yang diikuti tiga cawapres.

Panggung politik itu menyajikan tontonan bagaimana level berpikir cawapres. Sebagai calon pemimpin, bagaimana idealnya level berpikir cawapres? Apakah level S1, S2, ataukah S3?

Level pikiran dan pengetahuan S1, S2, S3 yang dimaksud di sini tidak identik level pendidikan, melainkan bagaimana kapasitas berpikir dan pengetahuan cawapres.

Dalam keseharian, lulusan S3 bisa saja logika berpikir dan pengetahuannya kalah dengan lulusan S1.

Panggung politik debat cawapres menunjukkan dengan jelas, tiga cawapres memiliki level berpikir sangat berbeda.

Gibran Rakabuming identik dengan level logika berpikir strata satu, yang memiliki karakter berpikir sempit, teknis, tidak menyentuh dimensi kebijakan dan filosofis.

Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD menunjukkan logika berpikir yang selayaknya, dengan memadukan aspek teknis sekaligus filosofis, atau komprehensif.

Level berpikir biasanya diikuti dengan tata krama atau etika dalam menyampaikan pendapat atau berkomunikasi.

Muhaimin dan Mahfud memandang lawan bicaranya selevel, tidak meremehkan. Keduanya menyampaikan persoalan atau pertanyaan secara komprehensif, masalah disampaikan tidak untuk menjebak lawan debat agar tidak bisa menjawab agar dipermalukan di depan publik.

Gibran menyampaikan pertanyaan atau pernyataan tidak lengkap, dan selalu berkutat pada aspek teknis, cenderung tidak jelas persoalannya.

Problem etik terjadi di sana ketika dia menyampaikan persoalan bukan untuk dipahami lawan komunikasi atau lawan debat, tetapi pertanyaan atau pernyataan itu disampaikan dengan tendensi agar orang lain terlihat bodoh, tidak bisa menjawab.

Jadi, panggung politik debat cawapres itu meninggalkan pelajaran berharga bahwa level berpikir pemimpin tercermin dari strategi berkomunikasi, kapasitas pemahaman persoalan, dan penyampaikan pendapat atau mengomunikasikan.

Metode komunikasi bisa manjadi alat ukur menentukan kualitas pemimpin. Pada level berpikir manakah, pemimpin yang layak menjadi pimpinan negeri sebesar Indonesia.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/01/24/100230579/tebakan-pertanyaan-recehan-dan-kualitas-pemimpin

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke