Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Re-Dekonstruksi Penemu Benua Australia

Narasi yang sama juga terjadi bahwa Islamisasi pertama kali di Nusantara dilakukan oleh para pedagang Gujarat India; dan sejumlah narasi historis lainnya yang dalam perkembangan historiografi lebih lanjut dilakukan reinterpretasi.

Termasuk narasi bahwa penemu benua Australia adalah seorang pelaut berkebangsaan Inggris bernama James Cook tahun 1770.

Teori lama masa penjajahan Belanda di Indonesia kemudian didekonstruksi oleh para sejarawan, seperti G.J. Resink ahli hukum internasional (Belanda) melalui karyanya Indonesia's History between the Myths (1968).

Dekonstruksi juga dilakukan oleh Lilie Suratminto (UI), dan Sri Margana (UGM) dengan argumen dan bukti masing-masing. Bahwa penjajahan Belanda di Indonesia sesungguhnya tidak lebih dari seratus tahun.

Teori Islamisasi dari Gujarat-India dari Snouck Hurgronje, W. F. Stutterheim, Pijnappel, dan lainnya juga didekonstruksi oleh para sejarawan Indonesia seperti HAMKA (Teori Arab); Hoesin Djajadiningrat (Teori Persia); Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby (Teori Cina). Masing-masing teori juga didukung oleh bukti-bukti historis.

Demikian pula teori bahwa James Cook sebagai penemu benua Australia juga didekonstruksi oleh para sejarawan dengan dukungan bukti-bukti historis masing-masing.

Hingga saat ini “Teori Inggris” ini didekonstruksi oleh dua teori, yaitu “Teori Makassar” dan kemudian “Teori Maluku”.

Teori Makassar (dekonstruksi)

Selama ini (1976—2023), narasi tentang penemuan benua Australia dan relasi ekonomi dan budaya dengan pelaut/nelayan Indonesia didominasi oleh Teori Makassar.

Teori Makassar ini didukung, misalnya, oleh Macknight (1976); Spillet (1988); Chaloupka [1993, 1996]; Liebner (1994); Clarke dan Frederick [2006]; Taçon, May, Fallon et al. [2010]; serta Taçon and May (2013).

Horst Hubertus Liebner (1994), seorang antropolog maritim dari Jerman, misalnya, melalui Ekspedisi Pelayaran Padewakang ke Marege bertajuk “Before 1770 The Voyage Home".

Liebner menapak tilas jejak rute pelaut Sulawesi (Makassar) ke Marege (sebutan pelaut Makassar untuk pesisir utara Australia).

Hasil ekspedisi Liebner menyimpulkan bahwa benua Australia telah ditemukan oleh para pelaut dan pedagang dari Sulawesi, 70 tahun sebelum James Cook mendarat di Australia.

Teori yang sama juga dikemukakan oleh John Bradley, antropolog asal Universitas Monash.
Menurut para pakar, perahu Padewakang juga merupakan cikal-bakal dari perahu Pinisi, kapal tradisional yang berasal dari Sulawesi Selatan (Makassar).

Kapal legendaris yang digunakan oleh masyarakat Suku Bugis dalam mengarungi lautan nusantara hingga ke berbagai belahan dunia, termasuk benua Australia (Nanda, 2021).

Charles Campbell Macknight, antropolog dan sejarawan Asia dari Australian National University (UNU), melalui bukunya “The Voyage to Marege', Macassan trepangers in northern Australia” (1976) juga mengungkap fakta bahwa setidaknya pada periode 1750–1780, para pelaut/nelayan asal Makassar telah berlayar menuju Marege.

Bahkan, setiap tahun, tak kurang dari seribu pelaut Bugis singgah di pesisir Marege selama musim angin barat (Desember-Maret).

Mereka melaut hingga pesisir Marege untuk mencari teripang di laut dangkal sekitar Arnhem Land (kawasan dalam Northern Territory di Australia, yang berjarak sekitar 500 kilometer dari Ibu Kota Darwin) yang dikenal sebagai kawasan perairan yang memiliki teripang melimpah, sehingga menjadi magnet pelaut Nusantara/Makassar (Thamrin, 2020).

Sejarawan asal Australia, yaitu Peter G. Spillet, melalui ekspedisi pelayaran menggunakan replika perahu Makassar, “Hati Marege” menelusuri Jalur Tripang dari Indonesia bagian timur menuju Northern Territory (1988) (Carmen, 2005), bahkan mengungkap bahwa interaksi antara orang-orang Muslim asal Makassar dan penduduk asli Arnhem Land, yaitu suku Yolngu telah terjalin sejak sekitar tahun 1500-an.

Interaksi di antara mereka tidak hanya dalam bidang perdagangan, melainkan pula interaksi budaya. Bukti-bukti kebudayaan yang ditemukan Peter antara lain dalam kosa kata Suku Aborigin modern, masih ditemukan 250 istilah yang diserap dari Bahasa Bugis.

Selain itu, pemberian nama-nama Makassar di beberapa lokasi seperti Kayu Jawa di Pantai Kimberley dan Teluk Mangko di Teluk North West, Australia (Nanda, 2021).

Teori Maluku (re-dekontruksi)

Teori teranyar tentang penemuan benua Australia adalah “Teori Maluku”. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Ruyter dkk. (2023) berdasarkan temuan arkeologis berupa ukiran dua kapal layar (tempur) di atas batu cadas Awunbarna, atau dikenal sebagai Gunung Borradaile, yang berada di Arnhem Land di wilayah bagian utara Australia di atas pemilik tanah tradisional Amurdak dan Mengerdji.

Wilayah Awunbarna terdiri dari serangkaian outlier batupasir besar yang dikelilingi deretan kecil punggungan pemogokan batupasir dari Batupasir Mamadewerre.

Daerah ini diketahui berisi ratusan situs seni cadas dengan beberapa kompleks seni cadas yang paling signifikan di kawasan ini.

Awunbarna, atau “gunung berongga” (the hollow mountain), terletak di perhubungan beberapa kelompok bahasa Pribumi dan di titik penting antara pantai dan negara batu (Roberts & Parker, 2003).

Menurut mereka, kedua lukisan kapal layar (tempur) tersebut tidak seperti perahu atau kapal penangkap ikan khas pelaut/nelayan Makassar atau kerajinan kolonial lainnya yang diilustrasikan di tempat lain di situs seni cadas di Australia utara. Kedua lukisan kapal tersebut berasal dari Maluku Tenggara.

Penggambaran seni cadas tersebut tampak menampilkan bendera segitiga, panji-panji, dan hiasan haluan—papan haluan berdekorasi mencolok di kedua kotak dan "roda matahari" (sun wheel)—perangkat melingkar dengan pancaran sinar—dalam satu kesatuan.

Dengan membandingkan bentuk, proporsi, konfigurasi, dan detail kedua perahu ini dengan perahu yang tercatat secara historis dari daerah terdekat, Ruyter dkk. menyimpulkan bahwa kemungkinan asal kedua lukisan kedua perahu tersebut adalah dari wilayah Maluku Tenggara, dan kemungkinan besar dari pulau Tanimbar.

Penggambaran seni cadas tersebut mewakili kapal perang yang dihias secara seremonial yang digunakan untuk memimpin pelayaran perdagangan dan penyerbuan dari Tanimbar, Aru, dan Kei ke pulau-pulau tetangga.

Ilustrasi terperinci juga menyiratkan bahwa pembuat lukisan perahu tersebut diperkirakan telah memiliki tingkat pengetahuan yang mendalam tentang kerajinan itu sendiri melalui pengamatan yang lama atau dekat, atau dari pelayaran yang benar-benar mereka lakukan.

Teori Ruyter dkk. juga memperkuat teori Makassar bahwa penemuan benua Australia oleh pelaut/nelayan Indonesia (Makassar dan Maluku) tidak hanya merupakan relasi ekonomi, melainkan juga relasi budaya.

Bahkan, lebih jauh Ruyter dkk. menyimpulkan bahwa penggambaran seni cadas tersebut mewakili kerajinan tempur yang dihias secara seremonial yang digunakan tidak hanya untuk menggambarkan hubungan perdagangan, penangkapan ikan antara penduduk asli Australia utara (suku Yolngu) dengan penduduk pelaut/pedagang dari kepulauan Maluku Tenggara.

Ia juga merefleksikan kegiatan penggerebegan laut, eksploitasi sumber daya laut atau bahkan perbudakan.

Re-dekonstruksi atas “Teori Inggris” dan “Teori Makkassar” yang selama ini mengisi narasi relasi antara Barat dan Australia atau Nusantara dan Australia di masa lampau, membuktikan bahwa jauh sebelum ekspedisi gabungan antara Royal Navy dan Royal Society ke selatan Samudera Pasifik di atas kapal HMS Endeavour dari tahun 1768 hingga 1771, pelaut/pedagang dari kawasan nusantara (Makassar, Maluku, dll.) sudah melakukan ekspedisi ekonomi dan budaya ke benua Australia.

Misi ekspedisi pelaut/nelayan/pedagang Nusantara berbeda dengan misi Cook yang lebih bernuansa “kolonisasi”.

Re-dekonstruksi “Teori Maluku” oleh Ruyter dkk. juga memberikan bukti langsung bahwa ada beragam etnis para pelaut dari Pulau Asia Tenggara yang dikenal oleh seniman Arnhem Land yang datang ke benua Australia, dan bukan hanya dari Makassar, seperti yang diklaim selama ini dalam historiografi nasional maupun internasional.

Selain itu, lukisan dua kapal perang Maluku di Arnhem Land juga mendukung kemungkingan adanya penyimpangan yang signifikan dari narasi yang diterima tentang aktivitas perdagangan dan penangkapan ikan pesisir Makassar, dan ini memiliki implikasi penting bagi dua model kronologis yang bersaing untuk kontak budaya dengan Asia Tenggara seperti dikemukakan oleh Wesley, dkk. (2016).

Jika teori ini benar, maka motif-motif ini mendukung kesimpulan Mitchell (1994) bahwa pelayaran sporadis atau kebetulan dari Indonesia ke garis pantai utara Australia, kemungkinan terjadi sebelum industri reguler [teripang] berkembang. Satu abad sebelum kapten Cook melayari pantai timur laut Australia.

Sejarah sebagai peristiwa (history is events) memang sesuatu yang unik dan tidak akan berulang (einmalig).

Tetapi, sejarah sebagai ilmu (history is science), hasil interpretasi dan konstruksi berdasarkan bukti-bukti ilmiah selalu bisa dan perlu ditulis ulang, ditafsir ulang, sesuai dengan bukti-bukti baru yang ditemukan, serta berdasarkan hasil interpretasi dan re-interpretasi para ilmuwan (ahli sejarah) atas potongan-potongan (puzzles) bukti yang ada.

Ini membuktikan bahwa kebenaran ilmiah, termasuk sejarah sebagai ilmu, bersifat dinamis, tidak absolut.

Selalu terbuka kemungkinan bagi setiap orang (ahli) untuk mengujinya dengan metode tertentu dengan hasil yang sama, relatif sama atau bahkan berbeda atau bertentangan.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/07/25/100446879/re-dekonstruksi-penemu-benua-australia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke