Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah DN Aidit, MH Lukman, dan Njoto Bangkitkan PKI yang Mati Suri

Meski tidak semua tokoh sentral PKI mendukung pemberontakan tersebut, tetapi imbasnya membuat seluruh tubuh organisasi PKI sekarat.

Di tengah kondisi partai yang terpuruk, muncul nama Dipa Nusantara Aidit, Muhammad Hatta Lukman, dan Njoto.

Tiga tokoh inilah yang membangkitkan PKI dari keterpurukan usai Tragedi Madiun.

DN Aidit, MH Lukman, dan Njoto, bahkan disebut-sebut sebagai The Three Musketeers yang menjadi trisula PKI.

Ketiganya adalah pucuk pimpinan PKI sejak 1950-an, yang merehabilitasi PKI hingga menjelma menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRC dan Uni Soviet.

Berikut kisah DN Aidit, MH Lukman, dan Njoto, dalam membangun PKI usai Peristiwa Pemberontakan Madiun 1948.

Perkenalan trisula PKI

DN Aidit pertama kali bertemu MH Lukman pada masa pendudukan Jepang, tepatnya pada 1943 di Menteng 31, Jakarta, yang dikenal sebagai "sarang" pemuda aktivis kemerdekaan.

Mereka bergabung dalam Gerakan Indonesia Merdeka, di mana Aidit kemudian menjadi ketuanya dan Lukman sebagai anggota.

Dari situlah, Aidit dan Lukman menjadi teman akrab yang juga sama-sama masuk Barisan Pelopor Indonesia (BPI) pada 1944.

Mereka juga pernah dijebloskan ke penjara Jatinegara oleh Jepang karena ikut menggerakkan demonstrasi di Lapangan Ikada pada 19 September 1945 dan ditawan di Pulau Onrust di Kepulauan Seribu, selama tujuh bulan.

Saat menjadi penghuni Menteng, Aidit dan Lukman berguru pada tokoh-tokoh komunis senior seperti Widarta dan Wikana.

Bahkan setelah bebas dari Pulau Onrust, keduanya langsung menuju Yogyakarta, yang saat itu menjadi kantor pusat PKI.

Di sanalah mereka bertemu Njoto, pemuda 19 tahun yang menjadi wakil PKI Banyuwangi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Trio komunis yang sering berdiskusi dan bertukar pendapat terkait arah gerakan partai ini kemudian menjadi sahabat dekat dan tumbuh bersama di PKI.

Nasib trisula PKI selama Tragedi Madiun

Pada Agustus 1948, DN Aidit, MH Lukman, dan Njoto sama-sama menjadi anggota Commitee Central PKI.

Aidit mengurus agraria, Lukman di sekretariat agitasi dan propaganda, dan Njoto menjalin relasi dengan badan-badang perwakilan.

Persahabatan tiga serangkai ini sedikit renggang akibat Pemberontakan PKI Madiun pada September 1948.

Kendati demikian, mereka bertiga masih beruntung karena lolos dari eksekusi terhadap orang-orang PKI, sebagai bagian dari penyelesaian tragedi di Madiun.

Seakan kehilangan induk, karena tokoh-tokoh penting PKI banyak yang dieksekusi pemerintah, Aidit, Lukman, dan Njoto menempa diri menjadi tokoh partai yang hebat.

Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan cara menyamar agar tetap berada di bawah radar.

Aidit dan Lukman bahkan pernah dikabarkan kabur ke Medan atau China, ketika pemerintah masih alergi dengan komunisme.

Padahal, mereka diduga kuat tetap berada di Jakarta, hanya berpindah-pindah tempat dan hidup dengan menyamar.

Membangkitkan PKI yang mati suri

Perjuangan DN Aidit, MH Lukman, dan Njoto terbayar ketika mereka berhasil mengambil alih kepemimpinan partai pada 1951.

Dalam kepemimpinan baru PKI, Aidit menjabat sebagai Sekretaris Jenderal, MH Lukman Wakil Sekjen I, dan Njoto Wakil Sekjen II.

Pada 1959, istilah sekjen dan wakil sekjen kemudian diubah menjadi ketua dan wakil ketua.

Sebagai Ketua PKI, Aidit memimpin arah gerakan politik partai secara umum dan Lukman yang menempati jabatan Wakil Ketua I memimpin Front Persatuan.

Sedangkan Njoto, Wakil Ketua II PKI mengurusi agitasi dan propaganda.

Selain berorganisasi untuk meluaskan jaringan, mereka mendirikan sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, tiga serangkai ini berhasil membawa PKI mencapai urutan keempat.

Namun, menurut keterangan istri Njoto, Soetarni, dalam buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, suaminya telah disingkirkan Aidit menjelang peristiwa G30S.

Penyebab retaknya persahabatan trisula PKI adalah kedekatan Njoto dengan Soekarno.

Selain itu, muncul pendapat lain, bahwa Njoto tersingkir karena mempunyai pacar orang Rusia, yang menurut Aidit tidak etis karena Njoto telah berkeluarga.

Terlepas dari perbedaan pendapat itu, yang pasti Aidit dan Njoto berbeda pandangan terkait revolusi.

Setelah persahabatan The Three Musketeers retak, terjadilah Peristiwa Gerakan 30 September (G30S), di mana PKI dituding menjadi dalangnya.

Cita-cita PKI untuk menjadi partai nomor satu pun terhempas akibat tragedi tersebut.

Sebagai pucuk pimpinan PKI, DN Aidit, MH Lukman, dan Njoto, pun tidak selamat dari operasi pembersihan sisa-sisa G30S.

Referensi:

  • Sucipto, Herman Dwi. (2015). Mengurai Kabut Pekat Dalang G30S. Yogyakarta: Palapa.
  • Zulkifli, Arif. Bagja Hidayat. dkk. (2010). Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara. Jakarta: PT Gramedia.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/09/30/170000979/kisah-dn-aidit-mh-lukman-dan-njoto-bangkitkan-pki-yang-mati-suri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke