Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Praktik Pemerintahan Nepotisme pada Zaman Orde Baru

Dalam sejarah Indonesia, nepotisme sempat ramai diperbincangkan pada era Soeharto atau pada zaman Orde Baru.

Praktik nepotisme gencar dilakukan semasa rezim Presiden Soeharto, yang memberi banyak keuntungan kepada keluarga dan koleganya.

Lantas, bagaimana praktik pemerintahan nepotisme pada zaman Orde Baru?

Fusi partai politik

Pada 1973, Presiden Soeharto melakukan fusi atau penggabungan partai politik (fusi parpol).

Tujuan fusi parpol adalah untuk menyederhanakan partai politik di Indonesia guna menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Diketahui bahwa partai politik pada awal era Orde Baru sangat banyak jumlahnya, sehingga memunculkan banyak ideologi sekaligus kepentingan partai.

Pada pemilu 1955, tercatat ada 29 partai, yang masih ditambah dari perorangan.

Oleh sebab itu, pada 14 Mei 1960, diumumkan bahwa hanya ada 10 partai politik yang mendapat dukungan dari pemerintah.

Presiden Soeharto mengutarakan gagasannya terkait fusi parpol dalam pidatonya di Kongres XII PNI tanggal 11 April 1970 di Semarang.

Awalnya, gagasan ini diterima oleh berbagai partai, seperti Partai Nasional Indonesia dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia.

Kemudian, ketua Partai Muslimin Indonesia, Djarnawi Hadikusumo, juga menyetujui kebijakan fusi parpol. Namun, Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik menolak.

Dalam pemilu 1971, Partai Golkar berhasil unggul dengan jumlah suara 62,8 persen (236 kursi DPR).

Peringkat kedua diisi oleh Partai NU dengan jumlah suara 18,6 persen (58 kursi) dan ketiga PNI dengan jumlah suara 6,9 persen.

Setelah itu, pada 5 Januari 1973, partai-partai Islam seperti NU, PSII, dan Perti, membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Lima hari kemudian, pada 10 Januari 1973, Kelompok Demokrasi Pembangunan menggabungkan diri ke dalam satu partai bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Setelah fusi parpol dilakukan, ada tiga partai besar yang didukung pemerintah, yaitu PPP, PDI, dan Golkar.

Dengan adanya tiga partai besar ini, maka masyarakat dilarang untuk membuat partai baru di luarnya.

Padahal, seharusnya demokrasi mengizinkan siapa saja untuk membentuk partai baru.

Dari ketiga partai besar tersebut, Golkar-lah yang selalu mendapat suara terbanyak dalam pemilu selama enam kali berturut-turut, yakni pemilu 1971, 1972, 1982 1987, 1992, dan 1997.

Kemenangan ini pun menuai kecurigaan, ditambah lagi rekrutmen politik yang dilakukan bersifat tertutup.

Rekrutmen politik diatur berdasarkan kedekatan presiden dengan pemerintah. Akibatnya, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terjadi pada masa Orde Baru.

Keppres yang menguntungkan orang terdekat Soeharto

Pada masa Orde Baru, setidaknya ada delapan Keppres yang dikeluarkan Soeharto dan disinyalir memberi keuntungan bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Beberapa Keppres yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Masing-masing Keppres tersebut diketahui memiliki implikasi yang menguntungkan pihak keluarga dan kolega Presiden Soeharto.

Mulai dari terbukanya keran KKN untuk pajak impor, pembebasan pajak bagi keluarga Soeharto, hingga pemberian hak monopoli kepada Keluarga Cendana.

Pengangkatan perwira militer dalam jabatan sipil

Pengangkatan perwira-perwira militer dalam berbagai jabatan sipil bukan hal yang asing dilakukan pada masa Orde Baru.

Soeharto dikenal gemar menunjuk kawan-kawan militernya dalam berbagai jabatan sipil di pemerintahan.

Pada era Orde Baru, mayoritas gubernur berasal dari kalangan militer, khususnya para jenderal. Untuk para perwira militer, biasanya diangkat sebagai bupati atau wali kota.

Sebetulnya, pengangkatan anggota militer dalam jabatan sipil sudah berlangsung sejak era Soekarno, yang kemudian berlanjut hingga rezim Soeharto.

Salah satu tokoh militer yang diangkat sebagai pemimpin adalah Soeharto, yang sebelum menjadi presiden menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat.

Beberapa perwira militer yang memegang jabatan penting di pemerintahan adalah sebagai berikut.

  • Letnan Jenderal Ali Sadikin: Gubernur DKI Jakarta 1966-1977
  • Letjen TNI Tjokropranolo: Gubernur DKI Jakarta 1977-1982
  • Letjen TNI Wiyogo Atmodarminto: Gubernur DKI Jakarta 1987-1992
  • Jenderal TNI Soerjadi Soedirdja: Gubernur DKI Jakarta 1992-1997
  • Letjen TNI Sutiyoso: Gubernur DKI Jakarta 1997-2007
  • Kolonel Andi Ahmad Rivai: Gubernur Sulawesi Selatan 1960-1966

Dengan pengangkatan perwira militer dalam pemerintahan, kekuasaan Orde Baru dapat merepresi lawan-lawan politik Soeharto.

Sehingga, tidak heran apabila kekuasaannya dapat bertahan lama, bahkan hingga tiga dekade lebih.

Nepotisme memunculkan ketidakadilan yang pada akhirnya membuat masyarakat tidak lagi percaya pada pemerintah.

Bahkan, beberapa ahli berpendapat bahwa nepotisme menjadi salah satu faktor yang membuat banyak pihak geram dan menyerang kekuasaan rezim Soeharto, yang akhirnya menyebabkan runtuhnya Orde Baru.

Referensi:

  • Oetama, Jakob. (2008). Warisan (daripada) Soeharto. Jakarta: Kompas Gramedia.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/04/28/140000479/praktik-pemerintahan-nepotisme-pada-zaman-orde-baru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke