KOMPAS.com - UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk untuk menciptakan kepastian hukum dan penegakan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Menurut R. Wiyono dalam buku Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia (2013), pembentukan UU Nomor 26 Tahun 2000 diharapkan mampu melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) baik perseorangan atau masyarakat.
Tidak hanya itu, UU Nomor 26 Tahun 2000 juga diharapkan bisa menjadi dasar penegakan serta kepastian hukum, penciptaan keadilan serta perasaan aman untuk perseorangan atau masyarakat.
Secara garis besar, UU Nomor 26 Tahun 2000 membahas tentang pengadilan hak asasi manusia, khususnya untuk pelanggaran berat.
Undang-undang ini terdiri atas 10 Bab dan 51 pasal, yang mana tiap pasalnya membahas berbagai hal terkait pengadilan hak asasi manusia.
Baca juga: Isi Aturan tentang Lingkungan Hidup, UU No 32 Tahun 2009
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, Pengadilan HAM memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa serta memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Selanjutnya dalam Pasal 5, Pengadilan HAM juga berwenang untuk memeriksa serta memutus perkara pelanggaran HAM berat di luar teritori wilayah Indonesia, yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.
Saat menjalankan tugas dan wewenangnya, Pengadilan HAM tidak berwenang untuk memeriksa serta memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di bawah usia 18 tahun pada saat melakukan kejahatan.
Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000, ada dua jenis pelanggaran HAM berat, yakni kejahatan genosida serta kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam Pasal 8 UU Nomor 26 Tahun 2000, kejahatan genosida diartikan sebagai perbuatan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama, dengan cara:
Baca juga: Contoh Teks Editorial UU Cipta Kerja Beserta Fakta dan Opininya
Berikutnya dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000, kejahatan terhadap kemanusiaan diartikan sebagai perbuatan berbentuk serangan secara meluas atau sistematik, dan ditujukan langsung kepada penduduk sipil.
Beberapa contoh kejahatan terhadap kemanusiaan ialah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, kekerasan seksual, penganiayaan, perampasan kemerdekaan, dan lain sebagainya.
Dalam Pasal 11 UU Nomor 26 Tahun 2000 dijelaskan bahwa Jaksa Agung selaku penyidik berwenang untuk melakukan penangkapan demi kepentingan penyidikan, terhadap pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat.
Demi kepentingan penyidikan, Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum memiliki wewenang untuk menahan pihak terdakwa atau tersangka. Hal ini tercermin dalam Bagian Ketiga UU Nomor 26 Tahun 2000.
Menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 mengenai proses penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM, proses penyelidikan dapat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.