Sedekah Laut Cilacap Digelar Sederhana

Kompas.com - 28/12/2010, 22:19 WIB

Sebelum arak-arakan sesaji diberangkatkan, kata dia, barisan kesenian lengger terlebih dahulu berangkat sebagai "pewara" atau pemberi informasi bahwa prosesi sedekah laut segera dimulai.

Sementara itu di Pendopo Wijayakusuma Sakti dilakukan prosesi yang menggambarkan "seserahan" (penyerahan) sesaji berupa "jolen tunggul" (tempat sesaji) dari Adipati Cakrawerdaya III (Bupati Cilacap ke-3) kepada para nelayan.

Prosesi penyerahan sesaji kali ini berbeda dengan pelaksanaan sedekah laut tahun-tahun sebelumnya karena sosok Adipati Cakrawerdaya III diperankan oleh Pelaksana Tugas Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji yang merupakan pemimpin tertinggi di Kabupaten Cilacap.

Biasanya sosok Adipati Cakrawerdaya III diperankan oleh aktor atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati Cilacap pada malam "tirakaran".

Sosok Adipati Cakrawerdaya III selanjutnya memerintahkan nelayan untuk menggelar sedekah laut sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas limpahan rahmat-Nya selama ini.

Selain itu, Adipati Cakrawerdaya III mewisuda Tumenggung Duta Pangersa sebagai pemimpin arak-arakan sesaji menuju Pantai Teluk Penyu.

Setelah prosesi tersebut, arak-arakan yang terdiri iring-iringan "jolen tunggul" yang mewakili pemerintahan dengan pengawalan puluhan prajurit, barisan pembawa umbul-umbul, dua kereta kuda, dan iring-iringan sembilan "jolen" yang mewakili delapan rukun nelayan se-eks Kota Administratif Cilacap dan masyarakat Kampunglaut diberangkatkan dari Pendopo Wijayakusuma Sakti menuju Pantai Teluk Penyu.

Sesampainya di Pantai Teluk Penyu, seluruh "jolen" tersebut segera diserahkan kepada juru larung yang dilanjutkan dengan doa kepada Tuhan YME sebagai wujud syukur dan permohonan keselamatan kepada-Nya.

Selanjutnya seluruh "jolen" berisi sesaji tersebut dibawa menggunakan perahu ke Pulau Majeti di selatan Pulau Nusakambangan untuk dilarung di sana dengan diiringi ratusan perahu nelayan.

Kegiatan "sedekah laut" merupakan tradisi tahunan yang sudah berlangsung sejak zaman pemerintahan Adipati Cakrawerdaya III pada tahun 1817.

Namun, tradisi tersebut sempat terhenti dan dihidupkan kembali semasa Bupati Poedjono Pranjoto pada tahun 1982 hingga sekarang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com