Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Singkat Vitamin, Penemuan yang Merevolusi Pemikiran Ilmiah

Kompas.com - 11/05/2024, 14:00 WIB
Lulu Lukyani

Penulis

KOMPAS.com - Ada beragam jenis vitamin, dan semuanya penting untuk mendukung kesehatan serta mencegah berbagai penyakit.

Vitamin tersedia dalam banyak bahan makanan, baik hewani maupun nabati. Kebutuhan vitamin pun bisa dicukupi dengan asupan suplemen tambahan.

Sebelum adanya vitamin

Dibutuhkan waktu ribuan tahun hingga penelitian nutrisi modern—yang didukung oleh kemajuan di bidang kimia, fisika, dan biologi—muncul.

Eksperimen nutrisi awal sebagian besar berfokus pada unsur nitrogen, yang pertama kali ditemukan pada tahun 1772 , dan apakah ada atau tidaknya unsur tersebut dalam makanan menyebabkan hewan dan manusia menjadi sehat atau sakit.

Kemudian, pada tahun 1838, ahli kimia asal Belanda, Gerardus Johannis Mulder, mengusulkan keberadaan senyawa yang disebutnya protein, yang menurutnya memainkan “peran utama” dalam makanan.

Baca juga: Bisakah Vitamin D Bantu Melawan Kanker?

Selama beberapa dekade, sejarawan Kenneth Carpenter mencatat, protein dianggap sebagai “nutrisi sejati” bagi kesehatan manusia, meskipun ada pengetahuan bahwa buah-buahan, sayuran, dan susu meringankan kondisi seperti penyakit kudis dan rakhitis.

Meskipun penyakit ini biasa terjadi pada orang dengan memiliki pola makan terbatas, para peneliti masih menyalahkan faktor lain, termasuk infeksi, makanan yang tercemar, atau bahkan udara laut.

Defisiensi pola makan

Sementara itu, para pelaut yang melakukan perjalanan jauh telah lama menderita penyakit beri-beri, yang dapat menyebabkan gagal jantung dan hilangnya sensasi pada tungkai dan kaki.

Dokter angkatan laut Jepang, Kanehiro Takaki, memiliki teori penting, yakni pada da tahun 1880-an, ia memperhatikan bahwa orang-orang miskin lebih mungkin terserang penyakit ini dibandingkan orang-orang kaya, dan ia menduga kekurangan protein dalam makanan mereka mungkin berperan dalam hal ini.

Dokter tentara asal Belanda, Christian Eijkman, kemudian menyusun teorinya sendiri tentang beri-beri setelah bereksperimen dengan ayam.

Burung-burung yang memakan nasi putih yang biasa ditemukan di kapal angkatan laut Jepang juga mengalami gejala serupa. Sebaliknya, unggas yang memakan nasi merah tetap sehat.

Baca juga: Apa Efek Kekurangan Vitamin K bagi Tubuh?

Eijkman melakukan penelitian tersebut dan menemukan bahwa penghuni penjara yang diberi nasi putih juga terkena penyakit beri-beri. Lantas, apakah biji-bijian olahan merupakan bagian dari masalahnya?

Penemuan vitamin

Ahli kimia asal Polandia, Casimir Funk, memusatkan perhatian pada kulit dan dedak yang dibuang untuk membuat nasi putih dan memulai eksperimennya sendiri dengan merpati pada awal abad ke -20 .

Merpati yang hanya diberi makan nasi putih jatuh sakit, namun penyakitnya membaik setelah memakan bekatul dan ragi. Penemuan ini mengonfirmasi teori Takaki bahwa ada kaitan antara pola makan dan beri-beri, namun penyebabnya bukanlah kekurangan protein.

Funk berteori pada tahun 1912 karena kekurangan zat lain, yakni senyawa yang mengandung nitrogen yang ia namai vitamin, kombinasi kata Latin untuk “hidup” dan “amina”, sebutan untuk senyawa yang mengandung nitrogen.

Penemuan ini merevolusi pemikiran ilmiah, menunjukkan bahwa penyakit mungkin disebabkan oleh kekurangan nutrisi—dan disembuhkan dengan senyawa baru yang ditemukan dalam jumlah yang cukup.

Para peneliti segera mengisolasi mikronutrien lain yang terkait dengan penyakit seperti rakhitis, penyakit kudis, gondok, dan lain-lain.

Sekitar waktu Funk menciptakan vitamin, ilmuwan nutrisi Amerika, Elmer McCullum, melakukan percobaan pakan dengan populasi hewan yang berbeda dan menemukan bahwa zat “aksesori” yang ada dalam beberapa lemak sangat penting untuk pertumbuhan tikus. Zat yang larut dalam lemak itu kemudian dikenal sebagai vitamin A.

McCollum dan yang lainnya juga melakukan eksperimen lebih lanjut dengan nutrisi yang berasal dari dedak padi Funk, menamakannya vitamin B, sesuai nama penyakit beri-beri.

Akhirnya, ternyata zat tersebut sebenarnya adalah 8 vitamin yang larut dalam air, yang masing-masing diberi nama tersendiri, seperti tiamin, dan diberi nomor sesuai urutan penemuannya.

E dalam vitamin dihilangkan setelah para ilmuwan menyadari bahwa tidak semua senyawa merupakan amina yang mengandung nitrogen. Namun, kebiasaan memberi nama vitamin berdasarkan abjad berdasarkan penemuannya terus berlanjut.

Saat in, empat vitamin yang larut dalam lemak—A, D, E, dan K—dianggap penting untuk pertumbuhan dan kesehatan manusia. Begitu juga 9 vitamin yang larut dalam air: B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B3 (niasin), B5 (asam pantotenat), B6 (piridoksin), B7 (biotin), B9 (folat), B12 (cobalamin), dan C.

Sudah puluhan tahun sejak vitamin esensial terakhir, B12, ditemukan pada tahun 1948. Sejak itu, para peneliti berfokus pada manfaat vitamin bagi kesehatan, mempelajari lebih lanjut tentang hubungan antara kekurangan vitamin dan penyakit, serta menggunakan zat tersebut untuk mengobati kondisi seperti pellagra dan anemia.

Tampaknya, tidak mungkin para ilmuwan akan menemukan vitamin esensial baru karena semua kekurangan nutrisi tampaknya telah diperhitungkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com