Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagaimana Gajah Bisa Memiliki Belalai seperti Sekarang?

KOMPAS.com - Gajah memiliki belalai menakjubkan yang kuat, cekatan, dan fleksibel.

Namun pernakah bertanya-tanya bagaimana gajah bisa memiliki dan mengembangkan belalai mereka seperti sekarang?

Kini, ilmuwan akhirnya menemukan jawaban dari pertanyaan itu.

Evolusi belalai gajah

Mengutip Live Science, Kamis (7/12/2023) belalai gajah merupakan keajaiban biologi evolusioner.

Belalai gajah panjangnya bisa lebih dari 2 meter dan memiliki lebih dari 40.000 otot dan serabut saraf.

Bagian tubuh gajah ini mampu mengangkat beban lebih dari 270 kilogram tetapi dapat dengan hati-hati mengangkat satu kacang tanah.

Kendati demikian, evolusi belalai ini yang telah lama membingungkan para ilmuwan.

Pasalnya memahami evolusi belalai gajah selalu menjadi tantangan karena jaringan lunak belalai, seperti otot dan kulit, tidak mengalami fosilisasi dengan baik.

Hal ini menyulitkan para ilmuwan untuk menemukan bukti langsung bentuk awal belalai gajah dalam catatan fosil.

Hingga akhirnya studi pracetak baru yang dipublikasikan pada 28 November di jurnal eLife mengungkapkan misteri ini.

Peneliti menyebut bahwa perubahan yang didorong oleh iklim mungkin dapat menjelaskan sebagian bagaimana gajah bisa memiliki belalai seperti sekarang ini.

Studi gajah purba

Dalam studi ini, peneliti membandingkan tiga keluarga besar mamalia mirip gajah di Tiongkok utara yang ada sekitar 11 hingga 20 juta tahun yang lalu, menyelidiki bagaimana fisiologi kelompok-kelompok ini berbeda tergantung pada strategi makan dan ekosistem mereka.

Kelompok tersebut termasuk Amebelodontidae, Choerolophodontidae dan Gomphotheriidae – tiga garis keturunan gomphotheres yang berbeda, kelompok nenek moyang gajah yang masih hidup.

"Mamalia purba ini menjadi perhatian khusus karena mereka semua memiliki mandibula yang panjang namun “berbeda”, sehingga dapat disimpulkan bagaimana hal tersebut berdampak pada evolusi belalai," kata Chunxiao Li, seorang peneliti di University of Chinese Academy of Sciences.

Tim juga menganalisis enamel gigi ketiga jenis gajah purba ini untuk mendapatkan petunjuk baru tentang kebiasaan makan dan lingkungan tempat mereka tinggal.

Mereka menemukan bahwa Choerolphontidae tampaknya hidup di lingkungan yang relatif tertutup seperti hutan, sementara Amebelodontidae berkembang ke habitat yang lebih terbuka, seperti padang rumput. Gomphotheriida tampaknya hidup di habitat yang berada di antara keduanya.

Para ilmuwan menggabungkan temuan ini dengan simulasi matematis dari gerakan rahang ketiga spesies yang punah tersebut.

“Cherolophodon hidup di hutan lebat, jadi ada banyak tumbuhan yang memiliki cabang memanjang secara horizontal,” kata rekan penulis studi Shi-Qi Wang.

Rahang mereka cocok untuk memberikan tekanan ke atas dan ke bawah, bukan ke depan atau ke belakang, dan secara efisien memotong dedaunan horizontal. Para peneliti berpendapat bahwa belalai mereka relatif primitif dan kikuk.

Namun, rahang Gomphotheriida dan Amebelodontidae, yang hidup di habitat lebih terbuka, lebih beradaptasi untuk memotong tanaman yang tumbuh vertikal seperti tumbuhan bertangkai lunak dan rerumputan.

Area hidung pada tengkorak mereka tampak lebih mirip dengan gajah modern, menunjukkan bahwa belalai mereka mampu melakukan gerakan melingkar atau menggenggam yang dapat membantu membawa makanan langsung ke mulut mereka.

Namun perubahan lingkungan paleo dari hangat dan lembab menjadi lebih dingin, kering, dan terbuka rupanya memengaruhi gajah-gajah ini.

“Pada saat itu, kami melihat gajah-gajah purba ini mulai menggunakan belalainya yang panjang untuk mengambil rumput,” tambah Li.

Ini membuat peneliti berkesimpulan bahwa pencarian makan di lahan terbuka kemudian telah mendorong evolusi belalai yang kita lihat seperti sekarang.

https://www.kompas.com/sains/read/2023/12/13/080000023/bagaimana-gajah-bisa-memiliki-belalai-seperti-sekarang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke