Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Banyak Orang Keluhkan Gejala Neuropati Selama Pandemi, Dokter: Akibat Terlalu Lama Duduk

KOMPAS.com - Selama pandemi Covid-19, sebagian besar orang diharuskan bekerja dari rumah dan duduk dalam waktu yang lama. Ternyata, kebiasaan tersebut berisiko menyebabkan neuropati atau gangguan saraf tepi.

Bahkan, Ketua Pokdi Neuro Fisiologi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dr Manfaluthy Hakim, Sp.S(K), menyebut, selama pandemi prevalensi orang yang mengeluhkan gejala neuropati meningkat.

"Ada peningkatan (kasus neuropati selama pandemi), tapi angka peningkatannya berapa kita enggak punya data," ujar Manfaluthy dalam diskusi virtual memperingati Neuropathy Awareness Week 2022, Senin (20/6/2022).

Kebanyakan dari mereka, kata Manfaluthy, merasakan gejala neuropati seperti kesemutan terus-menerus dan kebas. Hal tersebut didapatkan dari laporan dokter di rumah sakit yang mencatat peningkatan pasien dengan gejala neuropati.

"Memang kita tidak memiliki data yang pasti karena cukup sulit untuk membuat data di seluruh Indonesia. Tetapi, dari pengalaman di rumah sakit dan juga laporan dari temen-temen dokter memang menunjukkan banyak pasien yang mengeluh seperti keluhan neuropati," jelas Manfaluthy.

"Beberapa penyebabnya karena bekerja di depan laptop terlalu lama dengan posisi sama dalam waktu yang lama, sehingga terjadi penekanan pada saraf di bagian tubuh tertentu," sambungnya.

Rendahnya aktivitas fisik memicu penyakit tidak menular

Pada kesempatan tersebut, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat – Ditjen Kesmas, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr Imran Agus Nurali, SpKO, menyampaikan aktivitas fisik masyarakat Indonesia relatif rendah.

Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018, proporsi masyarakat yang kurang aktivitas fisik meningkat dari 26,1 persen pada 2013 menjadi 33,5 persen pada 2018.

"Artinya satu dari tiga orang menjalani gaya hidup sedentari dan hal ini berpotensi meningkat selama pandemi yang dapat berisiko terhadap penyakit tidak menular (PTM), termasuk kerusakan saraf," papar Imran.


Ia menambahkan, peningkatan kasus penyakit tidak menular secara signifikan tak hanya menambah beban bagi masyarakat tetapi juga pemerintah, lantaran penanganannya membutuhkan banyak waktu, biaya, dan teknologi tinggi.

Faktanya, neuropati sendiri merupakan permasalahan bagi banyak negara di dunia. Salah satunya adalah neuropati diabetic yang disebabkan karena penyakit diabetes, menurut studi tahun 2021 yang dipublikasikan di PLOS ONE meningkat di berbagai wilayah di Amerika Selatan.

Sementara di Indonesia, data Kemenkes mencatat adanya peningkatan kasus neuropati sejak tahun 2013 hingga 2018.

Sayangnya, peningkatan kasus ini tidak dibarengi dengan skrining dini, karena banyak dari pasien yang tidak terdiagnosis di tahap awal penyakit.

"Dan yang membuat kita prihatin, neuropati hanya terdiagnosis sekitar 30 persen. Sedangkan sisanya, 70 persen tidak terdiagnosis pada tahap awal. Karena itu banyak pasien-pasien neuropati baru terdata di rumah sakit atau fasilitas kesehatan pada tahapan lebih lanjut," imbuhnya.

Menurut studi yang dipublikasikan di International Journal Endocrinology tahun 2019, sebanyak 55 persen pasien neuropati datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dalam keadaan yang berat.

Sekitar 19 hingga 26 persen pasien saja yang datang untuk memeriksakan diri dengan neuropati ringan sampai sedang.

"Tentunya ini akan menjadi masalah, karena neuropati semakin berat semakin sulit untuk diatasi," tutur Manfaluthy.

Adapun selain kesemutan dan kebas, gejala neuropati dapat disertai kram, muncul sensasi seperti ditusuk atau terbakar, kaku, dan kulit kering atau mengkilap.

Dokter Manfaluthy mengungkapkan, bahwa kondisi ini mencerminkan kerusakan pada sistem saraf tepi dengan beberapa derajat keparahannya.

Oleh sebab itu, dia mengimbau kepada masyarakat yang memiliki gejala neuropati seperti yang disebutkan di atas untuk segera memeriksakan diri ke dokter, guna mengetahui penyebabnya.

Pasalnya, jika tidak diobati sejak dini, bukan tidak mungkin neuropati yang diidap pasien tidak bisa disembuhkan lagi.

"Diagnosis secara dini dengan mengenali tanda-tanda neuropati (sangat penting), sehingga kita bisa melakukan pengobatan secara dini untuk mencegah kerusakan saraf yang irreversible," pungkasnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/06/22/130500523/banyak-orang-keluhkan-gejala-neuropati-selama-pandemi-dokter-akibat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke