Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mimpi Merdeka Meneliti

Proses pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan kesempatan bagi seluruh sivitas periset Indonesia, untuk melakukan reformasi besar-besaran pengelolaan ekosistem riset nasional, dalam rangka meningkatkan efisiensi dan dampak riset bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu aspek yang perlu untuk terus disempurnakan adalah pengembangan sistem yang mendorong para periset untuk menuangkan kreativitasnya, dalam mendesain dan mewujudkan riset-riset yang memiliki kebaruan dan potensi manfaat yang besar.

Riset yang memiliki kebaruan cenderung menjelajahi topik-topik yang belum banyak dipahami oleh komunitas riset dunia, sehingga cenderung pula memiliki potensi kegagalan yang tinggi.

Di lain sisi, ketika riset semacam ini berhasil, maka manfaat ekonominya juga lebih besar daripada riset-riset yang bergerak pada wilayah yang lebih aman namun minim inovasi.

Kasus penemuan mRNA sebagai bahan terapi oleh Katalin Kariko, menggambarkan bagaimana kemerdekaan periset untuk menggunakan sumber daya yang ia miliki dapat menghasilkan sesuatu yang besar.

Selama bertahun-tahun, Katalin Kariko selalu menemukan kesulitan untuk mendapatkan pendanaan untuk meneliti mRNA sebagai bahan terapi, karena topik tersebut dianggap tidak memiliki prospek oleh para evaluator pendanaan riset.

Ia baru dapat meneruskan risetnya ketika kebetulan bertemu dengan Drew Weissman, yang tertarik dengan ide-ide Kariko untuk membantunya mengembangkan vaksin.

Di awal kerja sama mereka, penelitian Kariko dibiayai dari dana yang diperoleh Weissman dari National Institute of Health, untuk meneliti topik yang sebenarnya tidak berhubungan dengan mRNA.

Dari situ mereka menghasilkan penemuan yang menjadi dasar pembuatan vaksin mRNA seperti yang dirilis oleh Moderna dan Pfizer, yang pada masa pandemi Covid-19 telah menyelamatkan nyawa banyak orang.

Tanpa kemerdekaan Weissman untuk mengalokasikan dana penelitiannya pada kegiatan sampingan, situasi dunia tentu akan lebih suram dari saat ini.

Kemerdekaan periset juga dapat menjadi solusi masalah dasar riset yang rawan gagal, karena bergerak di ranah yang penuh dengan gap pengetahuan dan pemecahan masalah yang dinamis.

Ketika suatu reagen untuk eksperimen ternyata tidak bekerja dengan baik, periset yang merdeka dapat dengan mudah mencoba reagen lain dengan dana yang dimilikinya, tanpa harus mengajukan rencana anggaran baru dan menunggu siklus pengadaan bahan selanjutnya.

Bayangkan, jika periset tersebut tengah bekerja mengembangkan suatu obat dan ia harus mengikuti siklus pengadaan bahan secara kaku, berapa banyak nyawa pasien yang hilang dalam waktu tersebut, karena tertunda haknya untuk mendapatkan pengobatan baru yang lebih baik?

Mekanisme penggunaan dana yang terlalu ketat, yang disertai dengan sanksi menyeramkan untuk yang gagal sebenarnya juga memiliki efek samping yang merugikan ekosistem riset secara keseluruhan.

Selain hilangnya fleksibilitas, sistem yang ketat cenderung membuat periset untuk main aman dan bergerak menggunakan teknik dan bahan yang telah terbukti berhasil.

Dalam kondisi semacam itu kegiatan riset menjadi stagnan dan tidak berbeda dengan kegiatan praktikum anak sekolah.


Banyak kasus di mana periset hanya mengulang-ulang topik dan kegiatan yang dipelajarinya saat menempuh studi karena sudah terbukti berhasil, dan tak pernah berani mengeksplorasi atau mengembangkan sesuatu yang baru.

Dengan mentalitas semacam ini, ekosistem riset Indonesia akan selalu berada selangkah di belakang negara-negara maju, dan tak akan pernah menjadi negara yang sejajar atau bahkan lebih maju di masa depan.

Harus diakui bahwa sistem yang ada selama ini mungkin dibuat berlandaskan pada niat mulia, bahwa satu sen pun uang rakyat tidak boleh dibuang sia-sia.

Namun riset yang gagal bukanlah sesuatu yang sia-sia. Ibarat penyapu ranjau, penyapu yang menginjak ranjau hingga meledak memungkinkan yang lain untuk melewati tempat tersebut dengan aman.

Riset semestinya dipandang sebagai portofolio investasi, yang sebagian terkadang rugi namun secara keseluruhan memberikan keuntungan yang berlipat ganda.

Keuntungan dari satu produk obat atau varietas padi yang berhasil dan digunakan secara luas oleh masyarakat, dapat menutupi kerugian dari biaya pengembangan obat dan padi lain yang gagal.

Ketika riset terpecah-pecah di banyak lembaga, masing-masing lembaga mungkin tidak berani mengambil risiko sebagai pihak yang gagal.

Namun, BRIN sebagai entitas besar riset nasional dengan portofolio riset yang bervariasi tentunya memiliki ruang gerak yang lebih luas untuk mengkompensasi kegagalan program-program riset yang berisiko tinggi, yang bisa jadi sebenarnya juga berpotensi menghasilkan keuntungan berlipat ganda jika berhasil.

Ketika riset menginduk pada kementerian dan lembaga yang menjalankan banyak fungsi lain selain riset, fleksibilitas penggunaan anggaran lebih sulit untuk diterapkan karena pengecualian suatu unit kerja akan menimbulkan kerumitan dalam pembuatan justifikasi dan audit institusi secara menyeluruh.

Jelas bahwa dalam kondisi ini mekanisme penggunaan anggaran yang seragam secara administratif akan lebih mudah untuk dikelola dan dipertanggungjawabkan.

Akan tetapi BRIN adalah lembaga yang secara khusus mengelola riset, sehingga riset dan segala karakteristik khususnya adalah DNA BRIN.

Oleh karena itu mestinya BRIN diberikan kesempatan untuk mengajukan sistem tata kelola anggaran tersendiri yang lebih cocok dengan karakter institusinya.

Jika masih terdapat kekhawatiran akan adanya penyelewengan anggaran oleh oknum-oknum periset tertentu, barangkali reformasi dapat dimulai dari periset yang terbukti berprestasi dengan memberikan diskresi yang lebih luas untuk membelanjakan dana penelitiannya.

Besaran dana diskresi ini dapat di-top-up atau dilipatgandakan setiap kali target capaian tertentu diperoleh.

Penggunaannya tidak dibatasi waktu dan peruntukannya selagi masih dalam ranah kegiatan riset, termasuk untuk membeli bahan dan jasa analisis, serta juga untuk melakukan perjalanan.

Dengan tambahan fleksibilitas ini, periset dapat mengeksplorasi topik dan teknik baru yang belum pernah dicoba, tanpa dihantui rasa ketakutan ketika menemui kegagalan.

Secara keseluruhan negara tidak mengalami kerugian, karena diskresi hanya diberikan pada mereka yang telah memberikan capaian yang nilainya setara atau melebihi dana tambahan yang diberikan.

Bahkan negara berpotensi untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan bila riset eksploratif yang dilakukan ternyata memberikan hasil yang positif di kemudian hari.

Suka tidak suka, ekosistem riset yang didanai pemerintah memang tidak dapat lepas dari sistem pembelanjaan anggaran negara.

Namun, sistem tersebut sesungguhnya dibuat untuk meminimalisir kerugian atau memaksimalkan manfaat, sedangkan kerugian dan manfaat seringkali sangat tergantung pada konteks.

Membayar mahal Lionel Messi untuk dijadikan sebagai penjaga gawang tentu merugikan. Begitu pula mengatur kegiatan riset layaknya proyek pembangunan jalan.

Banyak bukti, bahwa ketika para periset Indonesia diberi kemerdekaan untuk berinovasi dan menuangkan kreativitas mereka di luar negeri, mereka mampu memberikan hasil yang bersaing.

Kekurangan kita bukan ada di kualitas sumber daya manusia, melainkan keengganan untuk memberikan kepercayaan dan kemerdekaan.

Padahal tanpa itu, periset yang bergerak di bidang yang baru dan canggih seperti Katalin Kariko tak dapat berkembang, sehingga rasanya akan sulit bagi Indonesia untuk melepas statusnya sebagai negara berkembang berpenghasilan menengah.

Dani Satyawan
Peneliti Pusat Riset Rekayasa Genetik BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2022/06/13/160300723/mimpi-merdeka-meneliti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke