Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Paracetamol di Teluk Jakarta, Ahli Rekomendasikan 3 Cara Mencegah Paparan Limbah Obat di Perairan

Paracetamol adalah obat penghilang rasa sakit yang umum digunakan untuk mengobati sakit dan nyeri. Selain itu, juga bisa membantu menurunkan demam.

Temuan ini pertama kali dimuat dalam jurnal sciencedirect.com dengan judul “High Concentration of Paracetamol in Effluents Dominated Waters of Jakarta Bay, Indonesia (Marine Pollution Bulletin, 2021).

Dalam studi tersebut, konsentrasi paracetamol di muara Angke disebutkan 610 nanogram per liter (ng/L). Sementara di pantai Ancol ditemukan konsentrasi paracetamol 420 ng/L.

Jika dibandingkan dengan negara lain, konsentrasi paracetamol di Teluk Jakarta jauh lebih tinggi. Sebut saja di pantai Brasil dengan kandungan paracetamol 34,6 nanogram per liter dan di pantai utara Portugis 51,2 sampai 584 ng/L.

Terkait hal tersebut, Apt. Sofa D. Alfian, PhD, Peneliti dan Dosen Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjadjaran, mengatakan, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pasti alasan ditemukannya paracetamol di perairan.

Menurutnya, saat ini penyebab ditemukannya paracetamol di perairan hanya bisa diasumsikan berdasarkan telaah literatur yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya.

“Sebuah artikel review menggambarkan pathways bagaimana paracetamol dapat mencapai perairan melalui pembuangan dari industri farmasi yang tidak optimal dan dari aktivitas manusia, termasuk membuang obat secara sembarangan,” kata Sofa kepada Kompas.com.

Lebih lajut ia mengungkap bahwa sebenarnya sudah ada regulasi yang mengatur bagaimana pengelolaan limbah medis, termasuk obat dari industri farmasi dan juga rumah sakit.

Sayangnya, memang belum ada regulasi yang secara eksplisit mengatur mengenai bagaimana cara membuang dan mengelola obat yang tidak terpakai pada skala rumah tangga.

Masalahnya, jika tak segera diatasi dengan baik, Sofa mengatakan, pencemaran lingkungan karena residu obat paracetamol ini akan membahayakan organisme lain.

“Phytoplankton, zooplankton, dan organisme yang berada di air yang terpapar paracetamol dapat menyebabkan peningkatan stress hewan, efek neurotoksik, dan oxidative stress, yakni ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan sistem antioksidan yang berperan dalam mempertahankan homoeostatis,” jelas Sofa yang tak terlibat dalam penelitian paracetamol di Teluk Jakarta.

Terkait pencemaran paracetamol di Teluk Jakarta, Sofa merekomendasikan tiga cara untuk mencegah paparan limbah obat di perairan.

1. Sosialisasi dari tenaga kesehatan

“Berdasarkan penelitian yang saya dan tim lakukan pada 2017-2018 lalu, kurangnya kesadaran masyarakat awam menjadi salah satu penyebab mereka membuang obat yang sudah tidak terpakai secara sembarangan,” ujar Sofa.

Dari penelitian tersebut, 497 responden di Kota Bandung, sebanyak 53,1 persen tidak mengetahui bahwa pembuangan obat secara sembarangan dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan.

Selain itu, sebagian besar responden (79,5 persen) belum pernah mendapatkan informasi tentang cara pembuangan obat yang benar.

Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi oleh tenaga kesehatan kepada masyarakat awam mengenai bagaimana cara pembuangan obat yang benar.

2. Farmasi harus mengelola limbah sesuai aturan BPOM

Bagi industri farmasi, sistem pengelolaan limbah industri farmasi harus melaksanakan sistem pengelolaan limbah yang diatur oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.

Industri farmasi perlu memastikan secara rutin sistem pengelolaan air limbah agar tidak ada sumber limbah yang bocor sebelum diolah ke saluran perairan.

Selain itu, audit yang dilakukan internal oleh industri farmasi ataupun audit eksternal oleh BPOM harus dilaksanakan secara rutin.

3. Returning Unwanted Medicines (RUM)

Kejadian paparan residu paracetamol pada perairan juga terjadi pada beberapa negara di dunia.

Berkaca dari negara tersebut dalam mengatasi masalah pencemaran limbah farmasi, Pemerintah Australia dan mayoritas negara di Eropa memberlakukan regulasi yang mengatur pembuangan obat-obatan yang tidak diingankan atau yang sudah tidak terpakai untuk mencegah kerusakan lingkungan.

Di Australia, terdapat satu proyek bernama Returning Unwanted Medicines (RUM), di mana masyarakat dapat mengembalikan obat yang sudah tidak digunakan lagi ke apotek terdekat atau ke tempat yang disediakan oleh RUM untuk dilakukan pembuangan secara aman dan gratis.

Proyek RUM merupakan hasil kerja sama antara pemerintah dan Universitas Griffth.

Proyek tersebut memberikan hasil yang cukup signifikan, di mana terkumpul sejumlah 704 ton obat yang tidak digunakan lagi pada tahun 2016, dan 90 persen dari responden yang sebelumnya tidak memiliki kesadaran akan pengelolaan limbah farmasi rumah tangga, kini mulai sadar dan mengikuti proyek RUM tersebut.

“Harapannya, Pemerintah Indonesia dapat mengadaptasi peraturan tersebut untuk mengatur cara membuang dan mengelola obat yang tidak terpakai pada skala rumah tangga,” kata Sofa.

Selain tiga cara itu, menurut Sofa, perusahaan farmasi mungkin bisa menyertakan cara pembuangan obat di kemasannya, mengingat masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui cara membuang obat dan efek membuang obat sembarangan.

“Ini juga bisa menjadi rekomendasi penelitian selanjutnya,” pungkasnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/10/06/073000323/paracetamol-di-teluk-jakarta-ahli-rekomendasikan-3-cara-mencegah-paparan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke