Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perjalanan Menemukan Besse, Manusia Modern Tertua di Sulawesi Selatan

Kerangka yang diketahui berjenis kelamin perempuan dan berusia 17-18 tahun itu hidup sekitar 7.200-7.300 tahun lalu.

Meski terkubur di dalam situs Leang Panninge atau gua Panninge, Maros, Sulawesi Selatan selama ribuan tahun, kerangka yang ditemukan ini sangat istimewa karena para ilmuwan berhasil melacak DNA-nya.

Dari hasil pengujian, kerangka perempuan yang dijuluki Bessé (diucapkan bur-sek) ini, memiliki garis keturunan orang Papua, suku Aborigin Australia, dan Denisovan.

Denisovan adalah subspesies manusia purba yang telah punah, hidup antara 500.000-30.000 tahun yang lalu dan sejauh ini keberadaannya hanya diketahui melalui penemuan fosil di Siberia dan Dataran Tinggi Tibet.

Untuk diketahui, nama Bessé merujuk kepada putri-putri Bugis yang baru lahir. Nama Bessé adalah penghargaan besar dari para arkeolog untuk fosil perempuan purba ini.

Lantas, bagaimana para peneliti menemukan Bessé?

Kompas.com menghubungi salah satu peneliti utama temuan ini, Prof. Dr. Akin Duli, M.A, dosen Arkeologi dari Universitas Hasanuddin, Makassar.

Perjalanan menemukan Besse cukup panjang dan penuh liku. Perjalanan ini dimulai tahun 2015.

Akin, temuan kerangka manusia di situs gua Leang Panninge sebenarnya sudah sejak 2015 berkat proyek kerjasama antara Indonesia dan Malaysia.

"Penemuan awal di tahun 2015, sebenarnya proyek ini justru dibiayai oleh teman dari Universitas Science Malaysia, itu Prof. Dr. Stephen Chia. Dia adalah promotor saya saat S3," ungkap Akin kepada Kompas.com, Sabtu (28/8/2021).

Tahun 2015 itu, Akin dan Stephen Chia jalan-jalan ke daerah Mallawa, Maros, Sulawesi Selatan. Salah satu situs yang didatangi adalah gua Panninge atau Leang Panninge.

"Teman saya, Prof. Stephen Chia mengatakan, ini bagus sekali kita lakukan ekskavasi (penggalian dalam arkeologi)," kata Akin menirukan Stephen Chia.

Namun saat itu, Akin berkata kepada Stephen Chia bahwa dirinya tidak memiliki anggaran untuk melakukan penggalian di situs Leang Panninge tersebut.

"Beliau katakan, bagaimana kalau saya siapkan anggaran 150 juta?"

"Oke. Saya bilang, minggu depan kita bisa jalan (melakukan ekskavasi) dengan melibatkan dosen dan mahasiswa," imbuh dia.

Benar saja, pada Juni-Juli 2015, Akin bersama timnya mulai melakukan penggalian di situs Leang Panninge.

Dari penggalian ini, mereka menemukan rangka yang masih sangat lengkap.

"Saya tekankan, ini belum fosil, masih rangka," ungkapnya.

Rangka manusia tersebut dalam bentuk penguburan, dengan kondisi terkelungkup atau disebut juga posisi janin, yakni punggung melengkung, kepala menunduk, dan tangan dan kaki dilipat ke dekat torso.

"Yang pertama kita temukan itu ada gigi. Lama-lama ternyata semua lengkap, ada tengkorak, tulang lengan, tulang belakang. Justru yang tidak ada tulang paha," ujar dia.

Dari temuan ini, Akin mengatakan bahwa temuan kerangka manusia tersebut sudah mengalami budaya penguburan.

Ini karena saat meninggal, tubuh manusia tersebut diletakkan secara sengaja dalam posisi jongkok tetapi dimiringkan, dan diapit dengan beberapa bongkahan batu.

"Terutama di bagian kepala dialasi dengan beberapa alat batu seperti mata panah, pisau batu, dan kapak batu," sambungnya.

Peralatan dari batu inilah yang disebut sebagai peralatan orang Toal atau industri orang Toal.

Hingga saat ini, hanya sedikit bukti arkeologis yang mengungkap keberadaan orang Toal. Namun diperkirakan, orang Toal hidup di waktu yang sama dengan Besse.

"Terutama yang paling khas (alat orang Toal) itu yang mata panah bergerigi," ungkap Akin.

Temuan kerangka, alat orang Tial, dan sisa-sisa peninggalan lain ini ditemukan pada kedalaman sekitar 2,5 meter dari permukaan tanah.

Namun kendati sudah ditemukan, kerangka tersebut tidak bisa segera diangkat saat itu juga. Ada standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku untuk pengangangkatan temuan arkeologis, dan tim Akin saat itu tidak siap dengan peralatannya.

Akhirnya, dia dan tim memutuskan untuk menutup kembali lubang penggalian dan dilapisi bahan tertentu agar kerangka tersebut tetap aman.

Beberapa bulan kemudian, ketika sudah ada anggaran lagi untuk pengangkatan dan SOP terpenuhi, akhirnya lubang tersebut dibuka kembali dan kerangka dibawa ke laboratorium Unhas.

Analisis kerangka

Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis penanggalan dan DNA kerangka.

Ini pun mengalami sejumlah kendala. Pasalnya, laboratorium di Unhas dan seluruh Indonesia tidak dapat membantu melakukan penelitian tersebut.

Akhirnya Akin memutuskan untuk meminta bantuan dari luar negeri. AS dapat membantu, tapi biaya yang dibutuhkan terlalu mahal, mencapai Rp 500 juta.

"Akhirnya saya buntu karena tidak memiliki banyak anggaran. Kemudian pada 2019, ada teman-teman kerjasama dari Australia, pak Adam (Adam Brumm) dan kawan-kawan dari Griffith University datang dan mau bantu. Tentunya mereka join riset, kita tanda tangan MOU antara Unhas, Griffith, dan Pusat Arkeologi Nasional," terangnya.

Setelah itu, mulailah Unhas dan Griffith University bertemu dengan Selina Carlhoff dari Department of Archaeogenetics, Max Planck Institute for the Science of Human History, Jena, Jerman.

Selina meminta kerangka tersebut untuk dibawa ke Jerman agar bisa diolah datanya.

"Namun karena biayanya mahal, kami tidak sanggup. Akhirnya Salina bersedia untuk membantu biayanya," kata Akin.

Dari penelitian yang dilakukan Salina di Jerman, akhirnya diketahui kerangka perempuan yang dijuluki Besse ini berusia 17-18 tahun saat meninggal, berasal dari 7.200-7.300 tahun yang lalu, dan memiliki tiga garis keturunan yakni Papua, Aborigin Australia, dan Denisovan.

"Inilah yang kemudian lahir di jurnal (Nature)," kata Akin.

Karena Salina yang menganalisis DNA kerangka ini, dia dijadikan penulis utama dalam jurnal, sementara Akin dari Unhas menjadi penulis kedua, dan Adam Brumm dari Griffith University sebagai penulis ketiga.

"Siapa itu Besse? Besse ini kerabat dekat dari orang Papua dan orang Aborigin yang ada di Australia dan masih memiliki keturunan Denisovan," tutupnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/08/29/100200323/perjalanan-menemukan-besse-manusia-modern-tertua-di-sulawesi-selatan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke