Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Long Covid Mungkin Dipicu Virus Lain yang Dibangkitkan Lagi dalam Tubuh

KOMPAS.com - Long Covid atau gejala Covid-19 berkepanjangan yang dialami setelah sembuh dari penyakit ini, menurut studi baru mungkin dipicu oleh virus lain yang sudah ada di dalam tubuh.

Masih banyak orang yang meski telah sembuh dari Covid-19, namun masih berjuang untuk benar-benar pulih. Sebab, sistem kekebalan mereka mungkin berkaitan dengan virus lain.

Gejala long Covid yang banyak dilaporkan oleh mereka yang telah dinyatakan sembuh dari Covid-19 antara lain seperti kelelahan dan kabut otak, bahkan efek berkepanjangan ini juga telah diperbandingkan dengan sindrom kelelahan kronis atau myalgic encephalomyelitis (CFS/ME).

Dilansir dari Science Alert, Kamis (19/8/2021), penelitian baru menunjukkan bahwa gejala long Covid itu bukan suatu kebetulan. Dalam beberapa kasus, kedua penyakit kronis mungkin memiliki penyebab masalah yang sama.

Sebuah studi baru-baru ini dilakukan para peneliti terhadap 185 pasien Covid-19 di Amerika Serikat telah menemukan bahwa reaktivasi virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menjadi penyebab dari gejala long Covid.

Studi menunjukkan sebagian pasien CFS/ME menunjukkan tanda-tanda reaktivasi virus Epstein-Barr (EBV), virus lain yang sudah ada di dalam tubuh, namun aktif lagi yang dipicu setelah sembuh dari Covid-19.

Sekarang, tampaknya sebagian besar orang dengan long Covid juga menunjukkan tanda-tanda reaktivasi EBV.

EBV adalah salah satu infeksi virus yang paling umum di luar sana. Sebagian besar orang di seluruh dunia tertular virus di beberapa titik dalam hidup mereka, dan setelah fase infeksi akut, versi virus yang tidak aktif bertahan di dalam tubuh seumur hidup.

Para peneliti menjelaskan bahwa terkadang, EBV dapat aktif kembali dan menyebabkan gejala seperti flu, seperti selama periode stres psikologis atau fisiologis.

"Kami menjalankan tes serologis virus Epstein-Barr pada pasien Covid-19 setidaknya 90 hari setelah dites positif terinfeksi SARS-CoV-2, membandingkan tingkat reaktivasi EBV dari mereka yang memiliki gejala long Covid dengan mereka yang tidak pernah mengalami gejala Covid-19 yang lama," jelas ahli biologi Jeffrey Gold dari World Organization.

Gold mengatakan bahwa studinya telah menemukan lebih dari 73 persen pasien yang sembuh dari Covid-19, yang mengalami gejala long Covid ternyata juga positif reaktivasi EBV, virus lain yang aktif kembali di dalam tubuh.

Bahkan, tak hanya itu, tampak pula dalam studi ini ada banyak gejala yang dilaporkan sangat mirip yang muncul dari reaktivasi EBV.

Di antaranya seperti kelelahan ekstrem, frekuensi ruam kulit yang meningkat dan fenomena Raynaud yang menyebabkan penurunan aliran darah ke jari tangan dan kaki.

Pada tahun lalu, para pelari jarak jauh bahkan menyebut mengalami ekstremitas peradangan atau bengkak pada bagian kaki, yang kemudian dikenali sebagai 'jari kaki Covid'.

Kendati ukuran sampel yang dipelajari dari studi ini sangat kecil, namun hasilnya menunjukkan bahwa ada banyak gejala long Covid yang mungkin sebenarnya muncul bukan dari efek infeksi SARS-CoV-2 itu sendiri.

Akan tetapi, gejala itu justru mungkin dipicu oleh virus yang berbeda di dalam tubuh yang bangkit atau aktif kembali, yang berpotensi dipicu oleh peradangan Covid-19 yang meluas di dalam tubuh.

Di antara 185 pasien Covid-19 yang dipilih secara acak, para peneliti menemukan hampir sepertiga dari mereka mengalami gejala yang tidak hilang yang berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan ada yang lebih dari setahun.

Hampir 67 persen dalam sampel acak, long hauler atau orang yang mengalami long Covid, menunjukkan antibodi untuk reaktivasi EBV dalam darah mereka.

Pada saat yang sama, hanya 10 persen pasien tanpa gejala jangka panjang yang dinyatakan positif reaktivasi EBV.

Bahkan, para peneliti juga merekrut kelompok kedua yakni orang-orang yang didiagnosa Covid-19 selama 21-90 hari sebelumnya. Bahkan pada subjek jangka pendek ini, rasio reaktivasi EBV pun serupa.

"Kami menemukan tingkat reaktivasi EBV yang serupa pada mereka yang memiliki gejala long Covid selama berbulan-bulan, seperti pada mereka yang memiliki gejala long Covid yang dimulai hanya beberapa minggu setelah dites positif Covid-19," kata ahli mikrobiologi molekuler David Hurley dari University of Georgia.

Hurley menjelaskan bahwa temuan ini menunjukkan, reaktivasi EBV, virus lama yang aktif kembali, itu kemungkinan terjadi secara bersamaan atau segera setelah infeksi Covid-19.

Awal tahun ini di Wuhan, Cina, para peneliti juga menemukan bukti reaktivasi EBV mungkin terkait dengan Covid-19 pada tahap awal.

Dalam dua minggu setelah infeksi Covid-19, lebih dari 50 persen dari 67 pasien Covid-19 dalam penelitian ini menunjukkan tanda-tanda reaktivasi EBV. Bahkan, koinfeksi EBV dan virus SARS-CoV-2 ini dikaitkan dengan gejala yang lebih parah.

Faktanya, pada awal tahun lalu, penelitian ICU kecil lainnya di Eropa menunjukkan bahwa DNA EBV positif diamati pada sekitar 87 persen dari 104 pasien Covid-19 yang diperiksa.

Mencegah potensi reaktivasi virus

Para peneliti menyimpulkan, jika virus EBV yang aktif lagi di dalam tubuh pada sebagian pasien Covid-19, maka ada baiknya memahami hubungan keduanya dalam studi lebih lanjut.

Di balik penelitian terbaru ini, para peneliti berpikir bahwa pengujian antibodi EBV pada pasien Covid-19 baru mungkin perlu dilakukan.

Jika pasien tersebut menunjukkan tanda-tanda reaktivasi EBV, mereka mungkin dapat menerima perawatan medis lebih lanjut untuk melindungi mereka dari risiko mengembangkan bentuk Covid-19 yang parah atau berkepanjangan yakni potensi mengalami long Covid.

Kendati demikian, diakui peneliti, bahwa tidak semua orang menunjukkan reaktivasi EBV, dan beberapa pasien yang sembuh dari Covid-19 dapat menunjukkan bukti reaktivasi EBV tanpa menderita gejala apapun.

Oleh sebab itu, menurut peneliti, tes ini bisa membantu mengidentifikasi di mana risiko kesehatan paling besar dan membantu merencanakan perawatan yang tepat di masa yang akan datang.

Meskipun saat ini tidak ada obat yang dilisensikan untuk secara khusus mengobati reaktivasi EBV, ada obat-obatan yang dapat membantu mengurangi viral load, memberikan istirahat pada sistem kekebalan.

Misalnya, sebuah studi baru-baru ini dari China, menemukan bahwa pemberian obat antivirus, gansiklovir, dapat mengurangi risiko penyakit parah yang berkembang di antara pasien Covid-19.

Obat serupa, yang dikenal sebagai valgansiklovir, juga tampaknya mengurangi beberapa gejala CFS/ME, setidaknya di antara pasien yang menunjukkan antibodi untuk EBV, tetapi penelitian di bidang ini masih dalam tahap awal.

Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Pathogens tersebut peneliti menyimpulan bahwa reaktivasi EBV mungkin tidak bertanggung jawab atas semua kasus long Covid yang menyebabkan kelelahan berulang atau kabut otak setelah sembuh dari Covid-19.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/08/19/163100023/long-covid-mungkin-dipicu-virus-lain-yang-dibangkitkan-lagi-dalam-tubuh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke