Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Longsor di PLTA Batang Toru, Organisasi Lingkungan: Sebenarnya Bisa Dicegah

KOMPAS.com - Tanah longsor terjadi di area proyek pembangunan PLTA Batang Toru yang dikerjakan oleh PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE) pada Kamis (29/4/2020).

Kejadian mengenaskan ini menyebabkan setidaknya 10 orang tewas dan tiga orang lainnya masih hilang, berdasarkan pencarian hingga Rabu (5/5/2021).

Menanggapi kejadian ini, Direktur Kampanye organisasi kampanye lingkungan Mighty Earth, Amanda Hurowitz, mengungkapkan bahwa pihaknya turut berduka cita terhadap keluarga korban tewas.

"Bersama ini, kami menyatakan rasa duka mendalam terhadap keluarga korban tewas atau luka akibat bencana menyedihkan itu, baik penduduk setempat maupun pekerja dari China, yang berada jauh dari kampung halaman mereka," ujarnya.

"Kami mengimbau PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE) dan pejabat pemerintah di semua tingkatan memberikan bantuan dan dukungan secepatnya kepada yang terdampak serta mengambil tindakan untuk mencegah kerusakan dan bahaya lebih jauh," imbuhnya lagi.

Namun di saat yang sama, Hurowitz juga mengungkapkan bahwa bencana longsor yang menewaskan banyak orang ini sebenarnya dapat dicegah.

Pasalnya, ilmuwan, pejuang lingkungan, dan bahkan berbagai laporan yang diterima Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Indonesia telah memperingatkan bahwa medan di sekitar proyek bendungan Batang Toru rawan longsor karena curah hujan tinggi, medan berbukit-bukit serta drainase buruk.

"Proyek itu juga terletak tidak jauh dari garis patahan bumi, di kawasan rawan gempa dan sedang dibangun, tampaknya tanpa rencana memadai untuk mengurangi dampak kegiatan pembangunan di kawasan rawan tersebut," katanya.

Hurowitz pun mengingatkan kembali akan kejadian longsor pada bulan Desember 2020 di kawasan PLTA Batang Toru yang menewaskan seorang pekerja China.

Dalam laporan singkat mengenai kejadian tersebut di situs resmi Magma Indonesia, disebutkan bahwa lokasi kejadian berada pada Zona Potensi Gerakan Tanah Menengah hingga Tinggi, sehingga memang memiliki potensi menengah hingga tinggi untuk terjadi gerakan tanah.

"Peristiwa itu (longsor pada Desember 2020) sebenarnya adalah peringatan akan tragedi pada hari ini," ujar Hurowitz.

Selain Mighty Earth, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga telah angkat bicara mengenai kejadian ini.

Roy Lumban Gaol selaku Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumatera Utara berkata bahwa kejadian ini hanyalah contoh lain mengapa proyek PLTA Batang Toru harus segera dihentikan untuk selamanya.

WALHI sendiri telah mengajukan gugatan hukum terhadap proyek PLTA Batang Toru di pengadilan Indonesia karena analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang dilakukan oleh NSHE dinilai tidak memperhitungkan spesies langka yang terancam punah, komunitas hilir dan potensi bencana ekologis.

"Pemerintah Indonesia harus menunda AMDAL untuk proyek tersebut dan segera meninjau ulang kelangsungan proyek itu terkait risiko terhadap keselamatan pekerja, integritas struktural terkait dengan risiko banjir dan gempa, serta ancaman eksistensial pembangunan bendungan itu terhadap keragaman hayati, termasuk orangutan tapanuli, jenis kera besar paling terancam punah di dunia,” ujar Roy.

Kera besar paling terancam punah di dunia

Seperti disebutkan di atas, salah satu kekhawatiran para pegiat lingkungan adalah ancaman eksistensial PLTA Batang Toru terhadap orangutan tapanuli.

Orangutan tapanuli yang bernama ilmiah Pongo Tapanuliensis adalah spesies kera besar paling langka dan terancam punah di dunia. Kali pertama diidentifikasi pada 2017 oleh para ilmuwan; orangutan tapanuli diperkirakan hanya tersisa 800 ekor saja saat ini.

Permasalahannya, populasi orangutan tapanuli yang tinggal di ekosistem Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara saat ini telah terfragmentasi menjadi tiga blok: blok barat yang hanya beranggotakan 600 individu, blok timur dengan 160 individu dan blok sibualbuali dengan 30 individu saja.

Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadi semakin parah jika proyek PLTA Batangtoru dilanjutkan. Pasalnya, pembangunan jalan akses dan sutet untuk PLTA Batangtoru akan membelah blok barat menjadi dua dan membuat populasi orangutan semakin terfragmentasi.

Padahal, orangutan tapanuli bersifat 100 persen arboreal atau bergantung pada habitat hutan sepenuhnya, sehingga tidak bisa menyeberangi wilayah yang tidak ada pohonnya. Selain itu, spesies ini juga memiliki waktu perkembangbiakan yang lama, yakni baru bisa mempunyai anak pada usia 15 tahun dan hanya melahirkan setiap 8-9 tahun.

Fragmentasi lebih lanjut bisa menyebabkan persaingan mencari pasangan dan makan yang lebih sengit di antara orangutan tapanuli, dan memicu timbulnya inbreeding (kawin sedarah) yang bisa berujung pada kepunahan.

PT NSHE mengaku bertanggung jawab

PT NSHE telah menyampaikan duka cita terhadap keluarga korban dan mengaku bertanggung jawab atas bencana longsor yang terjadi di area proyek pembangunan PLTA Batang Toru yang dikerjakannya.

Dalam pesan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (30/4/2021), Direktur Komunikasi dan Hubungan Luar (Communication and External Affair) PT NSHE, Firman Taufick, mengatakan telah melaporkan kejadian itu ke Pemkab Tapanuli Selatan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Tapanuli Selatan dan berkoordinasi dengan pihak aparat Polri, TNI setempat.

Selain itu, dia juga mengungkapkan bahwa pihaknya akan bertanggungjawab sesuai dengan peraturan yang berlaku dan kebijakan yang ditetapkan perusahaan.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/07/083000523/longsor-di-plta-batang-toru-organisasi-lingkungan--sebenarnya-bisa-dicegah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke