Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Spesies Baru Katak Labu, Bisa Bersinar di Bawah Sinar UV dan Beracun

KOMPAS.com - Para ilmuwan baru saja mengidentifikasi katak spesies baru yang beracun di pegunungan Brasil.

Amfibi ini berukuran kurang dari satu inci dan merupakan bagian dari genus katak labu, kumpulan katak kecil berwarna cerah.

Dilansir Gizmodo, Kamis (29/4/2021), selain ukurannya yang kecil, katak ini memiliki kulit dan tulang berwarna cerah.

Katak yang pertama kali ditemukan pada 2016 di pegunungan Mantiqueira di Brasil ini juga bisa berpendar di bawah sinar UV, sebuah ciri yang masih misterius bagi peneliti.

Penulis studi Ivan Sergio Nunes Silva Filho, seorang ahli zoologi di São Paulo State University, dan rekan-rekannya telah mempelajari keanekaragaman hayati Amazon Brasil selama beberapa waktu.

Sebagian dari pekerjaan ini melibatkan penguraian genus amfibi yang dikenal sebagai Brachycephalus.

Tidak semua kodok dan katak dalam genus terlihat sama, tetapi semuanya berukuran kecil. Spesies terkecil yang pernah diketahui, ukurannya tidak lebih dari 1 sentimeter - diukur dari depan ke belakang.

Banyak juga yang memiliki kulit oranye yang sangat mirip labu dan terkadang beracun. Ini kenapa kelompok kodok ini dijuluki kodok labu. Kodok yang lebih kecoklatan disebut kodok kutu.

Ada lebih dari 30 spesies Brachycephalus yang diketahui, termasuk 15 spesies baru yang mungkin telah diidentifikasi oleh para ilmuwan dalam lima tahun terakhir.

Satu spesies khususnya, yang disebut Brachycephalus ephippium, ditemukan di seluruh Brasil.

Awalnya, para peneliti menduga bahwa spesies baru kodok labu ini adalah B. ephippium.

Dalam makalah baru yang terbit di PLOS One pada hari Rabu (28/4/2021), Nunes dan kolega menarik kesimpulan bahwa mereka telah menemukan spesies baru yang bersembunyi di sepanjang Pegunungan Mantiqueira dan hutan Brasil Tenggara, dan itu berbeda dengan B. ephippium.

Kodok baru yang mereka identifikasi dinamai Brachycephalus rotenbergae. Namanya terinspirasi dari Elsie Laura Klabin Rotenberg, pendiri Projeto Dacnis, sebuah organisasi non-pemerintah yang didedikasikan untuk konservasi lingkungan Brasil yang membantu penelitian mereka.

“Spesies dalam genus ini cenderung memiliki morfologi yang sangat mirip (bentuk, ukuran dan struktur binatang) satu sama lain. Jadi kami membutuhkan beberapa data untuk memastikan penemuan ini valid,” kata Nunes kepada Gizmodo melalui telepon.

“Misalnya, dalam penelitian ini, kami melihat genetika, morfologi eksternal, dan internal mereka. Bahkan suara yang dibuat katak dan menemukan ada beberapa perbedaan nyata yang akan membuat status spesies.”

Dalam genetik, kodok ini tampaknya 3 persen berbeda secara genetik dengan B. ephippium.

Jika dilihat dari dekat, ada perbedaan halus pada penampilan B. rotenbergae dengan spesies lain.

Kodok B. rotenbergae memiliki bintik hitam yang memudar di tengkoraknya. Ini tidak terlihat pada spesies terkait lainnya.

Panggilan kawin mereka juga tampaknya sedikit berbeda dari spesies lain.

“Seratus, bahkan 50 tahun yang lalu, sangat mudah untuk mendeskripsikan spesies baru. Tapi sekarang, kami harus melakukan lebih banyak pekerjaan untuk mendeskripsikan spesies yang sangat mirip ini,” kata Nunes.

Misteri spesies baru kodok labu

Ada banyak misteri tentang kodok labu secara umum. Beberapa tahun yang lalu, para ilmuwan menemukan bahwa beberapa spesies memiliki struktur tulang yang berpendar dalam sinar UV.

Hal ini juga dimiliki oleh spesies baru B. rotenbergae ini.

Tetapi seperti banyak hewan berpendar, hingga kini para ahli belum memahami kenapa mereka memiliki kemampuan tersebut.

Ada beberapa teori yang mengatakan bahwa fluoresensi adalah cara lain untuk memperingatkan predator agar waspada menggigit makanan beracun.

Tapi itu juga bisa menjadi alat yang berguna bagi kodok untuk mengenali satu sama lain, menurut Nunes.

Racun kodok

Dilansir CNN, Rabu (28/4/2021), Nunes juga mengatakan bahwa B. rotenbergae memiliki racun, tetapi ancamannya terhadap manusia minimal.

"Manusia dapat menyentuh kodok ini dengan tangan kosong, tetapi jangan sampai menyentuh mata atau mulut kodok," tambah Nunes.

Kodok mengeluarkan racun yang disebut tetrodotoxin. Ini adalah racun yang sama yang ditemukan pada ikan fugo.

"Manusia bisa diracuni dengan menelan kodok atau jika luka terbuka mengenai kulit mereka," kata peneliti kodok Sandra Goutte, postdoctoral associate di New York University Abu Dhabi, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

Tidak diketahui berapa lama umur mereka atau berapa banyak di alam liar, tetapi Nunes memperkirakan ada beberapa ratus ekor di daerah tersebut.

Dia berharap untuk melakukan penelitian lebih lanjut pada katak oranye terang ini untuk mempelajari mengapa mereka berpendar dan memantau mereka untuk tujuan konservasi.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/04/29/140100423/spesies-baru-katak-labu-bisa-bersinar-di-bawah-sinar-uv-dan-beracun

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke