Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rekor Suhu Terpanas Bumi Tahun 2020 Lampaui 2016, Begini Analisis NASA

KOMPAS.com- Pandemi virus corona masih berlangsung, serta kebakaran hutan di seluruh Australia, Siberia, dan Amerika Serikat membuat planet Bumi di tahun 2020 mencatatkan rekor suhu terpanas.

Studi yang dilakukan badan antariksa nasional AS, NASA, menunjukkan bahwa tahun 2016 menduduki peringkat sebagai tahun terpanas dalam catatan planet Bumi.

Namun, rekor suhu terpanas sepanjang tahun 2020 telah melampaui rekor sebelumnya dengan jumlah yang sangat kecil, di bawah sepersepuluh derajat, yang diumumkan NASA pada Kamis (14/1/2021) lalu.

Kendati demikian ada perbedaan antara dua tahun tersebut yang membuat kedua rekor ini menjadi efektif.

"Tahun ini telah menjadi contoh yang sangat mencolok, tentang bagaimana rasanya hidup di tengah dampak perubahan iklim yang paling parah yang telah kami prediksi," kata Lesley Ott, ahli meteorologi di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland, dikutip dari Space, Sabtu (16/1/2021).

Ada beberapa hal yang digarisbawahi dalam studi iklim yang dilakukan para ilmuwan NASA, di antaranya sebagai berikut.

Dampak Covid-19 terhadap iklim global

Upaya lockdown atau penguncian di awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020, telah mengurangi sementara emisi nitrogen dioksida yang dilepaskan ke atmosfer.

"Namun, lockdown sementara menunjukkan bahwa kita dapat berubah dan mengubah dengan cepat," kata Piers Foster, rekan penulis studi dan direktur Pusat Internasional untuk Iklim Priestley di University of Leeds, Inggris.

Foster menambahkan bahwa hal itu juga menunjukkan batasan perilaku perubahan.

"Tanpa perubahan struktural yang mendasarinya, kami tidak akan berhasil (mengacu pada tujuann iklim)," kata Foster.

Selain itu, Gavin Schmidt, ilmuwan iklim dan direktur Institut Studi Antariksa Goddard NASA di New York City mengatakan, "Kita masih meningkatkan karbon dioksida (atmosfer) sebesar dua bagian per juta pada tahun lalu," kata dia.

Jadi, kata Schmidt, perubahan sementara dalam emisi ini tidak akan berdampak langsung pada tahun ini.

"Tapi, perubahan aerosol dan polutan berumur pendek mungkin dan saya pikir kita akan melihat lebih banyak literatur yang ditinjau sejawat tentang itu," jelas dia.

Aktivitas manusia lepaskan karbon dioksida

Rekor suhu terpanas ini adalah hasil dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia. Sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas alam.

Membakar sumber daya tak terbarukan ini dapat menciptakan karbon dioksida, yang menumpuk di atmosfer dan memerangkap panas.

"Proses alami Bumi untuk menyerap karbon dioksida yang dilepaskan oleh aktivitas manusia, tumbuhan dan lautan, tidak cukup untuk mengimbangi berapa banyak CO2 yang kita masukkan ke atmosfer," kata Schmidt.

Proses pemanasan global ini hanya akan berlanjut karena spesies kita terus memproduksi dan mengeluarkan gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana.

Faktanya, menurut pernyataan NASA, tingkat karbon dioksida telah meningkat sekitar 50 persen sejak Revolusi Industri 250 tahun lalu, dan tingkat metana di atmosfer telah meningkat lebih dari dua kali lipat dalam rentang itu.

Model iklim saat ini memperkirakan bahwa, karena planet semakin lebih hangat dari waktu ke waktu, kita akan mengalami lebih banyak gelombang panas, yang akan menyebabkan lebih banyak kekeringan dan kebakaran hutan, yang sering kita lihat pada tahun 2020.

Selain itu, dampak lainnya yakni musim badai yang lebih intens, naiknya permukaan laut dari pencairan lembaran es dan banyak lagi.

Konsekuensi iklim

Salah satu konsekuensi dari kenaikan suhu ini, Kutub Utara mengalami gelombang panas yang serius pada tahun 2020.

Suhu musim panas melonjak di atas 38 derajat Celcius di Siberia, dan panas yang meluas di Kutub Utara bahkan menyebabkan fenomena kebakaran hutan.


Fenomena kebakaran hutan ini menghidupkan kembali sesuatu yang dikenal sebagai "kebakaran zombi", yang diamati di Kutub Utara pada tahun 2019.

Kebakaran zombi dapat terjadi ketika api membakar di daerah dengan lapisan es, atau tanah kaya karbon yang dapat tetap membeku sepanjang tahun.

Kebakaran ini bisa membakar begitu kuat ke lapisan permafrost, sehingga bisa bertahan bahkan melalui musim dingin di bawah selimut salju, hanya untuk disingkapkan di musim semi.

Selain itu, kebakaran hutan berbahaya lainnya terjadi pada tahun 2020, karena perubahan iklim terus memperpanjang musim kebakaran dengan vegetasi lokal yang mengering pada suhu yang lebih tinggi.

Menurut pernyataan NASA, lebih dari 20 persen bioma hutan beriklim sedang di Australia terbakar pada tahun 2019.

Benua Kangguru itu juga mengalami badai petir pyrocumulonimbus yang disebabkan oleh api, didukung oleh awan yang terbentuk di atas api. Gumpalan asap dari kebakaran ini mencapai jarak 30 kilometer ke stratosfer.

Akibat bencana alam yang menghancurkan seperti ini terus berlanjut seiring dengan meningkatnya suhu, pencairan es di seluruh dunia terus menambah kenaikan permukaan laut dan konsekuensi iklim lainnya.

NASA mengatakan meskipun tahun 2020 tidak mencatat rekor apa pun dalam hal kehilangan es di laut atau di darat, Bumi terus kehilangan sekitar 13,1 persen es laut Arktik berdasarkan wilayah setiap dekade.

Kendati perhitungan NASA mematok tahun 2020 secara efektif terikat dengan 2016 untuk tahun terpanas dalam catatan iklim, namun analisis oleh para peneliti dengan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS menunjukkan bahwa tahun 2020 sebenarnya sedikit lebih dingin daripada 2016.

"Pada dasarnya kita semua menggunakan data (suhu terpanas 2020) mentah yang sama. Tim yang berbeda hanya menyatukannya sedikit berbeda," kata Schmidt.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/01/16/190200823/rekor-suhu-terpanas-bumi-tahun-2020-lampaui-2016-begini-analisis-nasa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke