“Rencana negara mengirim kami ke Malaysia untuk mengintai langsung apakah orang Indonesia yang berada di sana atau orang Malaysia sendiri antipati kepada Indonesia,” ucap Yok Koeswoyo.
Namun, Yok Koeswoyo menyebut, misi negara terhadap Koes Plus tak berjalan sepenuhnya karena keburu terjadi geger politik saat peristiwa G30S pada 30 September 1965, selang tiga hari setelah personel Koes Bersaudara dibebaskan dari penjara Glodok.
“Dimasukkan penjara pura-pura tiga bulan, begitu kita keluar, tanggal 29, tanggal 30 September terjadi G30S, batal itu semua,” ucap Yok Koeswoyo.
Beberapa tahun setelahnya, Yok Koeswoyo mengaku personel Koes Plus tetap tutup mulut rapat-rapat menjaga tugas rahasia tersebut yang diberikan negara meski rezim telah berganti dari orde lama Soekarno menjadi orde baru Soeharto.
Kendati demikian, Yok Koeswoyo mengaku Koes Bersaudara yang sudah berganti nama menjadi Koes Plus kembali mendapat tugas serupa dari negara dengan berangkat ke Timor Leste.
“Zamannya Pak Harto kami masih (digunakan untuk operasi), tapi kami ini tutup mulut kalau kami ini ada bagian dari pemerintah, akhirnya kami ini dikirim ke Timor Leste agar menjadi bagian dari Indonesia, makanya waktu Timor Leste lepas dari Indonesia (tahun 1999) saya sakit hati,” ucap Yok Koeswoyo.
Baca juga: Kabar Terbaru Yok Koeswoyo, Personel Koes Bersaudara dan Koes Plus yang Tersisa
Koes Plus sendiri berangkat ke Timor Leste yang dulu bernama Timor Timur pada bulan November 1974. Koes Plus tampil dalam sebuah acara musik di Dili, yang kini menjadi ibu kota Timor Leste.
Keberangkatan Koes Plus disebut dalam misi rahasia yang diatur dalam Opsus atau operasi khusus.
Pemerintah Indonesia yang sudah dipimpin Soeharto saat itu menggunakan Koes Plus dengan popularitasnya untuk mengetahui bagaimana animo masyarakat Timor Leste yang pro integrasi ke Indonesia.
Beberapa sumber menyebutkan, setelah Koes Plus menggelar konser yang dihiasi kerusuhan itu, rombongan Koes Plus kemudian kembali ke Jakarta dengan selamat dan disambut Mayjen Ali Moertopo selaku petinggi intelijen sekaligus Opsus dan Menlu Adam Malik.
Ketua Partai Fretilin, Xavier Du Amaral sempat menyatakan membantah tudingan yang menyebut partainya menjadi biang keladi di balik kerusuhan konser Koes Plus itu.
Fakta lainnya, pada tanggal 5 Juli 1976, atau sekira 6 bulan setelah bergabungnya Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia, Koes Plus mengeluarkan lagu berjudul "Da Silva" yang dipersembahkan untuk masyarakat Timor Timur.
Ada pun, pada kurun 1960-1965, Soekarno gencar mengampanyekan untuk merebut Irian (kini Papua) dari Belanda dan menentang pembentukan negara Federasi Malaysia oleh Inggris yang didukung Amerika Serikat.
Politik konfrontasi yang dilancarkan Presiden Soekarno terhadap Blok Barat yang dianggap ingin menghidupkan Neokolonialisme dan Neoimperialisme turut menyeret seniman dan musisi ke dalamnya.
Menurut pandangan Soekarno, popularitas irama rock n roll seperti yang dimainkan grup musik The Beatles asal Liverpool, Inggris, saat itu adalah wujud dari imperialisme budaya. Bahkan Soekarno mencibir musik ala The Beatles sebagai irama "ngak ngik ngok".