Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Trias Kuncahyono
Wartawan dan Penulis Buku

Trias Kuncahyono, lahir di Yogyakarta, 1958, wartawan Kompas 1988-2018, nulis sejumlah buku antara lain Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir; Turki, Revolusi Tak Pernah Henti; Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir; Kredensial, Kearifan di Masa Pagebluk; dan Pilgrim.

Beijing, antara Riyadh dan Teheran

Kompas.com - 12/04/2023, 12:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada awal 1980-an, setelah reformasi dan kebijakan keterbukaan Deng Xiaoping, menurut Erzsebet N Rozsa (European Institute of the Mediterranean Year Book 2021), China mulai mencari mitra baru yang dapat memenuhi kebutuhan sumber daya energi yang meningkat pesat.

Karena itu, negara-negara di Timur Tengah dan Teluk Persia menjadi fokus perhatian China. Mengamankan pasokan energi yang stabil dan berkelanjutan kemudian menjadi prioritas utama dalam agenda kebijakan luar negeri dan keamanan China.

Tetapi, sebelum sampai pada titik itu, telah terjadi perdebatan panjang di China. Menurut Andrea Ghiselli, banyak yang menentang keterlibatan China selain dalam bidang ekonomi. Banyak pula yang menyarankan agar China terus menggunakan kekuatan ekonominya untuk mendorong para pemimpin lokal agar fokus pada pembangunan ekonomi daripada persaingan regional.

Elemen kunci dari strategi ini adalah mendukung industrialisasi, yang tentunya juga bermanfaat bagi kepentingan China. Karena itu, substansi kebijakan Timur Tengah China tetap tidak berubah selama bertahun-tahun, dengan “kerja sama pragmatis di berbagai bidang termasuk Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), perdagangan dan ekonomi, energi dan teknologi tinggi” sebagai pusatnya (Institut Timur Tengah/MEI, 9 Januari 2023).

Dalam kerangka BRI, China membantu dalam membiayai, mengoperasikan, dan membangun infrastruktur di Timur Tengah. China membantu negara-negara Timur Tengah mengembangkan infrastruktur dan mengundang mereka untuk menjadi anggota pendiri Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Sepuluh negara, yaitu Mesir, Israel, Iran, Yordania, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, Turki, dan Uni Emirat Arab bergabung (Mordechai Chaziza, China Report 55, 2019).

Sentralitas kerja sama ekonomi dan pembangunan China di Timur Tengah, kata Jonathan Fulton (European Council on Foreign Relations/ECFR, Oktober 2019), tercermin dalam dua dokumen utama pemerintah China, “Arab Policy Paper” (2016) dan “Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st-Century Maritime Silk Road” (2015).

Kedua dokumen tersebut fokus pada energi, pembangunan infrastruktur, perdagangan, dan investasi di Timur Tengah. Nyaris kedua dokumen tidak menyebutkan kerja sama keamanan.

Hal tersebut didasarkan pada visi kebijakan regional China, yakni prinsip non-interference (ini doktrin kebijakan luar negeri China, Five Principles of Peaceful Coexistence, yang dirumuskan PM Zhou Enlai tahun 1953) dan non-alignment. Prinsip tersebut mencegah China terlibat dalam konflik regional (Ceren Ergenç, International Institute for Asian Studies, 2018). Kedua prinsip itulah yang membuat negara-negara Timur Tengah tertarik pada uluran tangan China.

Prinsip non-interference adalah salah satu pedoman kebijakan luar negeri dan keamanan tradisional China di Timur Tengah. Secara tradisional, kebijakan China terhadap kawasan tersebut, sebagaimana terhadap semua kawasan lain di dunia, didasarkan pada prinsip tersebut dalam urusan internal negara berdaulat lainnya.

Dunia Multipolar

Maka, diplomasi mediasi (tidak mencampuri) menjadi salah satu pilar utama tujuan dan praktik kebijakan luar negeri China. Dalam hal ini, Beijing sengaja memosisikan dirinya sebagai pendorong perdamaian dalam konflik dan krisis Timur Tengah (Suriah, Yaman, Iran, Qatar, dan Israel- proses perdamaian Palestina).

Selain itu, Beijing berupaya memainkan peran yang lebih konstruktif dalam penyelesaian konflik di Timur Tengah (krisis nuklir Iran dan perang Suriah) dengan memperkuat kerja sama bilateral dan multilateral dengan kekuatan besar dan organisasi regional lainnya (China Report 55, 2019).

Baca juga: China Ingin Arab Saudi dan Iran Bisa Selesaikan Masalah

Peran mediasi inilah yang dimainkan China dengan memosisikan dirinya sebagai “mediator yang beritikad baik dan andal”, sebagai pengganti “perantara jujur” AS (Le Monde, 14 Maret 2023). Dengan peran tersebut, China menggandeng Arab Saudi dan Iran untuk duduk bersama, dan membuat kesepakatan untuk memulihkan hubungan diplomatik mereka.

Baik Arab Saudi maupun Iran, merasa nyaman karena China mendefinisikan hubungannya dengan negara-negara Timur Tengah dengan tiga konsep dasar: proyeksi kedaulatan, hak untuk melindungi kedaulatan, dan tidak mencampuri urusan dalam negeri mereka.

Sikap inilah yang menempatkan China lebih memiliki banyak keuntungan dibanding AS. Karena China mempertahankan hubungan baiknya dengan dua kekuatan besar di Timur Tengah —Arab Saudi dan Iran— sehingga dengan demikian kebutuhan minyaknya aman.

Timur Tengah adalah pemasok minyak dan gas hampir setengah dari seluruh kebutuhan China. Kawasan ini menyumbang hampir setengah dari impor minyak China.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com