Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita WNI Jual Makanan Indonesia di Warung Mobil Jerman, Sedia Mi Ayam hingga Batagor

Kompas.com - 05/11/2022, 21:03 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Penulis: Ayu Purwaningsih/DW Indonesia

FRANKFURT, KOMPAS.com - Awal mulanya, setiap liburan di Jakarta, Eva Hertl bersama suami sering nongkrong di belakang Plaza Indonesia, Jakarta, jajan di pinggir jalan.

"Di sana ada makanan-makanan di Jalan Kebon Kacang. Semuanya lengkap. Saya ajak suami, enak-enak (makanannya)," papar Eva Herti.

Saat sedang duduk di sana, sang suami yang berprofesi sebagai pengacara di Jerman berpikir, "Sayang ya di Jerman tidak ada makanan seperti ini, duduk di pinggir jalan sambil makan makanan. Semuanya ada. Kalau ada di Jerman, pasti seru. Banyak yang suka!” ujarnya.

Baca juga: Cerita WNI Jadi Insinyur SpaceX: Kuliah di MIT, Magang di NASA, Kini Kerja di Perusahaan Elon Musk

Lalu mereka berpikir, mengapa di Jerman tak ada yang berjualan makanan Indonesia di pinggir jalan, padahal banyak orang Indonesia yang pintar masak di Jerman.

"Ya mungkin karena banyak aturan-aturannya ya, bukan karena malas, jadi saya rasa, mungkin terbayang ‘ribetnya‘. Jadi akhirnya, saya yang terjun langsung untuk (membuat) warung makanan pinggir jalan Indonesia," ujar Eva Hertl yang bermukim di Kota Frankfurt, Jerman.

Dan dimulailah ‘keribetan‘ itu. Bersama suami, ia mengajukan permohonan membuat izin usaha kecil ke pemerinta kota setempat.

Pertama-tama mereka harus mengajukan permohonan memiliki Gewerbeschein atau izin usaha kecil. "Terserah mau di bidang makanan, atau kue, bar kecil, kita bisa buka izin usaha kecil, disebutnya Gewerbeschein," papar Eva.

Lalu langkah kedua karena berjualan di atas roda empat yang berkeliling dari satu tenpat ke tenpat lain, seperti truk makanan, maka si pengusaha juga wajib mempunyai Reisegewerbe, tambah Eva.

"Reisegewerbe itu izin usaha untuk berpindah pindah. Mau memakai truk atau memakai tenda, berpindah tempat itu kita wajib mempunyai izin Reisegewerbe."

Setelah punya kedua surat izin itu, mereka juga melapor ke Gesundheitsamt atau kantor kesehatan pemerintah. Fungsinya adalah untuk pengecekan kebersihan dapur.

"Jadi, mereka cek langsung dapur higienisnya, yang kita pakai untuk pengolahan makanan, juga di truk kami, mereka cek langsung," imbuh Eva yang juga harus mengikuti jam kursus sehubungan dengan usaha yang akan dijalaninya.

"Lalu untuk higienisnya, kita tidak boleh memasak di rumah untuk buka usaha makanan pinggir jalan di Jerman. Jadi, saya diwajibkan mempunyai dapur higienis untuk penyimpanan barang setelah pembelian dari supermarket. Lalu, pengolahan saya lakukan di truk. Tapi, persiapannya saya buat di dapur, pemotongan, pembersihan, bumbu-bumbu yang disiapkan. Lalu semua saya bawa di truk makanan.”

Baca juga: Cerita WNI Asal Semarang Promosikan Mandi Kembang di Amerika, Tiap Minggu Produksi 150 Sabun

Cek ombak dulu

Sebelum resmi berjualan, Eva melakukan "cek ombak". Dia membuat beberapa makanan, membagikannya ke kawan-kawan Jerman, untuk bisa mengetahui apa yang disukai dan makanan apa yang cocok untuk di lidah Jerman.

Biaya yang dikeluarkannya paling banyak adalah dalam memesan truk yang dimodifikasi untuk berjualan, aku Eva.

"Seperti truk yang saya punya, untuk komplet di dalamnya ada panggangan untuk membuat sate, kompor untuk memasak, lalu penggorengan untuk menggoreng-goreng semua makanan ringannya. Komplet semua sampai pendingin dan pemanas makanan, semua biayanya kurang lebih 65.000 euro,” tandas Eva.

Diawali dengan dagang di tenda dulu tahun 2018, warung Eva lalu menggunakan truk di tahun 2020, namun "terhantam" pandemi Covid-19, di mana kadang-kadang tak boleh berjualan karena aturan lockdown.

Tahun 2021, Eva mulai bangkit lagi berjualan dengan aturan jaga jarak dan pendataan konsumen secara ketat. Perlahan tapi pasti, usaha Eva kembal menggeliat. Pengunjung pun makin ramai.

Eva Hertl, pengusaha makanan di Frankfurt berrsama suami.DOK EVA HERTI via DW INDONESIA Eva Hertl, pengusaha makanan di Frankfurt berrsama suami.
Ajang sosialisasi bahasa Indonesia

Warung berjalan Eva menawarkan beragam masakan, mulai dari sate ayam, batagor hingga mie ayam.

"Sate ayam, sangat digemari oleh orang-orang Jerman. Lalu, sekarang vegan itu hits sekali di Jerman, jadi banyak pelanggan kita yang vegan, jadi saya sediakan gado-gado. Gado-gadonya tanpa telur. Mereka suka makannya pakai sambal kacang. Mereka selalu minta tambahan sambal kacang. Saya buat batagor, tapi vegan juga ya. Batagornya vegan, mereka juga suka sekali," papar Eva.

Lumpia dibanderol dengan harga 5 euro atau Rp 75.000 seporsi, batagor 8 euro atau Rp 120.000 rupiah sepiring, gado-gado 9 euro atau sekitar Rp 134.000 rupiah, mi ayam bakso 10 euro atau sekitar Rp 150.000 semangkuk, demikian pula harga sate ayam.

Nasi rendang harganya 11 euro atau Rp 164.000 rupiah per porsi. Sementara gabungan cemilan yang terdiri dari beberapa bakwan sayur, tempe mendoan, dan lumpia harganya sekitar Rp 164.000 rupiah juga sebaki.

Baca juga: Cerita WNI Wisata Vaksin ke AS: Bisa Pilih Vaksin, Tidak Perlu Booking dan Tanpa Antre

"Pertama kali mengenalkan rendang, mereka selalu berpikir, oh, ini kan seperti goulash, saya jawab ini berbeda, kami pakai kelapa, santan. Lalu, saat mereka coba, karena bentuknya, warnanya, memang tidak terlalu menarik, saya hiasi juga di piring, pakai sayuran selada."

"Jadi, ada daya tarik warna-warni di dalam mangkok atau piring yang saya sajikan. Jadi, saat mereka coba rendang, kembali lagi, datang lagi, beli lagi," kata Eva menceritakan pengalamannnya.

Selama berjualan, Eva juga sering bertanya pada pelanggan, "Enak tidak masakannya?” Pelanggan biasanya menjawab" Ah, sehr gut! Sehr lecker! (ed: sangat enak)."

Eva dan timnya mengajarkan kata "enak" dan "terima kasih". "Jadi kami juga biasakan ada sedikit percakapan dalam bahasa Indonesianya. Misalnya: sampai jumpa, mereka juga tahu kata-kata itu," ujar Eva.

"Tapi yang paling lucu, mereka datang ke truk, lalu bilang: Halo, selamat pagi! Saya lapar! Atau: Halo, selamat malam! Ada makanan apa?”, pelanggan akrab jadinya sama kita-kita di truk makanan," tambah Eva.

Thomas Helmer yang pernah mencoba masakan di truk makanan ini bercerita, dia suka sekali sate ayam yang dibelinya. "Tidak terlalu pedas, dan bumbu kacangnya terasa enak di lidah. Batagor juga enak, tapi kurang banyak," kata pegawai museum warga Frankfurt ini sambil tertawa.

Sementara Eni Latief, perempuan asal Indonesia yang juga tinggal di Frankfurt, kadang membeli makanan di warung mobil Eva, jika tak sempat memasak di rumah.

"Saya tak punya pembantu, sedangkan saya sendiri bekerja, jadi kadang beli makanan di luar. Saya seringnya beli sate ayam, enak, seperti jajan rasanya. Nostalgia semasa tinggal di Jakarta,” pungkasnya.

Baca juga: Cerita WNI jadi Atlet Anggar dan Kuliah di Jerman

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Jajan Makanan Indonesia di Warung Mobil di Jerman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com