LAWATAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ukraina dan Rusia telah berlalu berberapa pekan lalu.
Namun, sepertinya tak banyak yang peduli dengan pesan dan makna di balik lawatan heroik Presiden Jokowi ke dua negara yang sedang berperang dengan penuh keberingasan itu.
Masyarakat internasional, misalnya, tampak kurang antusias terhadap lawatan Presiden RI ketujuh tersebut.
Para pemimpin Eropa Barat dan Amerika Utara bersekutu dalam NATO yang secara politis berada di belakang Ukraina enggan berkomentar.
Mereka seakan menyepelekan, bahkan menutup mata terhadap niat tulus Presiden Jokowi mencari solusi damai bagi Ukraina dan Rusia.
Sikap menutup mata NATO tercermin dari liputan media global. Media Jerman, Deutsche Welle misalnya, mengakui bahwa perang Ukraian dan Rusia berdampak bagi sekitar 345 juta orang di 82 negara dan berpotensi menimbulkan krisis pangan akut karena melonjaknya harga pangan, bahan bakar dan pupuk.
Sementara media global lainnya, Aljazeera mengatakan perjalanan pemimpin Indonesia tidak lepas dari KTT G20 dan masalah ekonomi yang akan menjadi agendanya.
Jadi, negara-negara Barat cenderung mempersempit misi lawatan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia sebagai upaya untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia saja.
Lalu, mengapa dan untuk tujuan apa Presiden Jokowi melawat Ukraina dan Rusia yang sedang berperang?
Jawabannya, tentu saja ada pada Konstitusi atau Undang-Undang Dasar1945. Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4, disebutkan: (Pemerintah Negara Republik Indinesia dibentuk untuk) “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Berdasarkan amanat Komistusi 1945 tersebut, atas nama bangsa dan seluruh warga Republik Indonesia, Presiden Jokowi merasa wajib dan berhak untuk melawat Ukraina dan Rusia.
Presiden Jokowi sendiri menegaskan, "Konstitusi Indonesia mengamanatkan agar Indonesia selalu berusaha berkontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia. Dalam konteks inilah, saya melakukan kunjungan ke Kiev dan ke Moskow.”
Melalui lawatan tersebut, Kepala Negara ingin memberikan pesan yang sangat kuat, baik kepada masyarakat internasional maupun masyarakat dalam negeri, bahwa Indonesia menganut sistem politik luar negeri yang bebas-aktif.
Bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh negara mana pun. Bebas juga berarti netral, tidak memihak NATO atau pun Rusia dan sekutunya.