Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Putin, Ukraina, dan Buffer Zone

Kompas.com - 27/02/2022, 15:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NARASI Presiden Rusia, Vladimir Vladimirovich Putin saat memerintahkan pasukannya memasuki kawasan Ukraina, terutama Donbass dan Luhansk, adalah misi pembebasan.

Bukan tanpa preseden. Putin mendukung independensi Ossetia dan Abkhazia Selatan tahun 2008 dari Georgia setelah Bush Yunior dan NATO mengindikasikan bahwa Ukraina dan Georgia sedang menapaki jalan menjadi anggota NATO.

Namun bagi Georgia, Ossetia dan Abkhazia Selatan adalah separatisme alias pemberontak. Karena itu, Georgia mengirim pasukannya ke Abkhazia Selatan untuk menumpasnya.

Namun, Putin yang sedari awal telah menyatakan dukungan atas kemerdekaan kedua daerah tersebut segera mengirimkan bantuan militer.

Pasukan Rusia memukul mundur pasukan Georgia, menduduki Ibu Kota Abkhazia Selatan, lalu merangsek sekira 30 km menjelang Tbilisi, Ibu Kota Georgia, sebelum diplomasi jalur belakang Medeleine Albright dan Uni Eropa berhasil menghentikannya.

Hal yang persis sama dilakukan oleh Putin setelah Maidan Revolution tahun 2014 di Ukraina.

Penolakan publik atas pilihan Viktor Yanukovych yang lebih memilih Moskow ketimbang Uni Eropa membuahkan pergantian kekuasaan secara dadakan di negara itu.

Dihadang demonstrasi besar-besaran, Yanukovych yang notabene pro-Rusia tak berdaya dan memutuskan pergi meninggalkan Kyiv begitu saja menuju Moskow.

Tak lama berselang, Putin menginvasi Crimea untuk mengamankan akses angkatan laut Rusia atas Laut Hitam, lalu dengan berbagai strategi mendestabilisasi beberapa daerah Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia, yakni Donetsk, Donbass, dan Luhansk.

Ketiga daerah tersebut secara strategis setara dengan Ossetia dan Abkhazia Selatan di Georgia.

Atau dalam bahasa perang dingin, daerah-daerah tersebut bagi Putin adalah Iron Curtain alias Buffer Zone.

Tbilisi, Ibu Kota Georgia dan Kyiv Ibu Kota Ukraina, yang notabene pernah menjadi bagian dari Uni Soviet dan menjadi dua ibu kota negara penting yang belum bergabung dengan NATO di samping Belarus, sudah sedari awal memperlihatkan kecenderungan pro-Barat.

Artinya bagi Putin, secara geopolitik dan ideologis, mereka adalah lawan tanding Moskow di satu sisi dan ancaman kedaulatan Rusia di sisi lain.

Untuk itu, Rusia harus menciptakan pembatas, biasanya berupa negara kecil baru yang hanya mendapat pengakuan dari patronnya dan cenderung kurang stabil agar cocok dijadikan tameng utama Rusia dari invasi Barat (NATO).

Target inilah yang ingin dicapai oleh Putin saat ini, menjadikan Donbass dan Luhansk sebagai negara kecil baru yang hanya diakui oleh Kremlin dan sekondan-sekondannya, serta sekaligus menjadi buffer zone antara NATO dan Rusia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com