NARASI Presiden Rusia, Vladimir Vladimirovich Putin saat memerintahkan pasukannya memasuki kawasan Ukraina, terutama Donbass dan Luhansk, adalah misi pembebasan.
Bukan tanpa preseden. Putin mendukung independensi Ossetia dan Abkhazia Selatan tahun 2008 dari Georgia setelah Bush Yunior dan NATO mengindikasikan bahwa Ukraina dan Georgia sedang menapaki jalan menjadi anggota NATO.
Namun bagi Georgia, Ossetia dan Abkhazia Selatan adalah separatisme alias pemberontak. Karena itu, Georgia mengirim pasukannya ke Abkhazia Selatan untuk menumpasnya.
Namun, Putin yang sedari awal telah menyatakan dukungan atas kemerdekaan kedua daerah tersebut segera mengirimkan bantuan militer.
Pasukan Rusia memukul mundur pasukan Georgia, menduduki Ibu Kota Abkhazia Selatan, lalu merangsek sekira 30 km menjelang Tbilisi, Ibu Kota Georgia, sebelum diplomasi jalur belakang Medeleine Albright dan Uni Eropa berhasil menghentikannya.
Hal yang persis sama dilakukan oleh Putin setelah Maidan Revolution tahun 2014 di Ukraina.
Penolakan publik atas pilihan Viktor Yanukovych yang lebih memilih Moskow ketimbang Uni Eropa membuahkan pergantian kekuasaan secara dadakan di negara itu.
Dihadang demonstrasi besar-besaran, Yanukovych yang notabene pro-Rusia tak berdaya dan memutuskan pergi meninggalkan Kyiv begitu saja menuju Moskow.
Tak lama berselang, Putin menginvasi Crimea untuk mengamankan akses angkatan laut Rusia atas Laut Hitam, lalu dengan berbagai strategi mendestabilisasi beberapa daerah Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia, yakni Donetsk, Donbass, dan Luhansk.
Ketiga daerah tersebut secara strategis setara dengan Ossetia dan Abkhazia Selatan di Georgia.
Atau dalam bahasa perang dingin, daerah-daerah tersebut bagi Putin adalah Iron Curtain alias Buffer Zone.
Tbilisi, Ibu Kota Georgia dan Kyiv Ibu Kota Ukraina, yang notabene pernah menjadi bagian dari Uni Soviet dan menjadi dua ibu kota negara penting yang belum bergabung dengan NATO di samping Belarus, sudah sedari awal memperlihatkan kecenderungan pro-Barat.
Artinya bagi Putin, secara geopolitik dan ideologis, mereka adalah lawan tanding Moskow di satu sisi dan ancaman kedaulatan Rusia di sisi lain.
Untuk itu, Rusia harus menciptakan pembatas, biasanya berupa negara kecil baru yang hanya mendapat pengakuan dari patronnya dan cenderung kurang stabil agar cocok dijadikan tameng utama Rusia dari invasi Barat (NATO).
Target inilah yang ingin dicapai oleh Putin saat ini, menjadikan Donbass dan Luhansk sebagai negara kecil baru yang hanya diakui oleh Kremlin dan sekondan-sekondannya, serta sekaligus menjadi buffer zone antara NATO dan Rusia.
Logika Putin tak berbeda jauh dengan logika yang dipakai Barat dan Amerika dalam mendukung kedaulatan Israel, tapi mengabaikan masa depan kedaulatan Palestina.
Karena bagaimanapun, Palestina bagi Israel adalah Iron Curtain dan buffer zone terhadap potensi ancaman dari dunia Arab.
Pun tak berbeda dengan Kashmir, Arunachal Pradesh dan Tibet maupun Korea Utara.
Kashmir menjadi buffer zone yang akan menghentikan, atau setidaknya memperlambat pergerakan militer India ke tanah Pakistan jika kedua negara tersebut bersitegang.
Arunachal Pradesh dan beberapa daerah di Himalaya, termasuk Tibet, adalah buffer zone yang membatasi China dan India.
Sementara Korut pada awalnya dijadikan tameng oleh Moskow atas sekutu yang sudah menguasai Korea Selatan.
Dan saat ini, Beijing menggantikan Moskow sebagai patron Pyongyang, mengingat Korea Utara juga berbatasan langsung dengan China.
Tak terkecuali Xinjiang di China yang juga cenderung kurang stabil, adalah buffer zone antara China dan Rusia.
Pun di Pasifik, Laut Cina Selatan (South China Sea), Laut Cina Timur (East China Sea), termasuk Taiwan, juga ada dalam logika yang mirip dengan itu menjadi pembatas dua kekuatan besar, yakni China dan Amerika Serikat di kawasan Pasifik.
Lalu Senkaku Island menjadi buffer zone antara China dan Jepang, serta Kuril Island menjadi buffer zone antara Rusia dan Jepang.
Tak menutup kemungkinan, apa yang terjadi di Papua dan boleh jadi juga di Timor Timur, mengandung sebagian logika buffer zone tersebut, meskipun tidak terkait langsung dengan dua pertemuan negara besar (great power), tapi lebih kepada logika kepastian jaminan keamanan dari pihak-pihak tertentu untuk pihak-pihak tertentu.
Karena dengan terjaganya ketidakstabilan (consistent instability) di Papua, misalnya, maka akan selalu ada alasan untuk mengetatkan sistem pertahanan dan keamanan di sana secara permanen.
Di satu sisi, penggunaan logika tersebut otomatis akan memberikan jaminan keamanan kepada pihak-pihak tertentu di Papua.
Dan di sisi lain, juga memberikan ruang bergerak dan beroperasi secara permanen bagi pihak-pihak tertentu lainnya yang berkepentingan dengan eksistensi pengetatan pertahanan dan keamanan di sana.
Dengan kata lain, pada kasus Papua, logika buffer zone diterapkan oleh aktor non negara untuk tujuan tertentu. Boleh jadi demikian, walaupun baru berupa asumsi dan hipotesa awal saya saja.
Nah, logika konfliktual di semua daerah tersebut bisa secara umum dikembalikan kepada logika awalnya di masa perang dingin masa lampau, yakni logika Tembok Berlin yang menjadi Iron Curtain antara Jerman Barat dan Jerman Timur, alias antara Sekutu dan Moskow.
Bagi saya, tak ada keraguan untuk menilai bahwa yang dilakukan Vladimir Putin di Ukraina juga berada dalam logika sama dengan yang dilakukannya di Georgia tahun 2008 dan dengan apa yang dilakukan oleh pemimpin masa awal Uni Soviet Nikita Khrushchev atas tembok Berlin.
Jadi pendeknya, gagalnya diplomasi antara Barat (NATO, Uni Eropa, dan Amerika Serikat) dengan Moskow mengokohkan perbedaan di antara kedua belah pihak di Ukraina, baik dari sisi ideologis, kepentingan geopolitik dan geoekonomi, pun perbedaan sistem ketatanegaraan di satu sisi dan meningkatkan permusuhan serta kecurigaan antara kedua belah pihak di sisi lain.
Karena itu, baik menurut Putin maupun menurut para penganut teori realisme hubungan internasional, buffer zone tidak bisa tidak adalah imbasnya.
Sudah menjadi logika umum dalam politik internasional bahwa Great Power tidak suka melihat Great Power lainnya wara-wiri di halaman belakangya.
Dan itulah yang sedang dilakukan Putin saat ini atas Donbass dan Luhansk di Ukraina, agar NATO tidak wara-wiri di halaman belakang Rusia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.