Ritual seputar kehilangan dan kesedihan adalah bagian penting dalam proses berkabung.
Namun di tengah pandemi Covid-19, pembatasan dan jarak sosial menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan prosesi pemakaman.
Baik dengan adanya pandemi atau bukan, tradisi moirologi di Semenanjung Mani kian memudar.
Banyak perempuan yang difoto oleh Sakellaraki telah nyaris berusia 100 tahun. Perempuan dari generasi yang lebih muda tampaknya tidak tertarik untuk menggantikan mereka.
Baca juga: AS Yakin Al-Qaeda di Ambang Kematian Setelah Perang 20 Tahun
Asal mula moirologi bisa ditelusuri dari adanya paduan suara dalam tragedi Yunani kuno, ketika penyanyi utama mulai berkabung dan paduan suara akan bergabung dengannya.
Selama berabad-abad, profesi tersebut menjadi eksklusif dijalani oleh perempuan.
Profesi penyanyi pemakaman juga dapat ditemukan di era Mesir Kuno, terdapat bukti di mana 2 perempuan yang berperan sebagai dewi Isis dan Nephtys membantu mempersiapkan orang yang baru saja meninggal.
Pelayat ataupun penyanyi duka profesional juga masih dapat ditemui di berbagai belahan dunia.
Pekerjaan mereka bervariasi, tergantung pada konteks budaya setempat. Mereka pada dasarnya adalah pendongeng yang merangkai potongan-potongan kisah dari jalinan kehidupan seseorang.
Di Jerman, ada pembicara profesional dalam prosesi pemakaman yang disebut Trauerredner.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan