Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kesalahan Putin dalam Perang Rusia-Ukraina

Data dari situs globalfirepower.com tahun 2022 menunjukkan, kekuatan militer Ukraina berada jauh di bawah Rusia. Dari total 142 negara, kekuatan militer Ukraina hanya menempati peringkat ke-22, sangat jauh dari Rusia yang berada di peringkat ke-2 terbesar dunia.

Jumlah personel militer Rusia bahkan lebih dari tiga kali total jumlah personel militer Ukraina.

Perbedaan kekuatan yang sangat signifikan juga terlihat dari segi jumlah alutsista yang dimiliki kedua negara.

Rusia juga memiliki keunggulan yang signifikan dari segi finansial dan sumber daya. Anggaran pertahanan Rusia mencapai 154 miliar dollar AS, sedangkan Ukraina hanya memiliki anggaran pertahanan sebesar 11,87 miliar dollar. Jumlah itu bahkan tidak sampai sepersepuluh total dari anggaran pertahanan Rusia.

Ukraina menunjukkan kegigihan, Rusia kewalahan

Hal itu tentunya membuat banyak pihak awalnya berspekulasi bahwa Rusia akan dengan sangat mudah menghancurkan atau bahkan mencaplok wilayah Ukraina.

Putin tentunya memiliki berbagai opsi agar operasi militer yang dijalankannya dapat berlangsung dengan cepat dan tanpa banyak kendala.

Namun, semenjak serangan pertamanya pada 24 Februari 2022, wilayah Ukraina ternyata tetap bertahan. Invasi yang awalnya diramalkan akan berlangsung dengan cepat, nyatanya sudah hampir tujuh bulan berlangsung dan tampaknya membuat Rusia mulai kewalahan.

Beberapa hari setelah serangan pertamanya, pasukan Rusia melancarkan operasi militer untuk merebut lapangan terbang Chornobaivka dekat wilayah Kherson pada 27 Februari 2022. Kherson merupakan kota Ukraina pertama yang berhasil diduduki Rusia.

Akan tetapi, pendudukan tersebut tidak berlangsung lama. Di hari yang sama saat Rusia berhasil mengambil alih lapangan terbang tersebut, pasukan Ukraina mulai melakukan serangan balik dengan drone bersenjata dan menyerang helikopter yang terbang membawa pasokan logistik dari Krimea.

Akibat dari serangan balik itu, militer Ukraina dilaporkan telah menghancurkan 30 armada helikopter militer Rusia. Sekitar seminggu kemudian, pasukan Ukraina menghancurkan tujuh helikopter lainnya.

Pada 2 Mei 2022, Ukraina telah melakukan 18 serangan terpisah di lapangan terbang tersebut, yang menurut mereka, telah menghancurkan tidak hanya puluhan helikopter, tetapi juga depot senjata dan amunisi. Dua jenderal dan banyak personel batalion Rusia tewas di lokasi itu.

Namun anehnya, pasukan Rusia terus mengirimkan peralatan serta pasokan logistik lainnya dengan helikopter ke lapangan terbang tersebut. Rusia seperti tidak memiliki strategi alternatif untuk mrebut kembali dan mengamankan fasilitas strategis itu dan hanya berpegangan pada perintah komando atasnya saja.

Tentunya, hal itu membawa malapetaka bagi personel Rusia yang bertugas di area tersebut.

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky mengeklaim, pertempuran Chornobaivka merupakan simbol tidak kompetennya para komandan militer Rusia, yang justru membiarkan kondisi tersebut layaknya membunuh tentaranya sendiri.

Meskipun pasukan Ukraina secara konsisten kalah dari segi persenjataan, mereka berhasil menggunakan inisiatifnya demi meraih keunggulan di medan perang. Hal semacam ini ternyata juga banyak terjadi pada minggu-minggu awal serangan Rusia di berbagai wilayah.

Sayangnya, Rusia seringkali melakukan kesalahan yang sama, serta kerap kali gagal mengubah taktik mereka.

Hal itu menunjukkan adanya rantai komando yang kaku di tubuh militer Rusia dan justru membuat kemampuan tempurnya, yang seharusnya lebih baik dibanding Ukraina, tidak dapat optimal.

Hal yang sama juga terjadi di Bandara Hostomel yang berlokasi dekat dengan Kyiv. Pasukan terjun payung elite yang telah dikirim Rusia untuk mengambil alih bandara dan mengamankan pesawat angkut yang masuk ke wilayah tersebut langsung mendapat serangan balik pasukan Ukraina.

Meskipun awalnya berhasil diambil alih, kemampuan pasukan Ukraina untuk melakukan serangan balik secara cepat membuat Rusia tidak dapat bertahan dalam waktu lama.

Di wilayah lain, tank-tank kelas berat Rusia justru berhasil disabotase pasukan Ukraina saat malam hari, dan membuat pasukan Rusia terjebak di area jalanan terbuka. Hal ini tentu membuat pasukan Rusia, yang tanpa kendaraan lapis baja apapun dan terjebak dalam situasi medan perang terbuka, menjadi sasaran empuk.

Pasukan Ukraina dilaporkan sukses melakukan strategi serupa di berbagai wilayah terhadap tank maupun kendaraan tempur Rusia lainnya.

Fenomena itu menunjukkan bahwa kekuatan militer tidak hanya soal kecanggihan senjata dan kemampuan tempur personelnya, tetapi juga memperhitungkan efektivitas strategi, kapabilitas musuh, serta kontribusi pihak lain yang bersifat eksternal.

Menjaga moral prajurit juga menjadi faktor penting dalam setiap peperangan. Perang tentu membutuhkan biaya, maka kemampuan ekonomi serta ketahanan suplai logistik seiring berjalannya konflik juga perlu untuk diperhatikan.

Namun untuk mendukung segala faktor tersebut, kekuatan militer juga bergantung pada rantai komando yang efektif, termasuk yang datangnya dari pemimpin politik sebagai panglima tertinggi angkatan perang suatu negara.

Dalam hal ini, Putin yang notabene selalu berhati-hati dalam menyusun strategi serta memiliki pengalaman dalam berbagai pengambilan keputusan di masa-masa konflik, justru terlihat tidak berhasil dalam kasus Ukraina.

Informasi terkini, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyampaikan bahwa Putin bersedia mengakhiri konflik di Ukraina sesegera mungkin. Erdogan menyampaikan hal itu  dalam sebuah wawancara kepada PBS pada Senin, 19 September 2022.

Hal itu juga dilakukan untuk mencari penjelasan mengapa Rusia, salah satu negara dengan kekuatan angkatan bersenjata terbesar di dunia, justru gagal dalam menghadapi konflik bersenjata dengan negara yang kekuatan militernya relatif kecil.

Lawrence Freedman, profesor di bidang studi perang dari King’s College London, mengungkapkan dalam artikelnya di Foreign Affairs berjudul "Why Wars Fail: Russia’s Invasion of Ukraine and the Limits of Military Power" bahwa perang yang sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor kuantitatif, tetapi juga kualitatif.

Dalam hal ini, Ukraina terbilang memiliki taktik perang yang lebih baik, serta dikombinasikan dengan struktur rantai komando yang efektif dari pimpinan politik tertinggi hingga komandan-komandannya di lapangan.

Sementara Rusia dikatakan memiliki kegagalan dalam rantai komando yang cenderung kaku, sehingga komandan-komandannya tidak dapat melakukan inisiatif secara efektif di tengah dinamika medan perang.

Kesalahan Rusia kali ini merupakan manifestasi dari tipikal kepemimpinan otokratis Putin, yang secara sepenuhnya memercayai propaganda kuatnya kekuatan militer negaranya sendiri tanpa memperhitungkan segala aspek peperangan secara menyeluruh.

Konflik yang dihadapi Rusia saat ini tidak seperti apa yang dihadapinya di masa lalu seperti di Chechnya, Georgia, maupun Suriah. Kekakuan rantai komando akibat kepemimpinan yang otoriter dapat menyebabkan pergerakan pasukan tidak dinamis sesuai dengan perkembangan perang di lapangan.

Pendelegasian otoritas kepemimpinan pasukan secara efektif kepada para komandan di lapangan merupakan kunci penting bagi Ukraina dalam keberhasilannya memukul mundur pasukan Rusia.

Namun menurut Freedman, hal tersebut hanya dapat terjadi bila empat prasyarat utama terpenuhi. Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi antara hubungan atasan atau senior dengan pimpinan bawah atau juniornya.

Kedua, terjaganya akses peralatan, senjata, maupun dukungan logistik kepada pasukan di lapangan selama konflik berlangsung.

Ketiga, adanya kapabilitas kepemimpinan yang tinggi di level pimpinan bawah atau junior. Terakhir, adanya komitmen yang tinggi untuk meraih keberhasilan misi serta pemahaman akan tujuan politiknya.

Prasyarat terakhir yang dikemukakan Freedman tercermin dari motivasi militer Ukraina yang ingin merdeka sehingga memiliki moral yang tinggi, sedangkan lawannya cenderung menemukan fakta yang berbeda di lapangan, di mana orang-orang Ukraina merasa tidak ingin dibela ataupun dibebaskan oleh pasukan Rusia.

Hal itu tentu membuat moral pasukan Rusia tidak setinggi Ukraina. Maka dari itu, sudah selayaknya Putin mulai melakukan penarikan pasukan dan menghentikan segala bentuk serangannya, agar perang yang cenderung tidak efektif bagi Rusia saat ini tidak semakin panjang.

Mudah bagi suatu negara untuk memulai perang. Namun menjadi tidak mudah untuk menghentikannya apabila dampak sosial yang ditimbulkannya makin terpupuk di benak berbagai pihak dalam waktu yang lama.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh mantan Senator Amerika Serikat, Hiram Johnson, bahwa sebenarnya korban pertama dari perang adalah kebenaran. Makin lama perang berlangsung, maka kebenaran akan semakin subyektif.

Perang dalam waktu yang lama, bila tidak disiasati dengan efektif, juga akan membebani sektor ekonomi suatu negara.

Perang Rusia-Ukraina sebenarnya juga dapat menjadi contoh bagi semua negara untuk menghidari konflik bersenjata, karena dampak sosial ekonominya yang tidak kecil dan dapat menimbulkan bencana kemanusiaan.

https://www.kompas.com/global/read/2022/09/21/184624970/kesalahan-putin-dalam-perang-rusia-ukraina

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke