Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menilik Kebijakan Senjata Api di Negara-negara Maju dan Efektivitasnya

KOMPAS.com - Pembunuhan mantan perdana menteri Jepang Shinzo Abe adalah insiden terbaru terkait kekerasan senjata api yang menjadi sorotan dunia internasional.

Selain karena sosok populer Abe di kancah internasional, insiden ini mengejutkan dunia mengingat Jepang terkenal memiliki peraturan senjata api yang ketat dan tingkat kekerasan senjata api yang rendah.

Negara-negara lain dengan undang-undang senjata api yang ketat juga mengalami insiden kekerasan terkait senjata baru-baru ini. DW dalam laporannya menilik kebijakan terkait senjata api di negara-negara maju berikut ini:

Jepang

Jepang memiliki beberapa peraturan paling ketat di dunia tentang kepemilikan senjata pribadi. 

Selain polisi dan militer, tidak ada yang boleh memiliki pistol. Hanya senapan dan senapan angin yang tersedia untuk warga sipil.

Calon pemilik senjata api harus mengikuti kelas wajib sepanjang hari dan lulus tes tertulis dan tes jarak tembak dengan akurasi minimal 95 persen.

Pelamar harus menjalani evaluasi kesehatan mental dan pemeriksaan latar belakang polisi, termasuk kerabatnya. Itu untuk memastikan bahwa pemohon dan lingkungan terdekatnya tidak memiliki catatan kriminal. Lisensi ini berlaku selama tiga tahun.

Pemilik harus mengikuti kembali kelas dan ujian setiap tiga tahun untuk memperbarui lisensi. Senjata api harus didaftarkan dan diperiksa oleh polisi setahun sekali.

Jepang terakhir menyaksikan penembakan seorang politisi pada 2007. Ketika itu Iccho Itoh, Wali Kota Nagasaki, ditembak dan terbunuh oleh seorang anggota yakuza. Jepang setelah itu memperketat pembatasan dan menaikkan hukuman karena memiliki senjata api secara ilegal.

Kekerasan senjata api sangat jarang terjadi di Jepang. Menurut Kepolisian Nasional, hanya ada 10 penembakan pada 2021. Sebagai perbandingan, di AS sekitar 321 orang ditembak setiap hari, dan 111 di antaranya meninggal, menurut Brady Campaign to Prevent Gun Violence.

Denmark

Insiden penembakan massal terakhir di Denmark terjadi pada 3 Juli 2022. Tiga orang tewas dan empat lainnya terluka, setelah seorang pria melepaskan tembakan di pusat perbelanjaan Field Kopenhagen.

GunPolicy.org, database internasional yang dijalankan oleh University of Sydney, mengkategorikan peraturan senjata di negara Skandinavia sebagai "terbatas." Perkiraan tingkat kepemilikan senjata pribadi di negara ini hanya 9,9 senjata api per 100 orang pada 2017.

Denmark hanya memiliki tiga penembakan massal sejak 1994, sedangkan AS memiliki lebih dari 300 insiden penembakan massal pada 2022.

Senjata api di Denmark diatur oleh Kementerian Kehakiman. Warga sipil tidak dapat memiliki senjata api otomatis penuh; senjata semi otomatis dan pistol (pistol dan revolver) hanya diperbolehkan dengan izin khusus.

Pembeli senjata api harus memberikan alasan seperti hobby, berburu atau menembak sasaran. Pemeriksaan latar belakang juga dilakukan polisi untuk memastikan keamanan sebelum pemberian izin.

Catatan setiap kepemilikan, dan transfer senjata api milik pribadi disimpan dalam daftar resmi. 

Selandia Baru

Seorang pria bersenjata supremasi kulit putih menewaskan 51 orang dan melukai sedikitnya 40 lainnya pada 2019 di Christchurch.

Pemerintah Selandia Baru mengambil tindakan dalam waktu satu bulan, memperkenalkan larangan nasional pada senjata semi-otomatis dan senapan serbu.

Pengambilan suara di Parlemen nyaris bulat mendukung perubahan tersebut, dengan hanya satu suara berbeda pendapat.

Reaksi cepat terhadap penembakan massal ini adalah reaksi yang unik. Pada Mei tahun ini, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan kepada Stephen Colbert di "The Late Show" bahwa perubahan itu adalah respons "pragmatis", di mana "kami melihat sesuatu yang tidak benar, dan kami bertindak berdasarkan itu."

Jerman

Setelah serangan teror di Paris pada 2015, Komisi Eropa merancang reformasi yang dimasukkan ke dalam undang-undang senjata api Jerman pada 2020.

Sejak itu, pihak berwenang harus melakukan pemeriksaan bersama badan intelijen domestik untuk melihat apakah pemohon diketahui sebagai ekstremis, sebelum mengeluarkan izin senjata api.

Setiap lima tahun, polisi memeriksa apakah pemilik senjata api terdaftar memiliki "kebutuhan sah" untuk memilikinya, seperti masuk dalam anggota klub menembak atau memiliki izin berburu.

Tapi efektivitas aturan ini untuk mencegah serangan ekstremis masih menjadi bahan perdebatan. Tobias R (pelaku pembunuhan 9 orang pada 2020 di Hanau), dan Stephan E (neo-Nazi pembunuh gubernur lokal pada 2019), keduanya adalah anggota klub menembak.

Swiss

Swiss memiliki salah satu populasi bersenjata terpadat di dunia, dengan lebih dari 2,3 juta senjata milik pribadi dalam populasi 8,5 juta.

Budaya senjata di Swiss pada dasarnya terkait dengan tentaranya. Dinas militer wajib bagi semua warga negara laki-laki dan mereka dapat menyimpan senjata setelah menyelesaikan dinas.

Tingginya jumlah pemegang senjata di Swiss bukan tanpa regulasi. Untuk mendapatkan lisensi dari otoritas setempat, beberapa pemeriksaan latar belakang diperlukan.

Swiss bukan anggota Uni Eropa (UE) tetapi berada di Wilayah Schengen sehingga memiliki perjanjian bilateral termasuk soal kepemilikan senjata api, yang disesuaikan dengan peraturan baru UE. Alhasil, pembatasan ketat ditetapkan untuk senjata semi-otomatis dan otomatis.

Meskipun budaya senjata api yang kuat dan tingkat kepemilikan senjata api di Swiss memiliki kesamaan dengan Amerika Serikat, jumlah penembakan massal tidak sebanding.

Penembakan massal terakhir di Swiss terjadi pada 2001, sedangkan Arsip Kekerasan Senjata mencatat pada 2021 saja AS mengalami 692 penembakan massal, angka tertinggi sejak kelompok riset nirlaba mulai melacak penembakan di "Negeri Paman Sam" pada 2014.

Inggris dan Norwegia

Inggris menempuh perjalanan panjang dalam membatasi kepemilikan senjata api, dan sekarang memiliki beberapa undang-undang senjata api yang paling ketat di dunia.

Sejumlah pengetatan penggunaan senjata api dilakukan pasca insiden penembakan massal. Contohnya, setelah pembantaian Hungerford 1987 yang menewaskan 16 orang dan pembantaian Dunblane 1996, di mana 16 anak dan satu guru terbunuh di sebuah sekolah.

Undang-Undang Senjata Api (Amandemen) 1997 melarang warga sipil memiliki semua kecuali pistol kaliber terkecil, yang kemudian juga dilarang di bawah pemerintahan Partai Buruh pimpinan Perdana Menteri Tony Blair pada tahun berikutnya.

Menurut GunPolicy.org, Inggris memiliki salah satu tingkat kepemilikan senjata api terendah (lima senjata untuk setiap 100 penduduk). Mayoritas polisi Inggris juga tidak membawa senjata.

Situasinya terlihat sedikit berbeda di Norwegia, di mana 77 orang tewas dalam serangan teroris pada 2011. Pada 2021, satu dekade setelah serangan itu, senjata semi-otomatis, yang telah digunakan dalam serangan itu, akhirnya dilarang.

Norwegia masih memiliki tingkat kepemilikan senjata api yang tinggi dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya (28,8 senjata per 100 orang, menurut Survei Senjata Kecil yang berbasis di Swiss), tetapi kekerasan terkait senjata sangat rendah.

https://www.kompas.com/global/read/2022/07/12/071500670/menilik-kebijakan-senjata-api-di-negara-negara-maju-dan-efektivitasnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke