Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

WHO Akan Ganti Nama Cacar Monyet, Ini Alasannya

JENEWA, KOMPAS.com – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan secara resmi mengganti nama cacar monyet (monkeypox).

Perubahan nama dilakukan mengingat kekhawatiran tentang stigma dan rasialisme seputar virus tersebut yang kini telah menginfeksi lebih dari 1.600 orang di lebih dari dua lusin negara.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengumumkan langsung mengenai rencana perubahan nama cacar monyet pada Selasa (14/6/2022) di Jenewa, Swiss.

Tedros mengatakan, WHO bekerja sama dengan para mitra dan para ahli dari seluruh dunia untuk mengganti nama virus monkeypox, clades-nya, dan penyakit yang ditimbulkannya.

Dia menuturkan, WHO akan membuat pengumuman tentang nama baru cacar monyet sesegera mungkin, sebagaimana dilansir Bloomberg via Stuff.

Pekan lalu, kelompok yang terdiri atas lebih dari 30 ilmuwan internasional mengatakan bahwa penyebutan cacar monyet bersifat diskriminatif dan menstigmatisasi. Oleh karenanya, perlu segera mengganti namanya.

“Dalam konteks wabah global saat ini, referensi lanjutan dan nomenklatur virus ini tidak hanya tidak akurat tetapi juga diskriminatif dan menstigmatisasi,” kata kelompok ilmuwan tersebut.

Usulan tersebut menggemakan kontroversi serupa yang meletus ketika WHO bergerak cepat untuk mengumumkan nama SARS-CoV-2 saat orang-orang di seluruh dunia menyebut Covid-19 sebagai virus China atau Wuhan.

Seorang juru bicara WHO menyampaikan, nama cacar monyet saat ini tidak sesuai dengan pedoman WHO yang merekomendasikan untuk menghindari wilayah geografis dan nama hewan.

Juru bicara tersebut menambahkan, WHO sedang berkonsultasi dengan para ahli mengenai nama yang lebih tepat untuk cacar monyet.

Sejauh ini, nama penyakit lain yang bertentangan dengan pedoman WHO termasuk flu babi, menurut rekomendasi bersama dari WHO, Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE), dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).

Juru bicara tersebut menuturkan, penamaan penyakit harus dilakukan dengan tujuan untuk meminimalkan dampak negatif.

“Dan menghindari menyebabkan pelanggaran terhadap kelompok budaya, sosial, nasional, regional, profesional atau etnis,” ujarnya melalui email kepada Bloomberg.

Cacar monyet menjadi penyakit endemik di Afrika Barat dan Afrika Tengah selama beberapa dekade.

Kasus-kasus awal cacar monyet sebagaian besar terkait dengan hewan, bukan dari penularan manusia ke manusia.

Dalam wabah di luar negara-negara Afrika sebelum ini, seperti di AS pada 2003, kasus terkait dengan kontak dengan hewan yang membawa virus atau perjalanan ke daerah endemik.

Meski masih belum jelas bagaimana cacar monyet menginfeksi manusia dalam wabah saat ini, virus telah menyebar melalui kontak dekat dan intim, berubah dari sebelumnya.

Kelompok lain telah memperingatkan stigma dalam komunikasi mengenai cacar monyet.

Pada akhir Mei, Foreign Press Association of Africa meminta media-media barat untuk berhenti menggunakan foto orang kulit hitam dalam melaporkan kasus cacar monyet di AS atau Inggris.

Selain itu, para ilmuwan juga menggarisbawahi bahwa lesi yang dialami pasien cacar monyet wabah saat ini, kebanyakan berbeda dari apa yang telah terjadi di Afrika.

“Seperti penyakit lainnya, penyakit ini dapat terjadi di wilayah mana pun di dunia dan menimpa siapa saja, tanpa memandang ras atau etnis,” tulis Foreign Press Association of Africa.

“Karena itu, kami percaya bahwa tidak ada ras atau warna kulit yang harus menjadi penyebab penyakit (cacar monyet) ini,” sambung Foreign Press Association of Africa.

Para ilmuwan di WHO dan lembaga lain telah menunjukkan, hanya ada sedikit perhatian internasional mengenai virus cacar monyet sampai akhirnya menyebar ke negara-negara di luar Afrika seperti sekarang ini.

https://www.kompas.com/global/read/2022/06/15/153100070/who-akan-ganti-nama-cacar-monyet-ini-alasannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke