Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kesepakatan Green Economy Indonesia-Australia, Potensi Bisnis Apa yang Bisa Dilakukan?

CANBERRA, KOMPAS.com - Setiap harinya, pabrik Mohamad Lutfi yang beroperasi di Jawa Timur mengolah 50 ton sampah plastik menjadi palet.

Seperti kebanyakan warga Indonesia, Mohamad melihat banyaknya sampah plastik mencemari tanah, lautan, dan sungai di dekat rumahnya di Pasuruan.

Meski menjadi masalah, sampah plastik juga dibutuhkan oleh perusahaan Australia tempatnya bekerja bernama Re>Pal, yang berbasis di Indonesia.

Perusahaan ini bekerja sama dengan pemulung di Indonesia yang mengumpulkan plastik dari saluran air untuk dijual.

Re>Pal juga mengumpulkan sampah plastik dari bisnis-bisnis lain dan mengubahnya menjadi barang yang dapat digunakan, seperti palet.

Mohamad mengatakan inisiatif daur ulang Re>Pal merupakan solusi yang dapat membantu mengurangi sampah plastik di Indonesia dan seluruh dunia.

Re>Pal merupakan salah satu contoh model bisnis Indonesia dan Australia yang fokus pada masalah iklim.

Namun, Marcus Goldstein, direktur perusahaan tersebut, mengatakan potensi kerja sama antara kedua negara itu belum sepenuhnya dimanfaatkan.

"Kemajuan antarnegara pasti tidak secepat yang seharusnya," kata Marcus.

"Saya pikir di bidang itu kita telah gagal: Australia sesungguhnya dapat melakukan lebih banyak usaha dan menyisihkan lebih banyak waktu di Indonesia," sambungnya.

Pernyataan ini muncul setelah dua pertemuan internasional, KTT G20 dan COP26 beberapa waktu lalu, yang membahas kebijakan terkait perubahan iklim di Indonesia dan Australia.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan Australia akan berkomitmen pada upaya menargetkan emisi hingga angka nol pada tahun 2050, namun pendekatan negara tersebut terhadap perubahan iklim masih menuai kritik.

KTT G20 juga membahas kembali komitmen proyek green economy atau ekonomi hijau antara Australia dan Indonesia, setelah Presiden Joko Widodo dan PM Scott Morrison mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan ekonomi hijau dan transisi energi.

Namun, apa arti ekonomi hijau dan mengapa istilah ini kerap muncul dalam pidato dan pernyataan para politikus?

Ada seribu pengertian soal green economy

Hal Hill, seorang profesor ekonomi Asia Tenggara di Crawford School of Public Policy di Australian National University (ANU), mengatakan sulit untuk menentukan definisi yang tepat untuk mengartikan kolaborasi ekonomi hijau.

"Jika ada seribu orang dalam suatu ruangan, ekonomi hijau dapat diartikan dengan 1.000 cara berbeda," katanya.

"Secara umum, fokusnya adalah memberikan perhatian lebih serius pada lingkungan. Saat ini itu berarti mencoba mendekarbonisasi ekonomi dengan cepat, ini satu dimensi."

Menurutnya, dalam ekonomi hijau, pertumbuhan ekonomi berlangsung dengan memperhatikan lingkungan dan dalam praktiknya, perusahaan menggunakan sumber daya terbarukan dan energi bersih.

Berdasarkan definisi Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ekonomi hijau berarti tingkat karbon rendah, sumber daya efisien dan inklusif secara sosial, juga usaha yang mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem.

Istilah ekonomi hijau juga muncul dalam KTT COP21 di tahun 2015, ketika menteri luar negeri Australia saat itu, Julie Bishop menyampaikan pidato yang membahas transformasi Australia menuju ekonomi hijau, didorong inovasi tenaga surya dan kendaraan listrik dalam kerja samanya dengan Indonesia.

Sejak itu, organisasi di seluruh Australia dan Indonesia seperti Climate Works dan Global Green Growth Institute telah menetapkan strategi untuk mencapai ekonomi hijau.

Namun Profesor Hal mengatakan pemerintah dan pakar telah membahas ekonomi hijau sejak 50 tahun yang lalu, sebelum istilah ini digunakan dalam perjanjian antara Australia dan Indonesia.

"Ini bukan konsep baru. Orang-orang telah mengkhawatirkan semua masalah ini, tetapi mereka menjadi sangat penting karena bukti yang tak terbantahkan soal pemanasan global," katanya.

"Konsensus ilmiah umumnya adalah, dunia sedang menghadapi masalah iklim yang sangat serius, kemungkinan bencana iklim, kecuali kita dapat membatasi pemanasan global agar suhunya tidak lebih dari 1,5 derajat (Celsius), jadi ini adalah salah satu masalah paling mendesak yang dihadapi dunia saat ini."

Target itu mungkin tidak akan terpenuhi karena suhu di Bumi diperkirakan akan mencapai 1,5 derajat Celsius sekitar tahun 2030, menurut laporan dikeluarkan pada Agustus 2021 oleh Intergovernmental Panel on Climate Change.

Dilema batu bara

Ketergantungan Indonesia dan Australia pada batu bara dinilai bermasalah oleh Peter McCawley, profesor di Australian National University.

"Indonesia dan Australia adalah negara pengekspor batu bara nomor satu dan dua di dunia… jika ada negara-negara yang sangat bergantung pada batu bara untuk keperluan ekspor mereka, pastinya muncul dilema besar dalam upaya menjadi hijau (ramah lingkungan)."

Australia tidak menandatangani komitmen yang melibatkan belasan negara di konferensi COP26, termasuk Indonesia, untuk mengurangi praktik pembangkit listrik menggunakan tenaga batu bara.

Amerika Serikat, India, dan China juga tidak menandatanganinya.

Pidato Presiden Joko Widodo pada konferensi COP26 memicu kontroversi ketika ia menyebutkan tingkat deforestasi di Indonesia lebih rendah dari 20 tahun terakhir.

Greenpeace Indonesia mengkritik pidato tersebut dan mengatakan bahwa sejak Jokowi menjadi Presiden pada 2014, kawasan hutan dengan luas tiga setengah kali Bali hancur.

Tidak lama setelah kritik tersebut, direktur Greenpeace Indonesia dilaporkan ke polisi dengan tuduhan menyebarkan berita bohong.

Australia diminta untuk bertanggung jawab

Profesor Peter mengatakan bila kedua negara ini benar-benar ingin bekerja sama, Australia harus bertanggung jawab terutama soal program kerja sama ekonomi yang melibatkan dukungan di bidang pengembangan infrastruktur dan bantuan luar negeri.

"Sulit untuk menjalankan program kerja sama (antara) Australia dan Indonesia jika tidak ada bantuan asing yang mendukung mereka," kata Peter.

"Akan sangat membantu jika ada rencana dan komitmen, (tetapi) Anda tidak bisa menghindari masalah uang."

Jennifer Mathews, presiden Dewan Bisnis Australia-Indonesia (AIBC) mengatakan upaya mendorong bisnis Australia untuk mengambil inisiatif ketika berhubungan dengan bisnis Indonesia sangatlah penting.

"Semuanya akan kembali ke (urusan) memahami prioritas Indonesia dan melihat apa yang kita miliki dalam hal kemampuan, keahlian, yang kemudian mungkin sejalan dengan itu," kata Jennifer.

"Dari situlah kesuksesan bisa tercapai, di mana keselarasan itu ada."

Paul Bartlett adalah direktur Katalis, organisasi yang bertugas mengimplementasikan IA-CEPA yang mulai berlaku bulan Juli 2020.

Dia mengatakan ada banyak bidang kerja sama yang saling menguntungkan antara Indonesia dan Australia, termasuk kendaraan listrik.

"Australia adalah pengekspor mineral penting terkemuka dan ahli dalam efisiensi energi dan solusi teknologi untuk energi terbarukan – yang semuanya dapat berkontribusi pada ambisi Indonesia untuk menjadi pusat regional untuk manufaktur kendaraan listrik."

ABC telah menghubungi Departemen Luar Negeri Australia untuk meminta komentar.

https://www.kompas.com/global/read/2021/11/25/183300770/kesepakatan-green-economy-indonesia-australia-potensi-bisnis-apa-yang

Terkini Lainnya

Narendra Modi Kembali Menangkan Pemilu, Apa Artinya bagi Dunia?

Narendra Modi Kembali Menangkan Pemilu, Apa Artinya bagi Dunia?

Internasional
Penantian 18 Tahun Mahmoud dan Fatima untuk Berhaji Pupus karena Tak Temukan Jalan Keluar dari Gaza...

Penantian 18 Tahun Mahmoud dan Fatima untuk Berhaji Pupus karena Tak Temukan Jalan Keluar dari Gaza...

Global
Saat Jemaah Haji Asal Amerika Berdoa Gencatan Senjata di Gaza Segera Tercapai...

Saat Jemaah Haji Asal Amerika Berdoa Gencatan Senjata di Gaza Segera Tercapai...

Global
Kelompok Bersenjata Serbu Desa Yargoje Nigeria, Tewaskan 50 Orang Tewas, Jarah Harta Benda

Kelompok Bersenjata Serbu Desa Yargoje Nigeria, Tewaskan 50 Orang Tewas, Jarah Harta Benda

Global
Hasil Pemilu Parlemen Eropa 2024: Partai Sayap Kanan Bergembira, Muncul Kejutan di Perancis

Hasil Pemilu Parlemen Eropa 2024: Partai Sayap Kanan Bergembira, Muncul Kejutan di Perancis

Global
Rancangan Gencatan Senjata di Gaza untuk 6 Minggu dan Bisa Diperbarui

Rancangan Gencatan Senjata di Gaza untuk 6 Minggu dan Bisa Diperbarui

Global
Swiss Sebut 90 Negara dan Organisasi Daftar Hadiri KTT Perdamaian Ukraina, Mengapa Rusia Tak Diundang?

Swiss Sebut 90 Negara dan Organisasi Daftar Hadiri KTT Perdamaian Ukraina, Mengapa Rusia Tak Diundang?

Global
Pejabat Hamas Desak AS Tekan Israel untuk Akhiri Perang di Gaza, Nyatakan Siap Berkompromi

Pejabat Hamas Desak AS Tekan Israel untuk Akhiri Perang di Gaza, Nyatakan Siap Berkompromi

Global
Bus Rombongan Peziarah di India Diserang, 10 Orang Tewas

Bus Rombongan Peziarah di India Diserang, 10 Orang Tewas

Global
3 Orang Tewas akibat Banjir dan Tanah Longsor di Vietnam

3 Orang Tewas akibat Banjir dan Tanah Longsor di Vietnam

Global
Raja Salman Perintahkan Tampung 1.000 Jemaah Haji Khusus dari Gaza

Raja Salman Perintahkan Tampung 1.000 Jemaah Haji Khusus dari Gaza

Global
Ini Alasan Menteri Kabinet Perang Israel Mundur dari Pemerintahan Netanyahu

Ini Alasan Menteri Kabinet Perang Israel Mundur dari Pemerintahan Netanyahu

Global
Warga China Pasang Poster Dewa dan Gambar Jimat agar Koper Tak Dicuri di Bandara

Warga China Pasang Poster Dewa dan Gambar Jimat agar Koper Tak Dicuri di Bandara

Global
Beli Buah Potong, Orang Ini Kesal karena Dapat Melon Tipis 1 Cm

Beli Buah Potong, Orang Ini Kesal karena Dapat Melon Tipis 1 Cm

Global
3 Perenang Diserang Hiu di Lepas Pantai Florida, 2 Kritis

3 Perenang Diserang Hiu di Lepas Pantai Florida, 2 Kritis

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke