Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ironi Seorang Aung San Suu Kyi

TAK banyak tokoh di muka bumi ini yang namanya selalu dibicarakan begitu rupa, diberitakan, dipuja dan dituntut, seperti Aung San Suu Kyi.

Kehidupan perempuan yang kini berusia 75 tahun itu bersinar dan redup, naik dan turun, berjaya atau melandai, selalu menjadi pembicaraan warga dunia.

Berbagai predikat tersampirkan pada pundaknya, dari tokoh aktivis prodemokrasi, pejuang hak asasi manusia, tokoh politik, pemimpin partai, penerima hadiah Nobel Perdamaian, dan lain-lain.

Pendeknya, Aung San Suu Kyi adalah sebuah nama yang tak lekang mengarungi samudera pembicaraan dan pemberitaan di dunia. Seluruh berita dan pembicaraan itu terkait dengan negaranya: Myanmar, sebuah negara berkembang dengan populasi 51 juta jiwa, di kawasan Asia Tenggara.

Di setiap zaman, nasib Aung San Suu Kyi selalu berkelindan dengan nasib Myanmar. Hampir setiap perubahan dan peristiwa besar yang terjadi di Myanmar, senantiasa terkait -- kalau tidak menjadi poros -- pada diri seorang Aung San Suu Kyi.

Ia naik dan turun bersama Myanmar. Ia pernah mendekam selama 15 tahun dalam tahanan rumah, lama dikenal dunia sebagai pejuang demokrasi dan penentang terdepan kekuasaan rezim militer, puluhan tahun menjadi pemimpin National League for Democracy (Persatuan Nasional untuk Demokrasi) Myanmar, lalu sejak tahun 2016, Suu Kyi menjadi salah satu penguasa dengan jabatan State Counsellor atau penasihat negara.

Dalam jabatannya sebagai penguasa, Suu Kyi tidak lagi diposisikan sebagai pejuang prodemokrasi dan hak asasi manusia semata-mata, tapi sebaliknya, sikap diamnya terhadap masalah Rohingya membuat ia dituduh bagian rezim penindas.

Hari-hari ini, nama Aung San Suu Kyi kembali jadi pembicaraan dunia. Militer Myanmar dikabarkan menangkap dan menempatkannya dalam tahanan pada 1 Februari dinihari.

Nasib Suu Kyi kembali berputar ke bawah, dari pemimpin de facto Myanmar menjadi tahanan militer, seperti yang dialaminya sekian tahun lampau.

Tabiat militer Myanmar

Mengapa militer Myanmar kembali melakukan kudeta dan represi?

Ini menyangkut tabiat mereka, anti demokrasi. Sejak Jenderal Ne Win melakukan kudeta pada tahun 1962, sejak itu pulalah militer Myanmar mempersepsikan dirinya sebagai penguasa dan penentu nasib Myanmar hingga kini.

Kudeta kali ini dipicu oleh kemenangan mutlak Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi pada bulan November 2020 lalu. Militer menganggap pemilu dilaksanakan secara curang karena ada pembengkakan pemilih.

Dalih militer tersebut sama sekali tidak mengandung kebenaran karena segala persyaratan dan parameter pemilu yang jujur dan adil, telah dipenuhi. Dunia internasional pun menerima baik hasil pemilu tersebut.

Yang jadi masalah, partai oposisi, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan yang didukung militer, kalah telak. Jadi, bukan karena ada kecurangan pemilu.

Militer memiliki kepentingan besar untuk mengalahkan Partai Aung San Suu Kyi karena sejak partai NDP memegang kekuasaan pada tahun 2015, ruang gerak militer dalam politik kian menyempit.

Bila kecurangan pemilu jadi motifnya, tentu saja militer bisa memprosesnya secara hukum. Segala mekanisme dan sistem penyelesaian sengketa pemilu, sudah dimiliki negeri itu. Bukan dengan cara kudeta militer yang tidak beradab yang jelas-jelas merontokkan demokrasi.

Kealapaan Aung San Suu Kyi

Ketika Indonesia keluar dari rezim otoriter militer pada tahun 1998, Indonesia sukses melakukan transformasi demokrasi dengan sangat mulus.

Rezim reformasi sukses secara gemilang mengajak seluruh komponen bangsa, bahu membahu membangun institusi demokrasi, tak terkecuali lembaga militer.

Di awal reformasi, pelembagaan demokrasi melalui perubahan instrumen-instrumen hukum, termasuk konstitusi, membuat demokrasi dan kebebasan berkecambah secara leluasa. Militer pun ikut dengan ihtiar tersebut.

Semua itu terjadi lantaran kesadaran para elit bangsa, tokoh reformasi, untuk melakukan perubahan struktural di negeri kita. Bukan sekedar terpaku dengan kemenangan, menjungkirkan rezim otoriter Soeharto.

Di Myanmar, kemenangan partai Aung San Suu Kyi (NDP) hanya sampai pada titik kepuasan batin belaka. Aung Sun Suu Kyi beserta para pengikutny tidak sukses merangkul semua komponen bangsanya untuk menyatu, menutup segala kemungkinan kembalinya rezim otoriter militer.

Aung San Suu Kyi terlena melakukan rekonsiliasi internal partainya belaka, bukan rekonsiliasi internal bangsa dan negaranya. Akibatnya, serpihan-serpihan yang acapkali memercikkan api kekerasan, tak jarang muncul.

Di Myanmar sekarang ini, ada 14 kelompok perlawanan berlatar etnis dan ras, selalu muncul menggoyang pemerintah.

Sudah 12 tahun lamanya ada genjatan sejata (cease fire) antara pemerintah dengan kelompok-kelompok tersebut, tetapi nyatanya, kekerasan masih saja terjadi. Penyelesaian pangkal soal tidak pernah dijalankan secara tuntas.

Satu di antara masalah mendasar yang terjadi di Myanmar ialah kelompok Rohingya yang berlatar etnis-ras Bengali dan beragama Islam, tidak pernah bisa terakomodasi di Myanmar.

Mereka menjadi kelompok yang dikucilkan oleh kaum mayoritas Budha dan dan etnis asli. Di sinilah legitimasi moral kepemimpinan Aung Sun Suu Kyi tergerogoti.

Sang pemimpin tak mampu membuat demokrasi Myanmar yang dirintisnya menjadi rumah bagi siapa pun yang menjadi warga negara Myanmar. Kredibilitas Aung Sun Suu Kyi disoal oleh dunia internasional karena tak mampu melindungi kaum Rohingya.

Aung Sun Suu Kyi mengikuti arus kehendak kaum mayoritas yang ingin menepikan Rohingya. Ia bersikap sangat pragmatis dalam soal ini karena ia tidak lagi jadi negarawan, tetapi politisi yang mementingkan kalkulasi keterpilihan dibanding menjaga demokrasi dan hak asasi manusia, sebuah domain yang membuatnya diberi hadiah Nobel perdamaian.

Aung San Suu Kyi tidak berani berhadapan denga kaum mayoritas untuk melindungi minoritas. Di sinilah sebenarnya momen terbaik kepemimpinan Aung San Suu Kyi diuji. Nyalinya diukur.

Adaikan Aung San Suu Kyi melakukan ketegasan untuk melindungi kaum minoritas dan menyelesaikan sengketa etnis terhadap ke-14 kelompok perlawanan tersebut, militer pasti tidak bakal memiliki nyali melawan Aung san Suu Kyi. Sayang, she loses the chance.

Dalam keadaan seperti itulah militer hadir, dan menjadikan alasan kekerasan itu sebagai motif pengambilalihan kekuasaan karena dianggap kemampuan kepemimpinan sipil yang dipelopori oleh Aung San Suu Kyi, gagal total. Sebuah cara pandang spekulatif dan manipulatif untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan.

https://www.kompas.com/global/read/2021/02/12/125343370/ironi-seorang-aung-san-suu-kyi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke