Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

[Biografi Tokoh Dunia] Kathrin Jansen, Wanita yang Memimpin Pembuatan Vaksin Covid-19 Pfizer

KOMPAS.com - Di pengujung tahun 2020 lalu, WHO menyatakan memberi izin penggunaan darurat vaksin Covid-19 produksi dari Pfizer-BioNTech. Vaksin ini adalah yang pertama secara resmi mendapat lampu hijau dari badan kesehatan dunia tersebut.

Dibanding kandidat vaksin yang dikembangkan saat ini, produksi Pfizer telah mengumumkan capaian yang luar biasa.

Vaksin Covid-19 dari perusaan ini disebut memiliki efektivitas 90 persen untuk mencegah penyakit dalam uji klinisnya. Ini angka yang luar biasa, mengingat dalam 10 tahun terakhir, tingkat kemanjuran vaksin flu saja hanya mencapai 19 persen hingga 60 persen.

Ilmuwan luar sekarang tertarik untuk melihat data lengkap guna memvalidasi temuan ini.

Sebagian besar pekerjaan yang dicapai Pfizer tersebut ternyata berkat kepemimpinan Kathrin Jansen, kepala penelitian dan pengembangan vaksin di Pfizer.

Jansen telah mempelopori upaya menyiapkan vaksin Covid-19 hingga siap dipasarkan.

Kolaborasi ilmu pengetahuan

Di bawah kepemimpinan Jansen, Pfizer memutuskan berkolaborasi dengan perusahaan biotek Jerman BioNTech dalam vaksin Covid-19 menggunakan mRNA. Teknologi yang belum terbukti itu menggunakan asam ribonukleat untuk menciptakan sistem kekebalan tubuh.

Teknologi disebut memiliki potensi besar, tapi sebelumnya belum ada vaksin mRNA yang pernah disetujui untuk digunakan pada manusia. Namun bagi Jansen hal berani ini justru menantang. 

“Saya menganggapnya sebagai ilmuwan yang mampu memimpin sesuatu yang menantang seperti ini,” kata Gregory Poland, Direktur Grup Riset Vaksin Mayo Clinic yang mengenal Jansen selama dua dekade.

Pada bulan Agustus, Pfizer dan BioNTech mengungkapkan data dari uji coba fase I.

Hasilnya menunjukkan dua kandidat vaksinnya tampaknya efektif, baik pada orang dewasa muda maupun yang lebih tua.

Perusahaan akhirnya memilih untuk fokus pada salah satu vaksin tersebut. Yaitu yang memiliki efek samping lebih sedikit dan mendorong tanggapan kekebalan yang lebih baik.

Beberapa ahli sangat antusias dengan potensi vaksin Pfizer. Mereka percaya vaksin itu memberikan harapan bagi vaksin lain yang menggunakan metode sama. Salah satunya seperti vaksin mRNA yang sedang dikembangkan oleh Moderna.

“Beberapa kandidat vaksin memiliki kemanjuran dalam model praklinis," kata Shane Crotty, seorang peneliti vaksin di La Jolla Institute di California.

Jadi menurutnya tidak ada alasan khusus untuk tidak berharap kandidat vaksin lain dapat bekerja dengan baik pada manusia sekarang.

Fokus pada sains menolak politisasi

Fokus besar berikutnya untuk Pfizer adalah menyelesaikan uji coba dan mendistribusikan vaksinnya.

Sebelumnya, Pfizer berusaha menghindari keributan politik seputar pandemi dan khususnya tidak berpartisipasi dalam inisiatif vaksin Gedung Putih, Operation Warp Speed (OWS).

Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times, Jansen menegaskan bahwa proyeknya tidak berhubungan dengan OWS. “Kami tidak pernah menjadi bagian dari Operation Warp Speed,” katanya.

“Kami tidak pernah mengambil uang dari pemerintah Amerika Serikat, atau dari siapa pun.”

Menurutnya, Pfizer belum mengambil dana apa pun dari pemerintah federal untuk penelitian dan pengembangan vaksinnya.

Namun, Operation Warp Speed telah berjanji untuk membayar 1,95 miliar dollar AS (Rp 27 triliun), untuk 100 juta dosis vaksin Pfizer yang akan dikirimkan pada akhir tahun.

Pilihan Pfizer untuk berfokus pada sains daripada politik diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pada vaksin.

Masalahnya, jumlah orang dewasa yang kemungkinan mau menerima vaksin telah turun dari 72 persen pada Mei menjadi 51 persen pada September, menurut Pew Research.

Survei yang sama menemukan bahwa banyak orang AS khawatir bahwa vaksin akan tersedia sebelum keamanan dan kemanjurannya terjamin.

Meski Jansen dan rekan-rekannya di Pfizer dan BioNTech telah bergerak cepat. Mereka menjamin tetap fokus pada hasil ilmiah.

Tim berfokus pada keberhasilan didapatnya otorisasi penggunaan darurat untuk vaksinnya dari regulator obat di berbagai negara.

Jansen dan tim, bekerja dari awal pengujian pada April, hingga penyelesaian uji klinis fase III pada November.

Dalam kondisi pandemi, seringkali Jansen harus mengoordinasi kerja 650 orang dalam timnya melalui panggilan Zoom dari apartemennya di New York City.

Wanita 62 tahun ini, telah menghabiskan setahun terakhir memecahkan masalah klinis dengan uji coba vaksin Covid-19.

Dia juga harus memilah logistik yang digunakan dalam distribusi, karena vaksin buatan timnya perlu tempat pendingin dengan suhu khusus.

Pekerjaan Jansen dan tim akhirnya terbayar, pada 2 Desember 2020. Otoritas kesehatan di Inggris lebih dulu menyetujui vaksin dari perusahaan yang dia pimpim untuk penggunaan darurat. Dengan ini tahapan kampanye inokulasi massal bisa mulai dijalankan.

Vaksin kolaborasi perusahaan AS dan Jerman yang dipimpinya adalah vaksin Covid-19 pertama yang disetujui berdasarkan data uji coba fase-III. Persetujuan dari negara lain kemudian segera menyusul.

"Keberhasilan ini sebagian besar berkat Jansen," kata Ugur Sahin, salah satu pendiri dan kepala eksekutif BioNTech, mitra Pfizer dalam vaksin, yang berbasis di Mainz, Jerman.

"Dia tidak kenal lelah. Tetapi juga sangat bergantung pada data. Dengan keingintahuan ilmiah dan terbuka pada perbedaan pendapat. Dia rajin dan mau mendengarkan,” kata Sahin.

Pada Minggu di awal November, Jansen memanggil Sahin untuk memeriksa semua yang telah mereka capai bersama. Tepatnya, sebelum para peneliti di Pfizer dan BioNTech akan mempelajari apakah kandidat vaksin mereka telah berhasil mencegah kasus Covid-19 parah dalam uji klinis yang sangat penting.

Jansen berlinang air mata saat mengetahui bahwa vaksin itu mencapai efektivitas lebih dari 90 persen.

Sahin menyatakan intensitas kolaborasi vaksin mengikat mereka berdua seperti tentara dalam pertempuran.

Capaian tinggi tapi tetap membumi

Jansen, masih kembali bekerja melakukan apa yang telah dia lakukan selama 30 tahun terakhir. Dia kembali mencoba mengimunisasi dunia dari patogen (parasit inang penyakit) mematikan lainnya.

“Dia benar-benar tak kenal takut sebagai ilmuwan,” tambah Edward Scolnick, mantan kepala Laboratorium Riset Merck di West Point, Pennsylvania, tempat Jansen bekerja dari 1992 hingga 2004.

“Dia memiliki keyakinan penuh bahwa secara teknis dan intelektual, dia dapat memecahkan masalah yang mungkin timbul dengan cara proyek seperti itu. "

Tapi menurutnya, Jansen tetap sangat membumi walaupun punya banyak prestasi dalam bidangnya.

Rekam jejak Jansen sangat gemilang. Saat di Merck, dia memprakarsai proyek untuk mengatasi human papillomavirus (HPV), infeksi menular seksual yang menyebabkan kanker serviks.

Pada awal proyek itu, banyak rekannya menyebut dia membuang-buang waktu dan uang. Tapi upaya tersebut pada akhirnya menghasilkan vaksin HPV pertama di dunia, Gardasil.

Gardasil yang disetujui pada 2006, diharapkan dapat menyelamatkan jutaan nyawa melalui pencegahan kanker.

Direktur CDC Robert Redfield menganggap vaksin itu,adalah kunci untuk menghilangkan kanker serviks. Pada 2017, CDC mencatat 66 persen wanita berusia 13-17 tahun menerima dosis pertama vaksin HPV, sementara 49 persen sudah menyelesaikan proses inokulasi.

Sejak itu, Jansen bertanggung jawab memimpin pengembangan vaksin yang melindungi 13 jenis pneumokokus yang berbeda.

Produk yang sudah dihasilkannya antara lain Prevnar 13, sekarang menjadi vaksin terlaris di dunia. Sementara Gardasil menempati urutan nomor dua.

Pada 2021, penjualan vaksin Pfizer – BioNTech Covid-19 dapat melampaui penjualan kedua vaksin buatannya tersebut.

https://www.kompas.com/global/read/2021/01/02/224642270/biografi-tokoh-dunia-kathrin-jansen-wanita-yang-memimpin-pembuatan-vaksin

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke