Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Konflik Etiopia, Sebuah Ringkasan untuk Anda

ADDIS ABABA, KOMPAS.com - Etiopia menghadapi perang sipil antara pasukan militer pemerintah dan pasukan sipil di bagian utara Tigray yang mengakibatkan 10.000 nyawa melayang.

Konflik meletus pada November awal, setahun setelah Perdana Menteri Ethiopia Aiby Ahmed menerima Hadiah Nobel Perdamaian yang mengakhiri konflik perbatasan 20 tahun Ethiopia dengan Eritrea.

Berikut ini serangkaian penjelasan singkat tentang bagaimana konflik yang menewaskan puluhan ribu orang itu terjadi serta bagaimana dampaknya bagi masyarakat sipil dan kawasan di sekitarnya.

Apa yang sebenarnya terjadi di Etiopia?

Pada 4 November 2020, Perdana Menteri Etiopia Aiby Ahmed mengirim pasukan ke markas militer di bagian utara wilayah Tigray yang berbatasan dengan Eritrea dan Sudan.

Dia menuduh partai yang berkuasa di wilayah itu, Tigray People Liberation Front (TPLF) telah menyerang markas tersebut dan mengumumkan melalui siaran televisi beberapa hari kemudian bahwa militer Etiopia telah membom markas tersebut sebagai bentuk pembalasan.

Beberapa hari setelahnya, Amnesty International melaporkan bahwa ratusan orang telah terbunuh dalam serangan pisau dan parang di kota Mai Kadra, wilayah Tigray.

Pihak TPLF disalahkan atas serangan tersebut meski pemimpinnya menolak bertanggungjawab.

"Kami telah mengonfirmasi adanya pembantaian rakyat sipil dalam jumlah besar, yang tampaknya merupakan buruh harian dan sama sekali tak terlibat dalam serangan militer yang tengah berlangsung," ujar Deprose Muchena, Direktur Afrika Timur dan Selatan, Amnesty International.

Sejak awal November, komunikasi di wilayah itu telah terputus sehingga laporan sering tertunda dan orang-orang tidak bisa menghubungi keluarga mereka.

Sementara itu, diketahui pada 13 November, Tigray meluncurkan roket di 2 bandara di Provinsi Amhara. Keesokan harinya, mereka juga menembakkan roket ke negara tetangga, Eritrea.

Presiden kawasan Tigrat, Debretsion Gebremichael mengklaim Eritrea telah mengirim pasukan dan tank ke Tigray untuk mendukung pemerintah Ethiopia.

Kepada Reuters, mereka mengatakan bahwa roket itu adalah pembalasan, tapi dia tidak memberikan bukti apapun untuk mendukung tuduhan tersebut. 

Tigray memiliki pasukan paramiliter dan milisi lokal sekitar 250.000 orang, menurut International Crisis Group.

Mengapa konflik itu terjadi kini?

Sebelum PM Abiy yang populis terpilih pada tahun 2018 karena protes anti-pemerintah, Etiopia diperintah oleh TPLF sebagai bagian dari koalisi usai menggulingkan bekas kediktatoran era 1991.

Pemerintah saat ini mengatakan telah berupaya keras untuk memasukkan anggota bekas koalisi yang berkuasa dan kelompok etnis yang sebelumnya dikucilkan namun ternyata tidak termasuk TPLF.

Tigray secara terbuka menolak ajakan Abiy yang ingin menyatukan negara dengan meningkatkan kekuasaan pemerintah pusat, seperti halnya daerah dan kelompok etnis lainnya.

TPLF juga memandang koalisi yang berkuasa itu ilegal dan setelah Abiy membatalkan pemilihan karena Covid-19, mereka membentuk dewan pemilihan sendiri untuk mengawasi pemilihan daerah pada bulan September.

Abiy mengatakan dia tidak mengakui hasil pemilihan tersebut dan melarang jurnalis asing bepergian ke Tigray untuk mendokumentasikan pemilihan.

Pemerintah di Addis Ababa memilih untuk memotong dana ke TPLF pada bulan Oktober, yang kemudian membuat marah para pemimpinnya.

Apa yang terjadi pada warga sipil?

Puluhan ribu warga Etiopia telah meninggalkan Tigray menuju Sudan sejak awal November, dengan PBB memperkirakan 200.000 orang akan melarikan diri dalam enam bulan.

PBB mengatakan 6.000 pengungsi memasuki Sudan setiap hari, dengan lebih dari 31.000 orang telah menyeberang sejak 20 November.

Tigray sendiri menurut badan-badan PBB sudah menjadi rumah bagi sebanyak 200.000 pengungsi dan orang terlantar.

Kelompok bantuan mengatakan mereka dilarang membantu di Tigray dan wartawan juga dilarang masuk untuk melaporkan apa yang terjadi.

LSM telah meminta pemerintah Etiopia untuk mengamankan akses mereka ke Tigray sehingga mereka dapat menyediakan pasokan bagi warga sipil yang terdampar akibat pertempuran.

PM Abiy mengatakan pada 16 November bahwa pemerintahannya "siap untuk menerima dan menyatukan kembali sesama warga Etiopia yang melarikan diri ke negara tetangga."

Tapi, ribuan orang terus melarikan diri dan banyak yang memiliki cerita mengerikan tentang bagaimana mereka melihat teman dan keluarga mereka terbunuh sementara yang lain tidak tahu di mana keluarga mereka karena komunikasi terputus di Tigray.

Kamp Um Raquba di Sudan telah dibuka kembali untuk menampung pengungsi setelah 20 tahun ditutup, setelah menampung ribuan warga Ethiopia selama kelaparan terburuk di negara itu pada abad ke-20 dari tahun 1983 hingga 1985.

PBB menyerukan gencatan senjata disegerakan pada 20 November sehingga koridor kemanusiaan dapat didirikan untuk memungkinkan warga sipil melarikan diri dengan selamat.

Bagaimana dampak konflik secara luas?

Konflik ini berisiko membuat kawasan itu tidak stabil dan dapat menyebabkan pengungsian massal di negara terpadat kedua di Afrika, dengan 110 juta jiwa.

Sebagai sekutu dekat militer Amerika Serikat (AS), Etiopia dipandang sebagai elemen penting dalam memelihara perdamaian di Tanduk Afrika yang rapuh.

Namun hal itu bisa dihancurkan oleh perang yang meluas ke Eritrea, dan fakta bahwa sekitar 96.000 pengungsi Eritrea yang tinggal di Tigray bisa mengungsi lagi.

Dengan pengungsi Etiopia yang melarikan diri ke Sudan, yang sudah memiliki 1,1 juta pengungsi, ini berisiko mengganggu kestabilan transisi yang sedang dilaluinya, di samping krisis ekonomi yang sudah dialaminya.

Etiopia juga menjalankan misi penjaga perdamaian yang sukses di negara tetangga Somalia, namun kini terancam karena kekacauan di dalam negaranya.

https://www.kompas.com/global/read/2020/11/23/110029470/konflik-etiopia-sebuah-ringkasan-untuk-anda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke