Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Adelaide Terapkan Lockdown Paling Ketat, Begini Kondisi WNI di Sana

ADELAIDE, KOMPAS.com - Pemerintah negara bagian Australia Selatan menerapkan lockdown paling ketat yang pernah dilakukan terkait pandemi Covid-19 terhitung sejak Kamis (19/11/2020).

Menteri Utama Australia Selatan Steven Marshall menetapkan lockdown akan berlaku selama enam hari sebagai rem untuk menghentikan gelombang kedua penyebaran virus corona yang bermula dari klaster di wilayah Adelaide utara.

Hanya supermarket, penjual minuman, layanan kesehatan, pompa bensin, serta tempat penitipan anak dan sekolah bagi keluarga pekerja esensial yang kini diperbolehkan buka.

Warga dilarang keluar rumah dan hanya satu orang dari setiap rumah tangga yang boleh pergi belanja. Acara pernikahan dan pemakaman sama sekali tak diizinkan.

Lockdown yang diterapkan Australia Selatan lebih ketat daripada yang berlaku selama berbulan-bulan di Melbourne, namun penggunaan masker hanya dianjurkan, tidak diwajibkan seperti di Melbourne.

Supermarket di Adelaide diperbolehkan buka selam 24 jam pada hari biasa dan sampai jam 9 malam pada akhir pekan selama 14 hari ke depan.

Pihak berwenang telah melakukan tes Covid-19 secara gratis kepada lebih dari 20 ribu warga dalam 48 jam terakhir.

Marshall mengatakan meski tak ditemukan adanya kasus baru pada hari pertama lockdown, namun diperkirakan sekitar 1.000 warga Australia Selatan kini menjadi orang tanpa gejala.

Pejabat Tertinggi Bidang Medis Australia Selatan Professor Nicola Spurrier secara terpisah menjelaskan ada 23 kasus aktif dari klaster tersebut, di samping 17 kasus lainnya.

Ia menjelaskan ada 3.200 orang yang kini menjalani karantina.

Warga asal Indonesia siap jalani lockdown

Lantas bagaimana kondisi warga asal Indonesia di sana saat ini?

"Kami sangat well-informed mengenai perkembangan yang terjadi. Jadi tidak kaget," ujar Elvia R Shauki, dosen di Universitas Australia Selatan (UniSA).

"Saya katakan kepada mahasiswa untuk tidak melakukan panic buying karena supermarket masih tetap buka," katanya kepada Farid M Ibrahim dari ABC Indonesia.

"Yang kami takutkan kalau ada panic buying, maka penyebaran virus menjadi tidak terkendali, jadi maksud dan tujuan brutal lockdown menjadi tidak tercapai," katanya.

Elvia menilai kebijakan lockdown ini tadinya agak berlebihan, namun kemudian menyadari keputusan ini sangat tepat.

"Yang pasti kami yakin bahwa pemerintah akan menangani penyebaran ini dengan baik mengingat bahwa tracing map-nya telah dilakukan dengan akurat dan jelas sekali," katanya.

Menurut Elvia, selama ini dia memang banyak kerja dari rumah sehingga tidak mengalami dampak berati.

"Perkuliahan sudah selesai di tiga universitas yang ada di Adelaide, mahasiswa saat ini sedang menjalani ujian sampai dengan akhir November," jelasnya.

Dengan adanya lockdown, katanya, maka ujian diundurkan sampai 30 November.

"Saya tidak dapat membayangkan akibatnya bagi mahasiswa internasional. Karena di UniSA mahasiswa akan menjalani wisuda pada 23 Desember, dampak penundaan ujian akan berdampak signifikan sekali bagi mahasiswa lokal dan internasional," ujarnya.

Salah satu mahasiswa Indonesia di Adelaide yang rencananya akan diwisuda pertengahan Desember mendatang adalah Ahmad Adib.

Adib mengaku siap dan tidak keberatan menjalani lockdown yang dimulai pada Kamis sampai lima hari ke depan.

"Sebenarnya sudah berbulan-bulan terakhir ini di Adelaide tidak ada transmisi lokal dan kondisi di sini seperti hampir normal. Jadi kaget juga saat ada penularan lagi," ujarnya kepada wartawan ABC Indonesia Hellena Souisa.

"Tapi sepertinya Adelaide juga banyak belajar dari Melbourne yang pemerintahnya bergerak cepat mengatasi penularan dengan sejumlah pembatasan, dan berhasil. Jadi ya, saya optimistis saja," kata Adib.

Dari pantauannya, kondisi di Adelaide hari ini sangat sepi. Hampir tidak ada kendaraan yang lalu-lalang di jalan.

Saat lockdown diumumkan, Adib dan istrinya baru selesai berbelanja kebutuhan mingguan mereka. Namun setelah mendengar pengumuman lockdown, ia memutuskan membeli beberapa bahan kebutuhan lain tapi dalam jumlah yang tidak berlebihan.

"Seperti makanan kaleng dan susu tahan lama. Secukupnya saja, untuk enam hari. Toh sebenarnya keluar untuk berbelanja masih diperbolehkan," ujarnya.

Karena kondisi lockdown, untuk sementara Adib tidak bisa bekerja seperti biasanya. Ia memang bekerja secara casual di beberapa tempat, seperti di panti werdha, rumah sakit, dan sekolah.

"Dampak (lockdown) yang pertama untuk saya adalah enggak bisa ke beberapa tempat kerja, kecuali rumah sakit dan aged care yang dianggap (sebagai sektor) esensial," katanya.

"Dampak selanjutnya, enggak bisa main ke rumah teman dan sebaliknya," tambah Adib yang berharap lockdown di Adelaide tidak akan berlangsung terlalu lama.

Harus pakai masker lagi, padahal baru lepas pekan lalu

Susana Kodhyat asal Bandung, Jawa Barat, juga penduduk di Adelaide dan sudah menjadi perawat di panti bagi warga lansia selama 14 tahun.

Menurutnya, lockdown tidak akan memengaruhi kerjanya, tetapi ia perlu kembali menyesuaikan diri dengan protokol kesehatan semasa lockdown.

"Padahal kita baru saja senang karena minggu lalu tidak harus lagi pakai masker. Sekarang harus pake APD (alat pelindung diri) dan masker," kata Susana kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

"Karena pakai masker untuk beberapa jam susah bernafas," ujarnya.

Sebelumnya di negara bagian itu sudah beberapa bulan tidak ada kasus penularan lokal sehingga masker tidak lagi wajib dikenakan.

Menurut Susana, keputusan pemerintah ini harus didukung.

"Ini keputusan yang sangat bagus dan tepat. Karena saya dan warga Adelaide lainnya tidak menginginkan kejadian seperti di Melbourne ataupun di Eropa atau di Amerika Serikat," katanya lagi.

Susana yang bekerja di rumah lansia yang memiliki 120 penghuni ini mengatakan, yang dikhawatirkannya adalah pekerja seperti dirinya atau tamu yang membawa virus ke dalam panti.

"Penghuni di rumah perawatan lansia rasanya aman. Yang membuat khawatir yaitu pengunjung atau kami sendiri para pegawai karena mungkin secara tidak sadar kami sebagai pembawa virus tersebut dengan tidak ada gejala sama sekali," katanya.

Sudah mempersiapkan diri sejak lama

Seorang warga Indonesia lainnya Deni Gare yang sudah tinggal selama 12 tahun di Adelaide sekarang bekerja sebagai pegawai negeri di salah satu kantor pemerintahan negara bagian Australia Selatan.

Dia mengatakan kali ini untuk pertama kalinya dia akan bekerja dari rumah.

"Saat lockdown bulan Maret lalu, saya harus tetap masuk kerja karena pekerjaan saya di kantor tidak bisa dibawa pulang," katanya.

Setelah mendapat kabar bahwa mereka sekarang harus bekerja dari rumah, Deni sudah mempersiapkan diri sejak tadi malam.

"Laptop kantor saya bawa pulang. Pagi ini saya sudah melakukan dua rapat secara online, dan saya sudah buat Microsoft Teams untuk mempermudah komunikasi dengan tim kerja saya," tambahnya.

Menurut Deni, dia beberapa kali mendengarkan dan menonton YouTube dari beberapa kalangan umat Kristiani yang memperkirakan kemungkinan terjadinya penularan Covid-19 gelombang kedua antara bulan Oktober sampai Maret 2021.

"Karena itu saya sudah siap dengan bahan-bahan makanan, daging beku, tisu, sejak sebelum Oktober," kata Deni lagi.

Meski demikian, Deni mengaku kunjungannya ke fisioterapis setiap Selasa dan Kamis semuanya dibatalkan selama enam hari ke depan.

"Suami saya juga sebenarnya ulang tahun hari ini dan kita rencana pesta ulang tahun hari Sabtu. Tapi karena lockdown, pesta kami ajukan semalam. Setelah pulang kerja saya beli piza dan kue ulang tahun," ujarnya.

"Banyak orang yang beli piza, jadi menurut penjualnya waktu tunggu yang biasanya 30 menit, sekarang jadi satu jam," kata Deni Gare.

https://www.kompas.com/global/read/2020/11/21/203505470/adelaide-terapkan-lockdown-paling-ketat-begini-kondisi-wni-di-sana

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke