Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Trauma 40 Tahun Perang, Warga Afghanistan Berharap Perjanjian Damai Bukan Tipuan

KABUL, KOMPAS.com - Di museum Kabul yang menghormati para korban perang Afghanistan, pengunjung mengungkapkan betapa banyak rasa sakit yang dirasakan lapisan masyarakat dari berbagai generasi selama 40 tahun konflik yang tak henti-hentinya.

Fakhria Hayat mengenang serangan yang mengubah keluarganya selamanya. Saat itu tejadi pada 1995, yang mana ibu kota Afghanistan dikepung, dihantam oleh roket yang ditembakkan oleh kelompok mujahidin saingan.

Melansir Associated Press pada Minggu (18/10/2020), sebuah roket menghantam halaman rumahnya, membunuh saudara laki-lakinya dan membuat saudara perempuannya selamanya di kursi roda.

Seorang warga lainnya, Danish Habibi bercerita pada 2000, dia masih kecil ketika Taliban menyerbu desanya di Lembah Bamiyan yang tenang di Afghanistan.

Ingatannya tentang hari-hari itu berulang kali menjadi mimpi buruk. Laki-laki dipisahkan secara paksa dari istri dan anak. Puluhan orang tewas.

Ayah Habibi sempat menghilang dan kembali dalam keadaan babak belur, terluka parah, dan tidak pernah bisa bekerja lagi. Habibi bertanya-tanya bagaimana dia bisa menerima perdamaian dengan Taliban.

Reyhana Hashimi, seorang warga lainnya menceritakan bagaimana saudara perempuannya yang berusia 15 tahun, Atifa, dibunuh oleh pasukan keamanan Afghanistan, pada 2018.

Atifa meninggalkan rumah untuk mengikuti ujian, yang justru membuatnya terjebak dalam demonstrasi memprotes penangkapan seorang pemimpin Hazara. Pasukan Afghanistan menembaki pengunjuk rasa.

"Mereka menembak adik saya tepat di jantung," kata Hashimi. “Tidak ada seorang pun dari pemerintah yang datang untuk meminta maaf. Mereka mencoba mengatakan dia adalah seorang pengunjuk rasa. Dia tidak. Dia hanya ingin mengerjakan ujiannya."

Saat ini, keluhan yang menumpuk dan belum terselesaikan membayangi negosiasi intra-Afghanistan yang sedang berlangsung di negara Teluk Qatar.

Washington menandatangani kesepakatan dengan Taliban pada Februari 2020 untuk membuka jalan bagi pembicaraan Doha dan penarikan pasukan Amerika pada akhirnya.

Amerika memperjuangkan kesepakatan itu sebagai peluang terbaik Afghanistan untuk perdamaian abadi.

Sebenarnya warga Afghanistan tidak begitu yakin. Namun, mereka mengatakan mencegah perang berikutnya sama pentingnya dengan mengakhiri perang saat ini.

Afghanistan telah berperang selama lebih dari 40 tahun. Pertama adalah invasi Soviet pada 1979 dan 9 tahun pertempuran.

Penarikan Soviet membuka perang saudara yang pahit, di mana faksi-faksi mujahidin mencabik-cabik negara itu untuk memperebutkan kekuasaan dan menewaskan lebih dari 50.000 orang sampai Taliban mengambil alih pada 1996.

Pemerintahan represif terhadap para militan berlangsung sampai invasi pimpinan AS pada 2001. Sejak itu, Afganistan telah menjadi negara berlumuran darah oleh pemberontakan.

"Kita harus memahami bahwa telah ada penderitaan di semua sisi, semua warga Afghanistan menderita pada waktu yang berbeda," kata Hamid Karzai, presiden pertama yang dipilih secara demokratis setelah keruntuhan Taliban, dalam sebuah wawancara di Kabul.

“Semua orang telah melakukan bagian (mereka), sayangnya, membawa penderitaan bagi rakyat kami dan negara kami,” kata Karzai, yang meninggalkan jabatannya pada 2014 setelah menjalani dua masa jabatan.

"Tidak ada yang bisa (menunjuk) jari ke arah seseorang untuk mengatakan Anda telah melakukannya," ucapnya.

Namun, individu Afghanistan bisa. Mereka tahu siapa yang menyebabkan tragedi bagi keluarga mereka.

Hayat, salah satu dari mereka yang mengunjungi Pusat Memori dan Dialog Kabul, mengatakan roket yang membunuh adik laki-lakinya dan melukai saudara perempuannya 25 tahun lalu ditembakkan oleh orang-orang panglima perang Abdul Rasul Sayyaf.

Sayyaf terkenal karena hubungannya dengan al-Qaeda pada 1990-an dan menjadi inspirasi bagi kelompok teroris Filipina, Abu Sayyaf.

Dia juga seorang politikus yang kuat di Afghanistan pasca-Taliban, dan sering terlihat pada pertemuan dengan penerus Karzai, Presiden Ashraf Ghani.

Panglima perang mujahidin seperti Sayyaf tetap kuat sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan memimpin faksi bersenjata lengkap.

Mereka termasuk orang-orang seperti Gulbuddin Hekmatyar, yang berada dalam daftar teroris AS sampai dia menandatangani pakta perdamaian 2017 dengan pemerintah Ghani.

Selain Hekmatyar, ada juga panglima perang Uzbekistan, Marsekal Rashid Dostum, yang telah terlibat dalam litani kejahatan hak asasi manusia.

Segera setelah kekalahan Taliban pada 2001, serangan balas dendam berlipat ganda, dan etnis Pashtun, yang menjadi tulang punggung Taliban, pada awalnya dilecehkan dan dianiaya ketika mereka kembali ke desa mereka.

Akibatnya, banyak yang akhirnya kembali ke pegunungan atau melarikan diri ke tempat berlindung yang aman di negara tetangga Pakistan. Itu memungkinkan Taliban untuk berkumpul kembali.

Saat ini, kelompok pemberontak berada pada titik terkuatnya sejak 2001, menguontrol atau menguasai hampir separuh negara.

Bahkan jika kesepakatan intra-Afghanistan tercapai, lalu pasukan AS dan NATO pergi, banyak warga Afghanistan khawatir bahwa banyak faksi di negara itu, termasuk Taliban, akan memperebutkan kekuasaan.

Di bawah kesepakatan Washington dengan Taliban, pasukan AS akan ditarik mundur pada April 2021, asalkan Taliban memenuhi janji mereka untuk memerangi kelompok teroris, terutama afiliasi ISIS.

Trump baru-baru ini mengejutkan militernya dengan mempercepat tanggal penarikan menjadi akhir tahun.

“Sayangnya, setiap kali kami mengalami perubahan, seseorang mencoba untuk mengambil alih kekuasaan. Itu (perubahan baik) tidak berhasil. Itu tidak berhasil. Jadi, mari pelajari pelajaran kita dan terus maju," kata Karzai.

"Sehari setelah perdamaian, kita harus mengakui bahwa semua warga Afghanistan adalah milik negara ini...Afghanistan ini milik setiap individu negara ini, dan kita harus hidup sebagai warga negara ini," kata Karzai.

“Hanya dengan begitu kita bisa hidup di negara yang melihat ke masa depan yang lebih baik,” tambahnya.

Sejauh ini, hanya ada sedikit tanda perdamaian yang akan terjadi. Bahkan, ribuan tahanan Taliban yang baru-baru ini dibebaskan sebagai bagian dari proses perdamaian telah melakukan serangan balas dendam, pembunuhan dan penculikan, atas gangguan dari pejabat lokal.

Seorang tahanan yang dibebaskan, Muslim Afghanistan, mengatakan dia jarang meninggalkan rumahnya di Kabul karena takut akan pembalasan.

Dia tidak ingat pemerintahan Taliban, dia baru duduk di kelas dua ketika mereka digulingkan. Namun, orang yang lebih tua adalah anggota senior Taliban dan karena mereka, anggota keluarga lainnya diganggu.

Dia mengatakan dia tidak pernah bergabung dengan Taliban, tetapi ditangkap pada 2014 karena koneksi keluarganya.

Danish Habibi, yang masih memiliki mimpi buruk tentang serangan Taliban, tidak tahu bagaimana dia bisa memaafkan.

“Jika Anda berasal dari keluarga dengan korban bagaimana Anda akan percaya bahwa perdamaian akan datang,” katanya.

Dia ingin para korban duduk di meja perundingan, korban Taliban, para mujahidin, dari setiap sisi. "Mereka semua harus berbicara dengan para korban."

Bagi Abdullah Abdullah, yang mengepalai Dewan Tinggi Afghanistan untuk Rekonsiliasi Nasional, badan yang ditugaskan untuk mencapai kesepakatan damai dengan Taliban, negosiasi telah menjadi perjuangan emosional untuk mengendalikan amarahnya atas korban dalam 19 tahun terakhir.

"Saya telah melihat terlalu banyak orang yang menderita, terlalu banyak korban setiap hari, orang yang tidak bersalah sekarat...Anda tidak bisa menyembunyikan emosi Anda," katanya.
“Tapi, kemudian ada kebutuhan negara. Apakah kita ingin ini berlanjut selamanya? Akan ada penderitaan tanpa akhir kecuali kita menemukan jalan," pungkasnya.

https://www.kompas.com/global/read/2020/10/18/215259270/trauma-40-tahun-perang-warga-afghanistan-berharap-perjanjian-damai-bukan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke