Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Perang: Lyudmila Pavlichenko, Sniper Wanita Paling Mematikan Berjuluk Lady Death

Ia ikut terjun ke medan tempur di Perang Dunia II untuk membela Red Army, julukan militer Uni Soviet.

Saking jitunya bidikan Pavlichenko, ia sampai dijuluki Lady Death (Dewi Kematian), dan menjadi momok tersendiri bagi para tentara Jerman.

Reputasinya di garis depan medan perang sangat populer, dengan 309 korban tewas yang dikonfirmasi atas namanya.

Hebatnya lagi, itu hanya dilakukannya dalam hitungan bulan dan menempatkannya di jajaran penembak jitu terhebat sepanjang masa.

Di masa kecilnya Pavlichenko menekuni bidang olahraga, dengan berkompetisi di beberapa cabang atletik.

Bakatnya dalam menembak kemudian terendus usai seorang bocah lelaki menyebarluaskan prestasi Pavlichenko.

Tak lama kemudian wanita kelahiran 12 Juli 1916 itu jatuh cinta pada olahraga menembak dan bergabung dengan klub tembak.

Singkat cerita Pavlichenko lalu mendapat lencana sniper serta sertifikat penembak jitu, dan saat kuliah di Universitas Kiev ia mengembangkan keterampilannya lagi dengan masuk ke akademi sniper.

Menurut catatan Sky History, ketika Hitler melancarkan Operasi Barbarossa pada Juni 1941, Pavlichenko yang kala itu berusia 24 tahun berlari ke kantor perekrutan di Odesa, Ukraina.

Awalnya petuga perekrut menyuruhnya untuk jadi perawat saja, tetapi petugas laki-laki itu langsung berubah pikiran usai Pavlichenko menunjukkan sertifikat dan lencana sniper-nya.

Pavlichenko kemudian terdaftar di Divisi Senapan ke-25 Red Army sebagai sniper.

Secara total ada 2.000-an wanita menjadi sniper di Red Army selama Perang Dunia II, dan hanya sekitar 500 yang berhasil bertahan hidup.

Dengan minimnya amunisi dan logistik, Pavlichenko awalnya hanya bertempur tanpa senapan dan hanya memegang granat.

"Sangat frustrasi harus mengamati jalannya peperangan hanya dengan satu granat di satu tangan," tulisnya dalam memoar yang dikutip Sky History.

Hingga akhirnya, seorang kawan yang tertembak memberikan senapan Mosin-Nagant miliknya.

Segera setelahnya Pavlichenko membuka "rekening jumlah korban"-nya.

Aksi di medan perang

Alkisah, ada dua tentara Romania yang sedang menggali lubang perlindungan hanya beberapa ratus meter dari posisi Pavlichenko.

Setelah diberi izin menembak, dia menantapkan bidikannya dan mendapat korban pertamanya.

Pavlichenko menggambarkan momen itu sebagai "tembakan pembaptisan".

"Satu-satunya yang saya rasakan adalah kepuasan besar, perasaan pemburu yang membunuh binatang mangsanya," tutur Pavlichenko menggambarkan keberhasilan membunuh korban pertamanya.

Dalam beberapa bulan berikutnya, Pavlichenko semakin mahir menjalankan tugasnya.

Berangkat dari kamp pada malam hari, dia akan menuju posisi terdepan di dekat musuh dan berbaring tak bergerak menunggu kesempatan menembak.

"Kamu harus mengendalikan diri, punya keinginan kuat, dan daya tahan tinggi untuk berbaring selama 15 jam tanpa bergerak."

"Kedutan sekecil apa pun bisa membuatmu mati," tulisnya.

Beragam tipe musuh sudah dia hadapi termasuk melawan sniper Jerman.

Salah satu yang paling dikenangnya adalah duel selama tiga hari yang digambarkannya sebagai "salah satu pengalaman paling menegangkan dalam hidupku".

Pada akhirnya, musuh Pavlichenko "membuat satu gerakan terlalu banyak" dan menjadi salah satu dari 36 snipers yang masuk ke daftar korbannya.

Pavlichenko sama sekali tidak menyesali peluru-pelurunya yang membuat musuhnya kehilangan nyawa.

"Satu-satunya perasaan yang kumiliki adalah kepuasan besar yang dirasakan seorang pemburu yang telah membunuh mangsanya."

Namun tidak semua kisahnya berakhir bahagia di medan perang. Kekasihnya sekarat di pelukannya, dan peristiwa itu tak pernah dilupakannya sampai ia depresi di tahun-tahun berikutnya.

Ketika perintah turun untuk mengevakuasi Odesa, Pavlichenko menuju Sevastapol di Semenanjung Krimea.

Di sana ia menghabiskan 8 bulan berikutnya mempertahankan kota dan melatih penembak jitu baru.

Ia dua kali dipromosikan naik jabatan. Pertama menjadi Sersan Senior setelah dikonfirmasi mencapai 100 korban, dan yang kedua menjadi Letnan ketika jumlah korbannya jadi 200.

Jerman sangat takut pada Lady Death bahkan mereka sampai berusaha menyuapnya.

"Lyudmila Pavlichenko, datanglah ke kami. Kami akan memberimu banyak coklat dan menjadikanmu seorang perwira Jerman," kenang Lady Death saat mendengarnya dari pengeras suara.

Bujuk rayu itu tak berhasil, dan Jerman beralih mengancam.

Di hari terakhir Pavlichenko di garis depan Jerman berteriak, "Kalau kami menangkapmu, kami akan mencabik-cabikmu jadi 309 bagian dan menyebarkannya ke angin!"

Bukannya takut, Pavlichenko malah senang. Ia menyadari musuh menghitung jumlah korbannya dengan tepat.

Komando Tinggi Soviet lalu merasa nyawa Pavlichenko akan terlalu berharga jika terenggut, dan mereka pun memerintahkan evakuasinya dari Sevastapol dengan kapal selam.

Setelah sebulan menjalani pemulihan di rumah sakit, Pavlichenko mendapat peran baru.

Ia ditugaskan menggalang dukungan untuk front kedua di Eropa untuk membantu Rusia melawan Jerman.

Pada akhir 1942 ia dikrim untuk berkeliling Kanada, Amerika Serikat (AS), dan Inggris Raya.

Di "Negeri Paman Sam" Pavlichenko menjadi warga negara Soviet pertama yang diterima Presiden AS. Franklin D Roosevelt menyambutnya di Gedung Putih.

Ibu Negara Eleanir Roosevelt lalu mengajaknya berkeliling negeri dan berbicara di hadapan orang-orang AS tentang pengalaman perangnya untuk membantu menggalang dukungan.

Awalnya pers Amerika lebih sibuk memperhatikan pakaian Pavlichenko ketimbang prestasinya di medang perang.

Para jurnalis bahkan melontarkan pertanyaan kepadanya, apakah wanita boleh pakai riasan di garis depan, atau mengapa dia mengenakan seragam yang membuatnya terlihat gemuk?

Koran-koran menjulukinya "Gadis Sniper", meremehkan prestasinya dan merendahkannya dengan seksisme.

Namun Pavlichenko menanggapinya dengan dingin.

"Saya harap Anda merasakan serangan bom," katanya ke seorang jurnalis. "Anda akan segera melupakan bentuk pakaian Anda."

Ia lalu berkata di majalah TIME, "Saya heran dengan jenis pertanyaan yang diajukan ke saya oleh koresponden pers wanita di Washington... Saya mengenakan seragam saya dengan hormat. Di situ tertulis Ordo Lenin."

"Itu sudah berlumuran darah dalam pertempuran. Jelas terlihat bagi wanita Amerika yang penting adalah mereka mengenakan pakaian dalam sutra di dalam seragam nereka. Apa arti seragam itu, mereka masih harus belajar."

Saat tur publisitasnya mencapai Chicago, Pavlichenko naik panggung dan berbicara lantang ke para penonton.

"Tuan-tuan. Saya berusia 25 tahun dan saya sudah membunuh 309 orang fasis sekarang."

"Tidakkah kalian berpikir, Tuan-tuan, bahwa kalian telah bersembunyi di belakangku terlalu lama?"

Keheningan sesaat menyelimuti kerumunan itu, sebelum berubah jadi pekik raungan dukungan meriah.

Pulang

Setelah kembali ke rumah, Pavlichenko dipromosikan menjadi mayor dan dianugerahi Bintang Emas Pahlawan Uni Soviet serta dua kali menerima Ordo Lenin.

Meski turnya ke Barat tidak mencapai tujuan untuk langsung mengamankan front kedua di Eropa, Pavlichenko tetap pulang dan disambut sebagai pahlawan. Ia juga terus melatih penembak jitu Soviet di lini depan.

Pada 1957 Eleanor Roosevelt menemui Pavlichenko di Moskwa dalam kunjungannya ke Uni Soviet dan mereka sempat berfoto bareng.

Dengan meningkatnya ketegangan Perang Dingin, Roosevelt mengunjungi Pavlichenko diam-diam.

Lady Death meninggal di usia 58 tahun pada 27 Oktober 1974 di Moskwa karena stroke.

Ia juga menderita PTSD (gangguan stres pasca-trauma), depresi, dan kecanduan alkohol. Faktor-faktor itu turut berpengaruh ke kematiannya di usia yang belum tergolong tua.

https://www.kompas.com/global/read/2020/08/18/191058770/kisah-perang-lyudmila-pavlichenko-sniper-wanita-paling-mematikan-berjuluk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke