Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kasus Virus Corona di China Bisa Ditekan, Bisakah Langkah Mereka Diterapkan di Negara Lain?

Kini wabah tampak berhasil dikendalikan di China, dan di luar China terjadi peningkatan 113 kali lipat selama dua minggu.

Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Ghebreyesus menyerukan agar pemerintah masing-masing negara "mengambil tindakan segera dan agresif".

Lalu bagaimana kita belajar dari China untuk melawan virus corona?

China: fase terburuk sudah lewat?

Kunjungan Presiden China Xi Jinping ke pusat wabah di Wuhan pada 10 Maret seakan memberi tanda bahwa darurat nasional sudah berakhir.

Menurut data resmi, kasus infeksi baru virus corona telah turun hanya menjadi beberapa puluh saja sehari.

Namun Yanzhong Huang, Senior Fellow di Global Health pada Council on Foreign Relations di New York mengatakan kepada BBC bahwa pengalaman China ini sulit ditiru di negara lain.

"Sedikit negara sekarang ini, yang demokratis maupun tidak, bisa menembus masyarakat dengan efisien dan menyeluruh."

"Sekalipun beberapa pemerintahan demokratis tertarik untuk meniru pendekatan China, mereka tak punya kekuasaan dan kewenangan untuk melakukannya".

Kediktatoran

Menurut Dr Roberto Buriani, profesor Microbiologi dan Virologi di Università Vita-Salute San Raffaele, di Milan, tak dibutuhkan pemerintahan diktator untuk melawan virus corona.

Italia menerapkan isolasi paling keras saat ini di Eropa, mengisolasi 60 juta penduduknya. Toko-toko tutup kecuali penjual makanan dan apotik.

Pertemuan umum dilarang dan orang diminta tinggal di rumah. Untuk bepergian orang membutuhkan dokumen yang menyatakan alasan bepergian. Sekolah dan universitas ditutup.

"Pada kenyataannya, kediktatoran sudah terjadi di sana. Tiraninya adalah virus yang merampas pelukan, ciuman, makan malam bersama teman, acara minum-minum, konser, nonton teater di La Scala dan sebagainya. Kita semua harus ambil bagian. Hari kemenangan nanti pasti indah," kicaunya di Twitter.

Respons cepat

Dr Bruce Aylward, penasihat senior WHO mengatakan respons nasional ditentukan oleh kecepatan dan bukan hal lain. Dr Aylward yang memimpin misi pencarian fakta ke Hubei mengatakan dunia belum belajar dari pengalaman China.

"Yang kita tahu dari China adalah soal kecepatan. Kita bisa mengendalikan penyakit paru-paru jika kita bertindak dengan sangat cepat untuk mengidentifikasi kasus, mengisolasi dan menemukan pasien lalu menemukan dengan siapa mereka melakukan kontak dan mengisolasinya juga," katanya kepada BBC.

"Masyarakat harus mengerti kita berurusan dengan apa. Mereka harus mengerti keseriusan dan bekerja sama dengan pemerintah untuk menjalankan langkah-langkah ini," katanya.

Dr Aylward mengatakan ia terkesan pada upaya sukarela kolektif yang dilakukan oleh masyarakat biasa China dalam menghadapi ancaman wabah.

"Warga tidak takut pada pemerintah. Warga takut pada virus dan mereka takut gagal untuk bekerja sama menahan virus ini. Pemerintah memainkan peran kunci dalam membuat arahan, tetapi sesungguhnya ini merupakan upaya bersama".

Melacak pembawa virus

Di Korea Selatan, pihak berwenang sukses melawan virus secara agresif tanpa melakukan upaya isolasi. Di negeri ini jumlah positif virus corona adalah yang keempat sesudah China, Italia dan Iran.

Pemerintah Korea Selatan melakukan pengetesan terhadap ratusan ribu orang di jalan-jalan dan pengemudi di mobil mereka dan melacak pembawa virus menggunakan telepon pintar dan teknologi satelit.

Presiden Moon Jae-In menggambarkan upaya ini sebagai "upaya memerangi" ancaman.

Populasi Korea Selatan 50 juta orang, bisa disetarakan dengan Italia, dan kurang dari 30.000 orang yang dikarantina.

Kini angka infeksi setiap hari tercatat turun setiap hari. Pada hari Jumat (13/3/2020) jumlahnya 110, yang merupakan angka infeksi terendah dalam dua minggu terakhir.

Kini lebih banyak pasien yang lebih dinyatakan pulih daripada pasien yang baru terinfeksi.

Profesor Huang menyatakan tindakan ini tak semata soal pengendalian, tapi pemerintah juga berupaya melindungi perekonomian.

Seoul "sangat sadar perlunya pengendalian yang agresif di satu sisi, dan gangguan yang bisa ditimbulkan kepada perekonomian dan masyarakat akibat pengendalian itu," kata dia.

Profesor Huang juga mengatakan tindakan ketat yang dilakuan China menciptakan masalah sekunder, yaitu kewalahan di pihak pelayanan medis. Ini menyumbang pada lonjakan angka kematian di kota itu.

"Model penanganan di China bukan hanya tak bisa ditiru, itu juga bukan standar terbaik untuk mengendalikan penyakit," jelas dia.

Apa yang dilakukan negara lain?

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan adanya pembatasan perjalanan bagi 26 negara Eropa, belakangan ditambah Inggris dan Republik Irlandia, dalam upaya memerangi penyebaran virus corona.

Larangan ini diterapkan bagi mereka yang bepergian dari negara-negara tersebut. Namun Trump dikritik karena gagal mengambil langkah tegas di dalam negeri.

Anggota senior Partai Demokrat mengatakan, "mengkhawatirkan" bahwa Presiden Trump tidak menyinggung soal kurangnya alat pengetes virus corona.

"Cara terbaik untuk membantu agar warga Amerika tetap aman dan menjamin keamanan ekonomi mereka adalah agar presiden fokus dalam memerangi penyebaran virus corona," kata Ketua Senat Nancy Pelosi dan pemimpin kelompok minoritas di Senat Chuck Schumer dalam sebuah pernyataan.

Mengenai larangan bepergian, Lawrence Gostin, ahli kesehatan masyarakat di Georgetown University, berkicau: "Kebanyakan negara Eropa sama amannya dengan Amerika. Ini tak akan berdampak pada AS, karena penyakit tak peduli perbatasan."

Iran juga dikritik karena tidak mengkarantina Provinsi Qom, pusat wabah di Iran. Pemerintah telah menyediakan pos pemeriksaan medis dan menyerukan warga untuk tidak bepergian.

Arab Saudi juga mengisolasi Provinsi Qatif, tempat yang dilaporkan menjadi pusat penyebaran.

Jepang memerintahkan agar sekolah ditutup hingga April dan langkah serupa sudah diterapkan di Timur Tengah dan Asia.

Menurut UNESCO, lebih dari 330 juta anak terkena dampak penutupan sekolah di 29 negara, selain 60 juta orang mahasiswa.

Sementara itu pemerintah-pemerintah di Eropa mewaspadai langkah yang keras seperti yang diterapkan di Italia.

Pemerintah Inggris meminta orang yang baru kembali dari Italia mengisolasi diri selama 14 hari dan telah mengeluarkan aturan yang membolehkan isolasi wajib. Pihak berwenang mengatakan menutup sekolah merupakan langkah "prematur".

"Jika melarang warga berkumpul adalah langkah efektif untuk masyarakat, pemerintah pasti sudah mengambil keputusan itu. Langkah itu bukan yang disarankan dan kami tetap berpegang pada ilmu pengetahuan," kata pejabat kesehatan Inggris, Dr Jenny Harries kepada BBC.

Koordinasi pusat

Pemerintah Inggris mengantisipasi peningkatan kasus corona dan Dr Harries mengatakan negerinya sudah siap seraya menekankan perbedaan sistem kesehatan antara Inggris dengan Italia.

"Sistem kesehatan mereka terbagi secara regional, dan untuk bisa konsisten, mereka perlu waktu. Kita memiliki sistem komando dan mekanisme pengendalian, yang berada di tangan pemerintah, dan seluruh layanan kesehatan di seluruh negeri," katanya.

Direktur WHO Dr Ghebreyesus mengatakan pandemi bisa dikendalikan, dan menyarankan berbagai negara untuk menyesuaikan respons dengan kebutuhan dan sistem masing-masing negara.

https://www.kompas.com/global/read/2020/03/15/212641070/kasus-virus-corona-di-china-bisa-ditekan-bisakah-langkah-mereka

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke