“Research is an organized method for keeping you reasonably dissatisfied with what you have.” – Charles F. Kettering
KOMPAS.com - Eric Messerschmidt adalah direktur Pusat Kebudayaan Denmark di Beijing sudah hampir 20 tahun tinggal dan bekerja di China.
Salah satu resolusinya selama menetap di China adalah mencoba ‘demystifying China’, mengurai China dari kabut misterinya hingga tampak realita China yang apa adanya, yang sebenarnya.
Bukan hal yang mudah memang. Stereotype tentang China segelap dan semisterius sosok Godot dalam novel Samuel Beckett “Waiting for Godot”. Siapa Godot? Siapa China?
Tulisan ini menjadi sangat relevan setelah melihat China, yang sejak 23 Januari 2020 lalu menetapkan kota Wuhan di propinsi Hubei untuk lock down gegara wabah Corona, telah membuka dirinya kepada dunia bahwa ia pun sama rapuhnya dan tak kebal terhadap wabah penyakit.
Namun bukan itu yang membuat penduduk dunia terpukau, tapi bagaimana China bisa bergerak cepat sekelebat pukulan Huo Yuanjia, petarung Wushu legendaris kebanggaan Tiongkok yang gigih melawan musuh-musuh asing. (Semoga pembaca sudah pernah menonton film Fearless).
Dua rumah sakit khusus pasien wabah Corona dibangun tak lebih dari sebulan dengan total daya tampung hampir 3.000 tempat tidur, puluhan ruang ICU dan ruang isolasi.
Sekitar 7.500 pekerja dilibatkan dalam konstruksi itu. Berita yang resmi dirilis adalah satu rumah sakit dibangun hanya dalam 10 hari.
Bagaimana mungkin mereka membangun dua rumah sakit secepat itu?
Jawabannya: pre-fabricated modular units/segments (mari kita singkat saja dengan PFMU). Tidak perlu keahlian tehnik untuk memahami PFMU ini.
China adalah pabrik raksasa dunia. Sepanjang pesisir Tiongkok tak hanya berjajar ribuan perusahaan teknologi (software dan hardware).
Ada juga ribuan pabrik manufaktur memproduksi barang-barang kecil sederhana seperti peniti, paper clips, ballpoin, perkakas, komponen smartphone, hingga barang-barang besar seperti memproduksi mobil dan truk, pesawat dan kereta api, persenjataan, hardware komputer, kerangka baja bangunan, pabrik garmen, hingga rig lepas pantai serta perlengkapan stasiun ruang angkasa.
Wuhan misalnya, adalah Detroit-nya China. Pabrikan-pabrikan besar otomotif nasional China berada di sana.
Budaya fabrikasi – budaya memproduksi barang-barang – yang sangat masif di China memberi keleluasaan bagi China secara nasional untuk membuat apa saja dengan mengalih-fungsikan pabrik-pabrik mereka dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Lalu dengan modifikasi sana-sini, serta dengan likuiditas dana perusahaan-perusahaan China ditambah dana pemerintah, China memiliki kemampuan beradaptasi menghadapi perubahan situasi dan kondisi seburuk apapun.
Perbedaan budaya kerja serta mindset di industri manufaktur yang sudah terbangun sejak revolusi industri lebih dari 250 tahun lalu sangatlah berbeda dengan budaya industri digital dan jasa (yang juga sudah memasuki era digital).
Para pekerja di pabrik lebih terbiasa bekerja dengan sistem, misalnya saja mengenai supply chain, serta kendali mutu (itu mengapa gugus kendali mutu lebih populer di industri manufaktur).
Yang sangat penting lagi adalah mereka yang bekerja di pabrik lebih solid bekerja sebagai team.
Bila kita tambahkan karakteristik ‘bekerja dengan sekuens serta algoritma (manual) tertentu, orang-orang yang bekerja di pabrik akan lebih cepat beradaptasi, lebih cepat paham mekanismenya, dan tentu saja lebih disiplin dalam mengeksekusinya.