KOMPAS.com - Perpaduan arsitektur Islam dan China tradisional menjadi ciri khas Masjid Agung Xi'an, salah satu tempat ibadah muslim terbesar dan tertua.
Masjid yang masuk Daftar Warisan Islam UNESCO pada 1985 ini berlokasi di Distrik Lianhu, Kota Xi'an, Provinsi Shaanxi.
Dilansir China Highlights, Masjid Agung Xi'an dibangun sebagai bentuk penghormatan terhadap para pelopor Islam di China.
Pada masa Dinasti Tang, para pedagang Arab berniaga di China dan memperkenalkan Islam. Sebagian memilih menetap di China dan menikah dengan orang-orang Han.
Pembangunan masjid tersebut dimulai pada 742 Masehi, tahun pertama Era Tianbao di bawah kekuasaan Kaisar Xuanrong dari Dinasti Tang.
Konstruksi tambahan dikerjakan pada masa dinasti Song (960-1279), Yuan (1271-1638), Ming (1386-1644), dan Qing (1644-1911).
Pembangunan yang melewati banyak dinasti membuat arsitektur Masjid Agung Xi'an merepresentasikan berbagai periode waktu.
Area kompleks Masjid Agung Xi'an seluas 6.000 meter persegi dibagi menjadi empat halaman. Halaman pertama, terdapat sebuah gapura kayu melengkung dengan tinggi sembilan meter.
Pada kedua sisi lengkungan ada tiga ruang untuk memajang beberapa perabot yang diawetkan dari dinasti Ming dan Qing.
Halaman kedua, berdiri sebuah lengkungan batu dengan dua prasasti di kedua sisinya. Pada prasasti tersebut terdapat tulisan kaligrafi dari para kaligrafer kuno.
Halaman ketiga masjid berupa aula berisi prasasti dari zaman kuno dan di tengahnya terdapat Menara Xingxin yang digunakan untuk shalat.
Kemudian, halaman keempat merupakan aula besar yang dapat menampung lebih dari seribu orang.
Dilansir Pew Research Center, Islam dibawa ke China pada abad ketujuh oleh para pedagang Arab dan Persia yang menetap di kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara.
Namun, baru setelah penaklukan Mongol pada abad ke-13 dan kedatangan pemukim dari Asia Tengah, Islam mulai menyebar ke daratan utama.
Minoritas Muslim ini akhirnya dikenal, secara kolektif, sebagai orang Hui. Orang Hui kemudian mencakup Muslim yang berasal dari Arab dan Persia, serta orang Tibet dan Han China yang masuk Islam, bahkan beberapa non-Muslim, seperti orang Yahudi China.
Seiring berkembangnya kekaisaran China, semakin banyak etnis minoritas yang masuk ke wilayah kekuasaannya.
Beberapa etnis ini telah memeluk agama Islam pada abad-abad sebelumnya, salah satunya Uighur.
Mereka berasal dari pengembara Turki di pegunungan Altai, Asia Tengah, di ujung utara Xinjiang yang sekarang berbatasan dengan Kazakhstan, Mongolia, dan Rusia.
Sejak Revolusi Komunis China pada 1949, pihak berwenang telah mendorong, menoleransi, dan menekan ekspresi budaya di antara orang Uighur, Hui, dan etnis minoritas lainnya.
Dimulai pada 1950-an, Pemerintah China menciptakan "daerah otonomi etnis" (seperti Daerah Otonomi Uighur Xinjiang) untuk memudahkan etnis minoritas melestarikan tradisi mereka.
Namun, selama Revolusi Kebudayaan 1966-1976, kegiatan keagamaan dilarang untuk semua orang Tionghoa, tanpa memandang latar belakang etnis.
Dalam beberapa tahun terakhir, Muslim di Xinjiang, termasuk Uighur dan etnis minoritas lainnya, seperti Kazakh dan Uzbek, menjadi korban persekusi.
Pemerintah Amerika Serikat menyebut perlakuan terhadap Muslim Uighur sebagai genosida, tuduhan yang berulang kali dibantah oleh Pemerintah China.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.