KOMPAS.com - Masyarakat Indonesia berduka atas meninggalnya 131 suporter Arema FC di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10/2022) lalu.
Beragam ucapan duka berdatangan dari banyak pihak. Ada yang berupa tulisan, gambar, maupun karangan bunga.
Begitu juga dengan para politisi. Namun, beberapa politisi justru menjadi sorotan karena memasang foto dirinya dalam pamflet ucapan duka seolah seperti iklan kampanye.
Beberapa pamflet ucapan duka yang beredar di media sosial antara lain menampilkan gambar Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, politisi Partai Nasdem Ahmad Sahroni, hingga politisi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono.
Baca juga: Memutus Rantai Kekerasan Kepolisian Usai Tragedi Kanjuruhan
Pengguna media sosial pun turut menanggapi pamflet tersebut. Tidak sedikit warganet yang menyayangkan dan mengkritik. Format pamflet seperti itu dinilai tidak tepat di tengah duka Tragedi Kanjuruhan.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah (UMY) Yogyakarta, Fajar Junaedi menuturkan, pamflet ucapan duka dengan foto politisi cukup besar justru membuat masyarakat tidak simpati. Masyarakat menganggap para politisi tidak mempunyai empati di tengah duka.
“Ucapan duka cita yang dibuat oleh para politisi umumnya dikemas ala iklan layanan masyarakat. Sayangnya alih-alih mendatangkan simpati, ucapan duka cita dari politisi justru menuai antipati. Ada encoding-decoding yang berbeda antara politisi dan audiens,” ujar Fajar kepada Kompas.com, Kamis (6/10/2022).
Menurut Fajar, fenomena politisi memasang foto dengan komposisi cukup besar dalam ucapan duka menunjukkan banalitas empati para politisi, sekaligus memperlihatkan rendahnya tingkat kompetensi atau kemampuan dalam berkomunikasi.
Alih-alih mendapat popularitas, bagi Fajar, para politisi justru membuat masyarakat antipati. Sebab, para politisi itu dinilai menunjukkan perilaku yang niretika.
“Audiens menjadi tidak respek dengan komunikasi yang dilakukan oleh para politisi. Tidak efektif meningkatkan popularitas, justru malah membuat publik semakin antipati. Perilaku politisi ini sangat niretika,” imbuhnya.
Memasang foto dengan ukuran besar baik di pamflet maupun baliho menjadi hal yang dianggap lumrah oleh politisi, terlebih menjelang pemilihan umum (Pemilu).
Para politisi berlomba-lomba memasang fotonya di ruang-ruang publik untuk berkampanye, dengan harapan mengangkat popularitas bahkan elektabilitas mereka.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby justru melihat strategi itu sudah tak efektif untuk meningkatkan elektabilitas. Sebab, pemilih saat ini lebih rasional. Kata dia, pemilih akan lebih mempertimbangkan kinerja kandidat.
“Yang dibutuhkan rekam jejak, bukan banyak janji,” kata Alwan dilansir dari Kompas.id.
Baca juga: Buya Syafii soal Baliho Politisi: Syahwat Kekuasaan Terlalu Menonjol, Kasihan Rakyat
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan juga mengatakan, biasanya para politisi menggunakan media seperti televisi, media luar ruang, dan internet untuk mendongkrak popularitas.
Namun ia mengingatkan, konten dalam sosialisasi harus sensitif dengan kondisi masyarakat.
”Kalau kontennya tidak relevan dengan situasi, lebih baik menahan diri tidak memasang baliho,” ujarnya.
Menurutnya sosialisasi lewat baliho maupun media lainnya tidak cukup jika para politisi ingin dipilih oleh masyarakat. Dalam hal penerimaan atau akseptabilitas, publik akan menyoroti kinerja mereka.
”Apalagi elektabilitas juga dipengaruhi keberadaan kandidat lain sehingga pemilih tentu membandingkan kinerja antara yang satu dan lainnya,” tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.