KOMPAS.com - Dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dan Kartu Keluarga (KK) menjadi hal vital yang harus dimiliki warga negara Indonesia.
Dokumen-dokumen tersebut dibutuhkan untuk mengakses berbagai hal, seperti layanan pendidikan, kesehatan, dan keuangan.
Meski memegang peran penting, namun ternyata tak semua masyarakat bersedia mengurus atau mendaftarkan diri untuk memiliki dokumen-dokumen tersebut.
Salah satunya terjadi pada warga Kabupaten Paniai, Provinsi Papua yang enggan mengurus e-KTP karena mendengar informasi keliru terkait prosedur perekaman data.
Baca juga: Kemendagri: Perekaman E-KTP Capai 99,21 Persen
Plt Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Paniai, Washinton mengatakan, warga setempat awalnya enggan mendaftarkan diri untuk memperoleh e-KTP.
Ia mengatakan, hal itu disebabkan adanya anggapan bahwa rekam biometrik iris mata akan menghisap darah warga.
Namun, kondisi itu kini berangsur berubah dan warga setempat bahkan antusias mendaftarkan dirinya ke Dukcapil untuk memperoleh e-KTP.
Hal itu terjadi berkat sosialisasi tepat sasaran yang dilakukan oleh jajaran Dukcapil Paniai.
Menurut Washinton, ia berupaya melakukan pendekatan pribadi dengan tokoh masyarakat setempat yang awalnya menolak keras perekaman e-KTP.
"Saya katakan rekam KTP tidak mengandung hal negatif. Akhirnya saya lakukan perekaman secara terbuka, semua bisa lihat sembari menjelaskan tidak ada isap darah waktu lakukan rekam iris mata," kata Washinton, dikutip dari laman Kementerian Dalam Negeri, Rabu (27/4/2022).
Agar masyarakat tidak takut merekam datanya, untuk sementara waktu Dukcapil Paniai juga mengubah sebutan e-KTP menjadi "kartu bantu".
"Sebab selama ini sebutan KTP berarti ada kesan negatif, di dalam ada chip/setan dan lain-lain. Saya ganti sebut 'kartu bantu' karena bisa bantu dipakai di bank, rumah sakit, bandara, kuliah dan seterusnya," ucap Washinton.