KOMPAS.com - Pernahkah Anda berdiri di tepi tebing lalu meneriakkan sebuah kata? Apa yang terjadi? Apakah Anda mendengar pantulan bunyi teriakan tersebut?
Dalam ilmu fisika, fenomena itu disebut sebagai gema, yakni pantulan bunyi yang didengar sesaat setelah bunyi berlangsung.
Misalnya, Anda berteriak "semangat" di tepi tebing. Dalam jeda waktu singkat, misal 0,1 detik, Anda akan mendengar gema dari teriakan "semangat" itu dengan bunyi sama persis.
Konsep pemantulan gelombang suara ini kemudian dipakai untuk mendefinisikan fenomena internet dan media sosial yang disebut sebagai echo chamber atau ruang gema.
Baca juga: LIPI: Fenomena Post-truth Erat Kaitannya dengan Komunikasi Politik dan Teknologi
Ruang gema adalah lingkungan atau kondisi di mana seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri.
Ruang gema dapat membuat seseorang terjebak dalam informasi yang salah, dan mendistorsi perspektif seseorang sehingga mereka kesulitan menerima sudut pandang yang berlawanan.
Sebagai contoh, Anda pernah mendengar dan kemudian meyakini isu bahwa vaksin Covid-19 berbahaya bagi manusia.
Anda kemudian mencoba mencari informasi mengenai hal tersebut dengan mengetik kata kunci "vaksin Covid-19 berbahaya" di mesin pencari. Hasilnya, Anda akan disodorkan beragam informasi yang memuat tentang bahaya dari vaksin Covid-19.
Informasi yang disajikan bermacam-macam, namun karena Anda meyakini bahwa vaksin Covid-19 berbahaya, maka Anda hanya mengeklik situs yang menampilkan informasi sesuai keyakinan Anda.
Baca juga: Kominfo: Hoaks Seputar Covid-19 Mengancam Keselamatan Jiwa Masyarakat
Pada titik ini, konsep ruang gema kemudian bekerja. Cara Anda memilih informasi di mesin pencari dapat diibaratkan sebagai bunyi teriakan Anda di tepi tebing.
Teriakan itu kemudian memantul dengan bunyi yang sama.
Setelah memilih informasi "vaksin Covid-19 berbahaya" yang dianggap sesuai dengan keyakinan atau mendukung pendapat Anda, maka informasi serupa akan terus disodorkan.
"Tapi saya tidak pernah sengaja mencari informasi soal vaksin Covid-19 berbahaya? Mengapa saya selalu disodori informasi terkait hal tersebut?".
Mungkin Anda pernah bertanya demikian. Jawabannya, hal tersebut disebabkan cara kerja internet dan media sosial yang disebut sebagai filter bubble atau gelembung filter.
Dalam bukunya yang berjudul The Filter Bubble: What The Internet Is Hiding From You (2011), Eli Pariser menyebutkan bahwa filter bubble dibuat oleh algoritma yang melacak aktivitas Anda di internet, termasuk informasi atau tautan yang Anda klik.
Menurut Pariser, algoritma tersebut menciptakan “semesta informasi yang unik bagi masing-masing orang… yang secara mendasar mengubah cara kita menemukan ide dan informasi".
Situs web menggunakan algoritma tersebut untuk menunjukkan kepada Anda konten yang serupa dengan apa yang telah Anda minati.
Ini dapat mencegah Anda menemukan ide dan perspektif baru di dunia maya, atau dengan kata lain membuat Anda terjebak dalam ruang gema tanpa disadari.
Permasalahan semakin kompleks karena algoritma juga melacak interaksi Anda dengan teman-teman atau akun-akun yang Anda ikuti di media sosial.
Misalnya, Anda memberikan "like" atau menonton sampai habis video bertema "vaksin Covid-19 adalah konspirasi elite global" yang kebetulan lewat di lini masa media sosial.
Algoritma akan merekam interaksi Anda dengan konten tersebut, dan menilai bahwa konten-konten semacam itu akan menarik minat Anda.
Pada waktu berikutnya Anda membuka media sosial, maka konten-konten sejenis akan secara otomatis disodorkan kepada Anda.
Kondisi ini membuat seseorang yang terpapar hoaks cenderung jatuh semakin dalam di kubangan informasi yang menyesatkan dan sulit melepaskan diri, karena algoritma akan terus menyodorkan informasi semacam itu walaupun informasi tersebut keliru.
Algoritma tidak menilai informasi tersebut benar atau salah, ia hanya mempertimbangkan bahwa informasi tersebut diminati atau tidak.
Pada 15 Juli 2021, seorang pemilik akun Twitter @HelmiIndraRP menuliskan sebuah utas yang mengisahkan bagaimana hoaks mengambil peran dalam kematian ayahnya.
"Setelah pertarungan beberapa hari, Papa kalah perang melawan Covid-19. Apa yang menyebabkan Papa kalah? Hoax berperan besar dalam hal ini, di luar komorbid".
Kisah yang dibagikan Helmi viral. Apa yang diceritakan Helmi menjadi gambaran bahwa hoaks yang selama ini menyebar seputar Covid-19 bisa berpengaruh sangat besar.
Dan, merenggut nyawa!
Kepada Kompas.com, Helmi menceritakan bahwa sejak awal ayahnya sebenarnya percaya dengan adanya virus corona SARS-CoV-2.
Ia juga mengungkapkan bahwa ayahnya memahami betul bahwa saat ini tengah terjadi pandemi Covid-19 di berbagai negara.
Akan tetapi, sebaran hoaks yang masif, terutama sejak rencana vaksinasi nasional mulai digulirkan pemerintah, membuat sang ayah akhirnya terpapar informasi menyesatkan.
Menurut Helmi, informasi-informasi sesat, seperti vaksin Covid-19 terbuat dari babi, dan tudingan bahwa vaksin berbahaya, membuat sang ayah takut dan akhirnya menolak untuk divaksin.
Belum lagi hoaks tentang interaksi obat yang diklaim memperburuk kondisi pasien Covid-19 dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Menurut Helmi, hal ini menyebabkan ayahnya takut minum obat dan takut dirawat di rumah sakit.
Helmi mengungkapkan, pengalaman pahit yang ia alami dan rasakan ini membuatnya sadar terhadap bahaya dari informasi yang menyesatkan.
"Kalau dari yang saya rasakan, literasi digital itu ternyata harus ada. Kalau bahasa Islamnya kan memang kita harus ber-tabayyun terhadap semua informasi kan. Mencari informasi yang benar, meng-cross check semua berita, enggak cuma percaya dari satu saja, tapi yang perlu kita cek kan kajian ilmiahnya juga seperti apa," kata Helmi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.