KOMPAS.com - Masyarakat adat di Indonesia masih terpinggirkan dan kerap menjadi korban pembangunan serta pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah meregistrasi 1.243 peta wilayah adat seluas 25,1 juta hektar yang tersebar di 32 provinsi dan 154 kabupaten/kota per Maret 2023.
Dari data tersebut, terdapat 3.206.703 hektar atau 184 wilayah adat sudah mendapatkan status penetapan pengakuan wilayah adat dari pemerintah daerah. Artinya, baru 12,7 persen wilayah adat yang diakui.
Menurut BRWA, pemda masih punya pekerjaan besar untuk melaksanakan peraturan daerah (perda) yang mereka terbitkan.
Sebab, ada sekitar 18.828.794 hektar atau 792 peta di daerah yang telah menerbitkan perda tentang pengakuan masyarakat adat.
Sementara, terdapat 3.127.750 hektar atau 253 peta berada di daerah yang belum menerbitkan kebijakan untuk pengakuan masyarakat adat.
Adapun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan 108 SK (Surat Keputusan) Hutan Adat dengan luas mencapai 153.322 hektar, sejak pengakuan hutan adat dimulai pada 2016 sampai Maret 2023.
Kendati demikian, BRWA menilai bahwa pengakuan hak masyarakat adat atas tanah ulayat tidak menunjukkan kemajuan sama sekali.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) belum menunjukkan langkah konkret melakukan pendaftaran atau penatausahaan tanah ulayat.
Padahal, ada sekitar 3,2 juta hektar wilayah adat yang sudah mendapat penetapan pengakuan oleh pemerintah daerah.
Seharusnya ATR/BPN bisa melanjutkan dengan proses pengukuran, pemetaan dan pencatatan dalam daftar tanah.
Pemerintah juga belum mengintegrasikan peta-peta wilayah adat yang sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dalam Kebijakan Satu Peta dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
"Dengan demikian, ruang hidup masyarakat adat tidak terlindungi dari dampak buruk investasi dan proyek-proyek nasional seperti pembangunan IKN Nusantara," kata Kepala BWRA Kasmita Widodo, dikutip dari siaran pers, pada 17 Maret 2023.
"Pemerintah masih sangat lemah dalam melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan sumberdaya alam yang berada di wilayah adat," tutur dia.
Rentan menjadi korban konflik SDA
Dikutip dari Amnesty International Indonesia, terdapat lebih dari 70 juta masyarakat adat atau 25 persen dari populasi Indonesia. Mereka terdiri atas 2.422 komunitas adat di 31 provinsi.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan, 125 komunitas adat menjadi korban konflik sumber daya yang tersebar di hampir sepertiga wilayah Indonesia pada 2019.
Pada tahun yang sama, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA) mencatat, konflik SDA melibatkan areal lahan seluas 2,1 juta hektar dengan 176.637 masyarakat adat menjadi korban.
Kemudian, sejak 27 Agustus 2020, sebanyak 29 pembela hak masyarakat adat mendapat serangan, baik berupa penangkapan (kriminalisasi), kekerasan fisik, dan intimidasi, menurut catatan Amnesty International Indonesia.
Selain itu, lebih dari 48 juta penduduk di Indonesia tinggal di kawasan hutan dan sekitar 800.000 jiwa di antaranya merupakan masyarakat adat yang tergolong penduduk miskin.
Kemiskinan di kawasan hutan masih terjadi akibat tumpang tindih klaim, ketimpangan penguasaan sumber daya alam, serta regulasi dan kebijakan pengakuan wilayah adat dalam kawasan hutan yang kurang terformulasi baik.
Pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat adat. Akibat perampasan wilayah adat, mereka kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian, dan mata pencarian.
Padahal, hak masyarakat adat diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP), yang membahas hak individu dan kolektif bagi masyarakat adat, yaitu hak budaya dan identitas, hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, bahasa, dan lain-lain.
Selain itu, hak masyarakat adat juga disebutkan dalam Konvensi ILO 169 tahun 1989 pasal 3:
Masyarakat adat juga berhak menikmati hak mereka sebagai manusia dan kebebasan yang bersifat mendasar tanpa halangan atau diskriminasi, termasuk untuk bebas dari diskriminasi terhadap anggota masyarakat adat yang laki-laki maupun perempuan.
Akan tetapi, Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut.
Pengakuan terhadap hak masyarakat adat telah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28I ayat 3.
Pasal 18B ayat 2 berbunyi:
Negara mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28I ayat 3 berbunyi:
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Kendati demikian belum ada pengakuan secara utuh atas keunikan dan kekhasan masyarakat adat secara kolektif sebagai komunitas.
Sehingga, pengesahan RUU Masyarakat Adat yang masuk Prolegnas Prioritas DPR pada 2021 menjadi kebutuhan mendesak.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2024/01/17/141500282/lemahnya-perlindungan-hak-masyarakat-adat-di-indonesia