KOMPAS.com - Rendahnya akses terhadap medium pemeriksa fakta menjadi salah satu penyebab masyarakat rentan terpapar gangguan informasi atau hoaks dalam Pemilihan Umum 2024.
Hal ini tergambar dalam hasil survei opini publik tentang proyeksi dan mitigasi penyebaran gangguan informasi dalam Pemilu 2024.
Survei dilakukan The Safer Internet Lab (Sail), hasil kolaborasi The Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Google Indonesia, pada 4-10 September 2023.
Selain itu, tingginya kerentanan publik juga disebabkan tingkat verifikasi informasi secara mandiri yang rendah dan ketidaksadaran bahwa gangguan informasi merupakan gerakan terorganisasi serta terstruktur.
"Kenapa kami menyimpulkan kerentanannya tinggi? Paling tidak karena tiga hal," kata Ketua Departemen politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes, dalam acara peluncuran survei, Rabu (18/10/2023), yang diakses secara daring.
Survei opini publik tentang proyeksi dan mitigasi penyebaran gangguan informasi dalam Pemilu 2024 melibatkan 1.320 responden di 34 provinsi.
Hasil survei menunjukkan, sebanyak 81,4 persen responden tidak pernah membaca hasil koreksi informasi hoaks melalui situs resmi pemerintah, media massa, atau organisasi pemeriksa fakta.
Sementara, hanya sekitar sepertiga atau 18,6 persen yang pernah membaca hasil penelusuran fakta dari informasi keliru yang beredar.
Selain itu, responden juga kurang memiliki kebiasaan untuk membagikan hasil pemeriksa fakta yang mereka baca.
Dari 246 orang yang pernah membaca artikel pemeriksa fakta, sebanyak 31,7 persen tidak pernah membagikannya.
Sementara 28,9 persen responden sering membagikan dan 39,4 persen jarang membagikan artikel atau konten pemeriksa fakta.
Hasil surveinya dapat dilihat di sini.
Tingkat verifikasi informasi rendah
Terkait rendahnya tingkat verifikasi informasi secara mandiri, Sebanyak 45,4 persen responden tidak pernah mengecek kembali informasi yang mereka terima.
Sisanya, yakni 23,6 persen sering dan 31,1 persen jarang mengecek kebenaran informasi.
Sebagian besar dari mereka yang mengecek kembali kebenaran informasi, melakukan pengecekan melalui Google Search sebanyak 37,3 persen dan 35,6 persen bertanya pada teman.
"Google mempunyai tanggung jawab menyajikan atau mengkurasi rujukan publik untuk mengecek informasi," kata Arya.
Faktor lain yang juga menimbulkan kerentanan, yakni sebagian besar publik tidak menyadari bahwa gangguan informasi merupakan gerakan terorganisasi dan terstruktur.
"Dan itu digerakkan oleh banyak hal. Mungkin kepentingan politik, kepentingan bisnis," ucap Arya.
Menurut Arya, rendahnya kesadaran akan gangguan informasi juga terjadi karena banyak responden belum pernah mengenyam program literasi digital.
Hanya sebagian kecil responden pernah mengikuti pelatihan atau program literasi digital. Sebanyak 3,3 persen responden mengaku pernah ikut, sementara 96,7 persen lainnya tidak pernah mendapat materi untuk mencegah gangguan informasi.
"Peningkatan akses publik terhadap program literasi informasi baik yang diprakarsai oleh pemerintah, platform digital, dan masyarakat sipil masih perlu lebih banyak menjangkau demografi tertentu dan juga provinsi tertentu," ungkap Arya.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/10/20/181320982/akses-ke-pemeriksa-fakta-rendah-publik-rentan-terpapar-hoaks-pemilu