KOMPAS.com - Gangguan informasi di ruang digital menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Berkaca dari dua pemilu sebelumnya, yaitu 2014 dan 2019, penyebaran hoaks, berita palsu, dan disinformasi diperkirakan akan kembali menciptakan disrupsi di masyarakat.
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainuddin Muda Z Monggilo mengatakan, melawan gangguan informasi Pemilu dapat dimulai dari diri sendiri.
Hal itu disampaikan Zam, begitu ia biasa disapa, dalam Webinar "Peluang dan Tantangan Pemilu Indonesia dalam Jagat Gangguan Informasi di Ruang Digital" yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Selasa (4/4/2023).
Menurut Zam, langkah pertama adalah mengelola logika dan emosi saat menerima informasi, sebab emosi adalah aspek yang kerap dieksploitasi, misalnya melalui politik identitas.
Dia menyebutkan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah memprediksi bahwa politik identitas kemungkinan akan menjadi tren pelanggaran dalam Pemilu 2024.
"Dari pengalaman Pemilu yang sudah-sudah, cukup banyak memang penyebaran ujaran kebencian yang kaitannya dengan politik identitas, khususnya untuk tokoh-tokoh agama," kata Zam.
Dampak dari eksploitasi politik identitas ini adalah terjadinya polarisasi di masyarakat, yang semakin menguat sejak Pemilu 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, dan Pemilu 2019.
"Ini (polarisasi) lebih banyak berdampak secara negatif, sebenarnya, pada pelaksanaan demokrasi," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, polarisasi turut berimbas pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara Pemilu.
Dia mengatakan, hal ini kemudian semakin diperparah dengan disinformasi.
"Orang jadi enggak percaya sama KPU, sama Bawaslu, misalnya. Karena ada berita-berita penyelenggaraan Pemilu yang salah diterima," kata Ninis.
Disinformasi ini misalnya foto anggota KPU mengunjungi kantor partai politik tertentu untuk melakukan verifikasi peserta Pemilu, yang beredar dengan narasi menyesatkan.
"Narasinya kemudian diubah menjadi narasi negatif. Misalnya, anggota KPU datang karena tidak netral. Itu tersebar di masyarakat yang kondisinya sudah terbelah," tuturnya.
Dia menilai, ada upaya untuk merawat rasa permusuhan pada masyarakat yang terpolarisasi.
"Kan pada 2014 orang berantem karena Pemilu, nah emosi itu terus dirawat hingga Pemilu 2019 dan sayangnya merawat emosi itu sampai sekarang," kata Ninis.
Menurut Ninis, elit politik memang telah melakukan rekonsiliasi dan bahkan berkoalisi di pemerintahan setelah Pemilu selesai.
Akan tetapi, residu permusuhan dan polarisasi yang dihasilkan dari setiap Pemilu masih terus bertahan di masyarakat sampai sekarang.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/04/05/165800482/kelola-logika-dan-emosi-untuk-melawan-disinformasi-pemilu