KOMPAS.com - Para peneliti dari Joint Research Centre (JRC) Komisi Eropa memetakan disinformasi dan misinformasi Covid-19 yang beredar selama pandemi.
Covid-19 menjadi permasalahan global yang menuntut strategi yang lebih baik dalam penanganan krisis kesehatan.
Ada sejumlah perhatian para peneliti, seperti berapa banyak hoaks yang beredar, apa saja topiknya, hingga dampaknya.
Contohnya, temuan bahwa Grup Facebook paling sering mencantumkan situs web tidak kredibel yang memuat informasi keliru soal kesehatan dan Covid-19.
Ada pula beberapa topik yang sering disinggung, seperti teori konspirasi 5G, obat, orde baru dunia, hingga disinformasi yang menyasar Bill Gates, filantropis sekaligus pendiri Microsoft.
Langkah yang direkomendasikan
Sejauh ini terdapat tiga cara yang dilakukan untuk melawan sebaran hoaks, yakni prebunking, nudging, dan debunking.
Prebunking
Prebunking merupakan tindakan yang dilakukan sebelum hoaks menyebar. Caranya adalah dengan memberdayakan orang-orang untuk dapat mengenali dan menyadari adanya kekeliruan informasi.
Cara ini dinilai efektif untuk mencegah paparan hoaks dalam jangka panjang.
Langkah ini juga sekaligus dapat memberi bekal literasi digital kepada masyarakat.
Nudging
Nudging adalah menyenggol atau menjangkau langsung orang-orang yang terpapar hoaks.
Misalnya menciptakan lingkungan atau komunitas yang dapat menangani penyebaran informasi keliru terkini. Langkah ini dilakukan langsung ketika ditemukan adanya sebaran hoaks.
Misalnya, menyoroti pentingnya akurasi saat seseorang membagi informasi dengan orang lain.
Debunking
Debunking merupakan langkah yang paling sering dilakukan oleh para pemeriksa fakta. Hoaks yang selama ini beredar di media sosial dibantah berdasarkan bukti dan sumber informasi yang kredibel.
Hal ini dilakukan untuk memberi konteks pada masyarakat, melalui bantahan hoaks dengan fakta sesungguhnya.
Debunking dinilai efektif dalam jangka waktu yang pendek dan hanya dapat dilakukan ketika hoaks sudah menyebar.
Ketiga pendekatan tersebut dapat dipadukan agar dapat menyusun penanganan krisis kesehatan yang lebih strategis.
"Kombinasi semua pendekatan ini dapat membantu menciptakan lingkungan informasi yang lebih aman, akuntabel, dan terpercaya," tulis Komisi Eropa di situsnya pada Selasa (21/2/2023).
Strategi yang menjangkau kelompok
Dengan memahami siapa saja yang lebih mungkin terpapar hoaks, dapat membantu mengerucutkan tindakan yang lebih efisien.
Selama ini hoaks lebih banyak disebarkan oleh kelompok yang mempercayai teori konspirasi.
Contohnya, kelompok dengan sudut pandang ekstrem dan berkeyakinan kuat lebih sulit dijangkau dan diyakinkan.
JRC menyarankan agar kampanye informasi harus menyajikan bukti epidemiologis melalui saluran tepercaya dan dengan cara yang jelas dan mudah dipahami.
Selain itu, pembuat kebijakan juga perlu mengakui perbedaan keyakinan dan persepsi antara subkelompok populasi.
Menegasikan keberadaan mereka bukan langkah yang tepat dalam penanganan krisis.
Selain itu, pembuat kebijakan juga perlu mempertimbangkan aspek demokrasi.
"Penyebaran informasi palsu dan menyesatkan, serta manipulasi informasi, seringkali sejalan dengan ketidakpercayaan terhadap lembaga publik, pemimpin politik, dan pemerintah," tulis Komisi Eropa.
Misinformasi dan disinformasi dapat menjadi ancaman bagi sosial politik suatu negara.
Maka, strategi untuk mengatasi sebaran hoaks di tengah masyarakat perlu dilakukan dengan langkah yang tepat.
Dalam laporannya, JRC menulis bahwa tujuan laporan ini adalah untuk membantu pembuat kebijakan menjadi lebih siap menghadapi gelombang misinformasi di masa depan, terutama di tengah krisis.
Ada banyak kesamaan pola sebaran misinformasi Covid-19 dengan topik informasi lainnya.
Pemerintah dapat melakukan evaluasi akurasi informasi, membatasi sebaran hoaks soal Cpvod-10, serta yang terpenting adalah memberi edukasi kepada masyarakat.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/02/23/131300282/penanganan-krisis-yang-dapat-dipelajari-dari-sebaran-hoaks-covid-19